Curiga

38 8 0
                                    

Siang ini aku sedang makan dimeja makan sendirian, ibuku mencuci piring dibantu Yuki. Yuki terlihat senang karna seharian ini aku menghabiskan waktuku dirumah. Dia mendekatiku dengan rasa takut dan duduk perlahan disampingku.
Aku melihatnya dengan tatapan sinis, ibu juga memperhatikan kami.
.
.
Yuki tertunduk seperti memikirkan sesuatu, aku mencoba tidak peduli.
Dia berdiri dan berjalan kearah ibu, Yuki mulai dengan bahasa isyarat
"Bu.. selama ini aku sering dengar Yui teriak kesakitan"
"Masa?"
Tanya ibuku dengan isyarat juga
"Um um"
Yuki mengangguk
"Kalo aku tanya, Yui suka marah"
Lanjut Yuki. Ibu menatapku khawatir
"Ibu juga pernah lihat mukanya Yui pucat"
Aku gelisah dan segera mencari alasan
"Kalo ngomongin orang itu jangan blak blakan dong! Sini kalo berani"
Aku membanting makananku dan beranjak pergi. Aku mengunci kamarku dan segera menatap cermin, pucat sekali bedak dari dokter clari juga sudah habis. Bagaimana ini, tiba-tiba aku merasa mual.
.
.
.
Uhk rasanya badanku berat sekali aku, tidak tahan lagi.
Aku berjalan keluar dan hendak kerumah sakit namun..
Langkahku memberat, kepalaku sangat pusing, dan pandanganku benar-benar gelap. Dan akhirnya aku...
*Brukkk~
"Yuiiiii"
Samar
.
.
Aku terbangun diruang rawat, disana ada Yuki, ibu ayah, Eris dan dokter clarisa.
"Bisa keluar sebentar? Saya harus periksa Yui"
Saat sadar aku sudah terbangun, Dokter clarisa menyuruh mereka keluar. Semua meninggalkanku dengan dokter.
"Yui mereka bertanya kamu sakit apa? Aku gaktau harus jawab apa?"
Ucap dokter khawatir
"Tubuhku melemah dok, aku gakbisa selamanya berdiri, berjalan"
Ucapku memberitahu
"Tumormu sudah sangat parah, hanya tinggal menunggu hari"
Dokter tertunduk
"Ya aku tau, katakan saja pada mereka kalo aku hanya demam"
Saranku
"Kamu harus oprasi Yui"
Dokter mengalihkan
"Kenapa?"
Tanyaku
"Kalo keadaan buruk begini kamu ngga akan sembuh walau dioprasi. Tapi seenggaknya kamu bisa seperti semula, hanya diperpanjang waktu"
Kata dokter
"Tidak dok, aku baca di internet katanya dengan melakukan terapi juga bisa membantu seperti semula. Asal kuat jalan aku sanggup menahan sakitnya"
Dokter clarisa terdiam, dia ngga bisa meluluhkan aku yang keras kepala.
.
.
"Baiklah terserah kau saja"
Dokter clari berjalan keluar. Dan mempersilakan masuk keluargaku.
"Dok Yui sakit apa"
Tanya Eris
"Umm... Dia terkena demam berdarah, dia harus dirawat beberapa hari"
Aku terkejut, kukira hari ini pulang
"Demam berdarah? Kok bisa?"
Eris bertanya lagi, aktingnya sungguh keren.
Orang tuaku sedikitpun tidak bertanya padaku. Yuki menghampiriku.
"Entahlah, mungkin Yui selalu diam diluar ruangan jadi terkena nyamuk ngga akan disadari"
Tebak dokter
"Salah sendiri, kamu selalu keluar rumah dan diam diladang itu berjam-jam"
Ucap ibuku ketus. Aku terdiam
"Biarkan Yui istirahat"
Kata dokter.
"Dok aku ingin disini sebentar saja"
Kata Eris
"Jangan lama-lama"
Ingin kutertawa kencang, yang disini hanyalah Eris??
"Siapa yang mau nemenin Yui?"
Tanya ayah
Yuki mengangkat tangan
"Tidak Yuki harus pulang! Ibu saja yang disini"
Ayahku menolaknya
"Kenapa ibu? Ayah saja dong"
Ibuku menolak juga
"Ayah sibuk bu!"
"Ibu juga!"
"Aku saja, aku ngga ada kerjaan apa-apa kok"
Eris melerai perdebatan ibu dan ayahku
"Nah bagus, temani dia ya"
Ucap ayahku.
"Kenapa ngga kalian yang jagain aku?"
Tanyaku
"Maaf sayang, ayah sibuk. Ibu juga harus mengurus rumah dan Yuki"
Ucap ayahku
"Maaf bukannya ikut campur, mungkin ditemani kalian Yui akan cepat sebuh"
Ucap Eris
"Ngga papa Er, aku cuman demam"
Aku membalik badan, sampe segitunya Yuki diperhatikan, aku sedang sakit dan mereka malah saling tolak menolak. Uhk sakitnya.
Belerai air mataku. Sampai azalku tiba, mungkin ya aku ngga akan ada yang menangisiku nanti, ngga akan.
Aku terisak
"Kami pulang dulu, kami akan mengunjungimu lusa"
Aku mengangguk tanpa melihat.
.
.
Eris tau aku menangis, dia pernah cerita padaku saat dia deman biasa orang tuanya sibuk mengurusnya sampai sembuh. Sama seperti Yuki yang sakit sedikit sampai segitunya mereka mengurus Yuki.
"Yui kamu ngga papa?"
Tanya Eris khawatir
"Iya Er"
Aku membalikan badan menatap insan milik Eris.
"Sayang, aku tau kok rasanya"
Eris mengelus rambutku
"Er dokter bilang waktuku hanya menghitung hari"
Eris terlihat marah,
"Kamu memang ingin menyerah ya"
Katanya dingin
"Er.."
"Hm?"
"Aku menulis surat untukmu juga"
"Mana?"
"Nanti dong"
"Dasar"
Eris mencubitku.
.
.
Berlanjut

Dandelion GardenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang