25 - Rumput Laut

34 5 1
                                    

" The Overtunes - Bukan Sekedar Kata "

***


Zahra terbangun dari tidurnya. Pakaian nya masih hitam-hitam. Belum digantinya sama sekali. Ia baru sadar jika hari telah berganti begitu cepat. Ia pun mulai takut lagi.

Dia berjalan ke arah cermin. Matanya membengkak karena terlalu lama menangis tadi. Ia membenarkan ikatan rambutnya yang sangat kacau sekarang. Ia berkaca dengan tatapan miris terhadap dirinya sendiri.

"Papa, maafin Rinda. Udah buat mama marah ke Rinda. Rinda janji bakal berbakti kepada mama. Walaupun mama bukan orang tua kandung Rinda." Bibirnya membentuk lengkungan kecil.

"Tapi Rinda udah janji sama papa, dan Rinda harus menepati janji itu." Ia menarik napas pelan.

"Rinda harap papa selalu bersama Rinda disini." Setelah mengatakan itu semua, dia langsung mengganti bajunya di kamar mandi.

***

Ceklek

Dia mencoba membuka pintu kamarnya. Heran karena pintu itu terbuka begitu saja, tidak terkunci lagi seperti tadi. Ia pun keluar dari kamarnya itu. Sekedar memeriksa ada mama angkatnya lagi atau tidak.

Semua orang yang melayat di rumahnya sudah pulang. Terlihat dari rumahnya yang sudah sepi tak berpenghuni. Rumahnya gelap seperti rumah hantu. Zahra tak tahu harus menyebut ini rumah atau gudang.

Ia mengusap wajahnya kasar. Dia pun berjalan kedepan rumahnya. Samar-samar terdengar suara dari luar. Zahra makin melajukan langkahnya ke depan. Tampak ibu-ibu membicarakannya seraya memperhatikannya, kenapa harus tepat di depan rumahnya?

Tak peduli dengan tatapan ibu-ibu yang masih sibuk bergosip ria. Ia menatap ke arah sepatu berwarna hitam legam. Zahra berjalan lalu mengambil sepatu itu. Sekedar merasakan kehangatan papanya, walaupun bau sepatu dari papanya terus menerus menusuk hidungnya.

Setelah itu ia melihat halaman rumahnya. Bahkan bendera kuning atau putih masih bertengger di pohon dekat rumahnya. Ia masih tak menyangka papa angkatnya begitu cepat meninggalkannya. Zahra menangis pelan seraya menunduk ke bawah.

'Rinda kangen papa.' Batin Zahra sedih.

Puk

Zidan menepuk pundak Zahra, membuatnya sedikit terkejut karena hal itu.

"Ayo masuk. Tetangga daritadi ngomongin lo terus." Ajak Zidan. Zahra pun menurutinya untuk masuk rumah secepatnya.

Lalu Zidan mengobati luka Zahra akibat dari mama angkatnya Zahra yang termakan emosi.

"Nah sudah selesai." Ucap Zidan. Zahra memperhatikan lukanya. Rasa perih baru terasa sakitnya.

"Pintu kamar lo tadi gue yang buka. Gue ambil kunci duplikat yang ada di kamar mama." Zahra terperanjat kaget. Zidan begitu berani melakukan itu.

"Lo gila yah bang?" Tanya Zahra tak percaya.

"Gakpapa gue gila. Yang penting lo seneng." Zahra menjauhkan tubuhnya dari Zidan.

"Najisun mughaladoh." Zidan hanya tertawa.

***

Keesokan harinya Zahra akan pergi ke sekolah. Ia telah memakai seragamnya. Lalu merapikan rambutnya yang sudah mulai berantakan lagi. Padahal baru saja ia mengikatnya.

Ia pun membuka pintu kamarnya lalu berjalan ke arah meja makan. Di situ terdapat mama angkatnya dan Zidan yang terlihat telah menyelesaikan makannya. Mamanya bahkan tidak membuatkannya sarapan. Mama angkatnya meliriknya sinis sekilas lalu berdiri.

COSINUS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang