Silau.
Cahaya yang terlalu menyilaukan menjadi penyambut di kala Jisoo membuka matanya. Dengan kesulitan gadis itu mencoba menyesuaikan diri dengan silaunya cahaya.Saat matanya telah terbiasa dengan terangnya ruangan, ia mulai mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Dominasi warna putih yang kuat dan aroma obat yang menguar di udara.
Jisoo hanya bisa menghela nafas saat menyadari ia ada dimana. Rumah sakit. Ia melihat sekelilingnya dengan tatapan mencari. Tapi tangannya justru terpaku pada jarum infus yang bersemayam di tangannya.
Ia mengernyitkan keningnya. Mencoba berfikir asal muasal penyebab dia ada di rumah sakit dengan infus di tangannya. Tiba-tiba ia meringis kesakitan. Dengan perlahan ia menyentuh lehernya. Baru menyadari ada perban di lehernya.
Seketika ingatannya kembali...
Dirinya yang terjebak. Taeyong. Suara tembakan. Pukulan yang membuatnya pingsan.
Dan bisikan lembut itu.
Anggap kita tidak bertemu hari ini, Soo-ya. Semua akan baik-baik saja.
Pesan aneh yang entah kenapa Jisoo mempercayai nya. Ia lebih memilih Taeyong memberikan bisikan aneh daripada Taeyong yang membencinya. Meski kalimat pria itu sangat menyakitkan. Tapi ia selalu berfikir bahwa ada alasan dari semua tindakan manusia.
"Kamu sudah bangun, Jisoo?"
Jisoo mendongak dan langsung bertatapan dengan pandangan cemas di wajah Myungsoo.
"Iya. Apa... Apa yang terjadi kak?" tanya Jisoo dengan raut wajah bingung dan masih shock.
Yah, shock dengan ketidaksengajaan nya bertemu Taeyong. Wajah pria itu masih memenuhi setiap sudut ingatannya. Membuatnya sakit akan rasa rindu.
"Kau tidak ingat?" tanya Myungsoo dengan cemas.
"Apa? Ingat apa?" Wajah bingung Jisoo makin terlihat. Ia benar-benar tak ingat apapun setelah Taeyong membuatnya pingsan.
Myungsoo mengusap wajah lelahnya. Ia mendekati ranjang dimana Jisoo masih terbaring. Dengan lembut ia mengusap rambut Jisoo.
"Polisi menemukan mu pingsan di gang sempit dengan leher berdarah."
Oke. Jisoo tahu soal itu. Tapi ia yakin ada hal penting lain yang belum diucapkan Myungsoo. Maka ia hanya diam menunggu kakak angkatnya itu berbicara.
"Ada pistol di tanganmu dan dua orang terbunuh."
Jantung Jisoo serasa berhenti berdetak. Wajah shock nya tak mampu ia tahan. Dengan gemetar ia menggelengkan kepalanya.
"Bukan... Aku tidak... Bukan..." bisik Jisoo dengan suara parau.
Ia tidak mungkin membunuh. Ia tidak bisa membunuh. Meski orang jahat sekalipun. Ia hanya bisa memandang tangannya dengan ketakutan. Takut akan ada noda darah di sana. Takut akan adanya borgol disana.
Plak!
Pukulan kencang segera menyerang Myungsoo. Membuat pria itu meringis kesakitan. Ia melirik sebal pada Seulgi yang memandangnya sengit.
"Bukan begitu memberitahunya Tuan Lee-Kim," sergah Seulgi dengan kesal.
"Aku harus setuju dengan Nona Kang, Tuan Lee. Anda tidak bisa mengatakan hal seperti ini dengan seenaknya. Ada kemungkinan Nona Kim menderita trauma," sambung seorang pria dengan pakaian polisi.
Deg
Seketika Jisoo menjadi histeris. "Bukan... Ya Tuhan. Bukan aku... Bukan aku."
Racauan Jisoo membuat polisi itu waspada. Dengan cepat ia menjauh dan menyuruh Seulgi untuk menenangkan Jisoo.
"Shhh. Jisoo-ya, semua baik-baik saja. Tenang ya." Seulgi mengusap punggung Jisoo yang bergetar hebat. Ia tak tega melihat Jisoo begitu kesakitan.
"Jangan tangkap aku... Bukan aku... Bukan," bisik Jisoo dengan suara parau.
Polisi itu mengangguk mengerti tentang apa yang ditakutkan Jisoo.
"Tenang Nona Kim. Kami tidak akan menangkap anda. Kami justru berterima kasih. Dua orang yang anda bu-ehh, emm...."
Polisi itu berhenti bicara saat tatapan tajam Seulgi diarahkan padanya. Ia berdeham sekali sebelum melanjutkan. "Mereka itu buronan polisi. Mereka pengedar narkoba kelas kakap. Dan kami bersyukur orang jahat berkurang di Seoul."
Seulgi menggelengkan kepalanya sambil bergumam bodoh berkali-kali. Ia tak habis pikir dengan polisi teman suaminya itu. Ucapannya tak memiliki kontrol.
"Dia Nakamoto Yuta, polisi yang menangani kasus ini," sahut Myungsoo. Ia menarik Jisoo dalam pelukannya. Sebisa mungkin menenangkan adiknya.
"Aku... Tidak ditangkap?" tanya Jisoo pelan.
"Tentu saja tidak."
¤"Bagaimana? Kau sudah melakukannya?"
Yuta tersenyum. Senyum yang lebih mirip seringaian. "Tentu saja, Yong."
Taeyong menghela nafas panjang. Ia memainkan pistol di tangannya dengan gerakan bosan.
"Bagaimana keadaannya?"
Tanpa menyebut nama pun, Yuta tahu siapa yang dimaksud Taeyong. Ia menyingkirkan tumpukan kertas di atas meja hanya untuk menopang kakinya.
"Dia baik kurasa. Sedikit shock."
"Hmmm."
"Kakakmu juga baik. Dia sudah menikah dan segera memiliki anak."
"Aku tahu."
"Kau tidak mau menemui mereka?"
Taeyong berdiri. Bersedekap dengan wajah tak terbaca. Matanya menatap kosong ke hamparan gedung yang terlihat dari apartemen nya.
"Not now."
Yuta mengangguk mengerti. "Oya, ku rasa Doyoung ingin memberitahumu sesuatu. Dia menemukan blue print kantor dan rumah si Park itu. Ada banyak bangkai di bawah kaki pamanmu, Yong."
"Ya, aku sudah menduganya."
"Lalu?"
"Nanti kita bicarakan lagi. Aku akan mengumpulkan yang lainnya."
Yuta berdiri. Ia menepuk pundak teman baiknya itu. "Kau berhak bahagia, Yong. Ingat itu."
Taeyong diam saja. Tapi matanya tertuju pada cincin yang ada di kelingkingnya.
Jisoo. Cincin milik Jisoo.

KAMU SEDANG MEMBACA
Undercover Revenge
عاطفيةSaat pembalasan dendam lebih utama dibanding segalanya, termasuk cinta. Cinta yang datang di waktu yang salah, dan pada orang yang salah.