🎈R 1

3.1K 365 22
                                        

Jisoo meremas jemarinya dengan cemas. Di depannya bertebaran dokumen yang terbuka tidak teratur. Kacamata bacanya sedikit melotot ke hidungnya. Membuat gadis itu mendorongnya ke atas dengan kasar. Jemarinya terangkat menuju bibir nya. Membiarkan giginya menggigit jemarinya. Tanda kebingungan yang ia alami.



"Ini gawat, kak. Mereka sudah tahu dimana rumah kita. Jika kita terlambat sedikit saja, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kak Jiyeon dan Lami," ujar Jisoo pelan.


Gadis itu mengambil sebuah berkas yang menunjukkan sebuah rumah mewah yang sedang terbakar hebat. Rasa takut yang sempat ia rasakan tadi sudah menghilang. Tergantikan oleh rasa cemas tak berujung.



Myungsoo mengumpat kasar sambil melempar jas nya. Ia menarik rambutnya sebelum menghempaskan tubuhnya pada kursi kerjanya. Mata tajamnya melirik tumpukan berkas di meja nya yang berantakan. Berkas yang tersebar itu menunjukkan bahaya yang mengincar mereka.



"Aku benar-benar bersyukur istriku yang keras kepala itu mau mendengar mu, Jisoo. Jika tidak, aku tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi padanya," bisik Myungsoo.


Jisoo menghela nafas panjang. Ia melepas kaca matanya dan melemparnya dengan asal ke atas meja. Ia berjalan pelan menuju jendela kaca di ruangan kakaknya. Kaca anti peluru.



"Aku masih tidak percaya kalau Han Sangwon bebas dari penjara. Dia terbukti membakar rumah paman Jaejoong. Memisahkan kalian semua. Menghancurkan semuanya. Bahkan adikmu entah ada dimana sekarang. Ini sangat tidak adil, kak! Harusnya dia mendekam di penjara!" oceh Jisoo dengan emosi.


Myungsoo menggeleng pelan. Ia menopang wajahnya di kedua tangannya. "Ingat Jisoo. Han Sangwon memiliki banyak uang, dia bisa membayar kepolisian dengan mudah. Kita bisa menahannya di penjara selama 4 tahun itu sudah kemajuan Jisoo."



Jisoo mendecih tak suka. "Dan si Tuan Park yang licik itu pasti membantunya. Dia berhasil menculik adikmu, kak. 5 tahun dia hilang, dan kita tidak bisa menemukan jejaknya sedikit pun."



Myungsoo melirik Jisoo sekilas sebelum mengusap wajah lelahnya. "Aku mengirim Jiyeon, Lami dan Irene ke Jeju. Di sana lebih aman. Paman Yunho akan menjaga mereka dengan baik."



"Aku setuju untuk itu. Aku tidak mau Lami dan kak Irene kenapa-kenapa. Dan ingat ya, kak Jiyeon sedang hamil. Jaga dirimu baik-baik. Sangwon akan mengejar mu karena kau saksi yang menjebloskannya ke penjara."



Myungsoo terdiam. Pikirannya melayang jauh ke tragedi 5 tahun lalu. Saat ia harus berusaha keras menerobos api demi menyelamatkan adiknya. Tapi ia justru kehilangan dia tepat di depan mata saat Park Yoochun merebut adiknya.


Ia hampir menyerah. Mengira ia akan mati di sana. Bersama kedua orang tuanya. Terjebak dalam api.

Tapi Tuhan menyelamatkan nya.


"Kau juga Jisoo. Paman Joongki dan ayah sangat berani mengambil resiko untuk mengumpankan mu ke depan musuh," kata Myungsoo. Sungguh ia sangat tidak setuju dengan rencana berbahaya mereka.


Jisoo tersenyum kecut. Ya, ia merasakan rencana ini sangat beresiko. Tapi tak ada pilihan lain. Ini satu-satunya cara melindungi banyak orang jika fokus musuh hanya padanya. Pada Lee Myungsoo dan Kim Jisoo sebagai pemegang saham perusahaan.


"Ini demi Taeyong, kak," bisik Jisoo pelan.



Tapi Myungsoo mendengarnya dengan jelas. Ya, demi adiknya yang sekarang ada di pihak Yoochun dan Sangwon.


Myungsoo ingin menangis jika mengingat kejadian 5 tahun lalu. Dan kini ia akan dihadapkan dengan adiknya sendiri.



"Aku takut Jisoo. Kau tahu sendiri betapa keras kepalanya Taeyong. Jika ia percaya pada satu hal, ia akan mempercayai itu dengan sepenuhnya. Kita seolah sedang meyakinkan batu."


Anggukan kecil diberikan Jisoo tanpa mengucapkan apapun. Tangannya tergerak melirik jemarinya. Di sana, di ibu jarinya melingkar cincin perak. Cincin pemberian Taeyong sebelum pria itu menghilang.
#






Taeyong menatap gedung tinggi di depannya tanpa ekspresi. Dari jendela mobil ia bisa melihat banyak penjaga berseliweran di sekitar gedung itu. Yah mengingat berita kebakaran kediaman Kim baru saja muncul di televisi.


"Yong, aku masih ragu. Aku tidak percaya pada pamanmu itu," kata Johnny sambil mengutak-atik handphone nya.


Taeyong melirik teman baiknya di Chicago itu dengan datar. Selama 5 tahun belakangan ini, ia berlatih keras di Chicago. Beladiri, senjata dan banyak hal ia pelajari sendiri di sana.


Ia menolak ajakan Park Yoochun untuk mengirimnya ke Jepang. Ia tidak pernah sepenuhnya percaya pada Yoochun. Instingnya mengatakan ada yang salah dengan pria yang mengaku pamannya itu.


Bagaimana ia percaya jika ia tidak pernah merasa memiliki paman dengan nama Park Yoochun. Tapi dulu saat ia hampir mati di rumah sakit, ia mempercayai orang itu. Semua yang dikatakan orang itu, ia percayai dengan sepenuh hati.



Tapi ia tak pernah nyaman dengan orang itu. Park Yoochun bukan orang baik-baik. Itu baru Taeyong ketahui saat ia ada di Chicago selama 3 tahun. Orang itu adalah pengedar narkoba. Bahkan orang itu berteman dengan Han Sangwon yang terbukti membakar rumah keluarga Lee. Rumahnya.


Taeyong segera waspada begitu mengetahui hal ini. Ia mulai meragukan semua kalimat yang keluar dari mulut Park Yoochun. Tapi ia tidak menunjukkannya.


Taeyong bukan orang bodoh. Ia tidak punya kekuatan apa-apa selama di Korea. Ia kembali dengan keahlian bukan kekuatan yang bisa melawan mereka. Jadi ia tetap di posisi nya di kubu mereka. Ia menunggu waktu yang tepat untuk mendekati Lee Myungsoo, kakaknya.


Biarkan Park Yoochun percaya kalau ia masih Lee Taeyong yang hilang ingatan akibat trauma kebakaran 5 tahun lalu.


"Aku tahu. Kita harus berhati-hati. Ingat apa yang aku katakan pada kalian saat di Chicago."



Johnny terdiam sejenak sebelum menghela nafas panjang. "Ini akan menjadi misi paling lama dan berbahaya sejak kita membuat tim ini."



Taeyong tertawa. Ia menyetujui apayang dikatakan Johnny. Ini misi berbahaya. Ia menyeret anggota timnya ke Korea untuk menjalani misi pribadi nya. Tapi inilah waktu yang tepat. Saat ia memiliki tim yang bisa membantu dan melindunginya.



Ia hanya berharap ia bisa melindungi semua anggota tim nya. Johnny, Yuta, Jaehyun, Taeil, Doyoung, Mark, dan Ten.
#








"Aku akan membunuhmu jika sampai terjadi sesuatu pada putriku, Joongki. Kau menjerumuskan putrimu sendiri pada bahaya," isak Chaewon. Ia terus tersedu sedih. Ia membiarkan Dara memeluknya. Berbagi kecemasan.


"Apa kalian yakin dengan ini, Jaejoong? Jisoo terlalu muda untuk melakukan ini. Dan Myungsoo akan memiliki anak. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada mereka? Apa kita tidak bisa-"



Jaejoong menggeleng pelan. "Di mata dunia, kita sudah mati, Dara. Biarkan seperti ini. Di mata mereka hanya ada Joongki, Chaewon, Myungsoo dan Jisoo. Kita tidak bisa muncul tiba-tiba, kita bisa membahayakan Irene, Lami dan Jiyeon juga. Ingat Dara, kita sedang melawan Park Yoochun dan Han Sangwon. Mereka memiliki banyak mata dimana-mana. Semakin sedikit yang terlihat, semakin mudah kita bisa menjaga diri."


Dara tak bisa mengelak. Ia hanya bisa mengangguk tak rela. Tak rela jika Jisoo harus terlibat. Gadis itu baru 24 tahun. Dan harus berurusan dengan Sangwon.


"Bibi Dara, waktunya terapi," kata Irene dengan lembut. Mengingatkan Dara akan luka akibat kecelakaan 5 tahun lalu saat kebakaran terjadi. Ia harus terapi agar kakinya bisa normal kembali setelah operasi 5 bulan lalu. Ia bersyukur Irene mengambil jurusan kedokteran hingga bisa merawatnya.



"Ayah! Aku tidak bisa menghubungi kak Jisoo lagi!" seru Lami dengan panik. "Dia meneleponku tadi. Aku mendengar suara tembakan. Ayah! Bagaimana ini!" pekik Lami dengan air mata yang sudah mengalir deras.
#

Undercover RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang