Saturday Night

4.2K 493 32
                                    

Bima duduk tenang sembari menatap layar ponselnya. Bibirnya mengulas sebuah senyuman manis setelah melihat wajah wanita cantik yang ada di layar ponselnya. Siapa lagi kalau bukan Dewi Arimbi yang sedang membawa sebuah pakaian bayi, dan foto selanjutnya, dia sedang tertawa bersama Putri yang membawa mainan bayi. Sepertinya Rimbi dan Putri sedang berada di toko perlengkapan bayi.

Tidak mau terlarut lebih dalam, Bima kembali mencari-cari apapun yang berhubungan dengan Sunday di semua sosial media. Dan sama seperti sebelumnya, Bima hanya membaca kembali artikel yang pernah dia baca. Dan kembali kecewa karena tidak menemukan apapun tentang alamat, atau tempat dimana Sunday bisa ditemukan.

Hampir dua minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Dewi Utari. Bima masih penasaran dengan kepribadian yang sebenarnya dari Dewi Utari atau Sunday itu. Atau sebenarnya Bima sudah termakan ucapan Tari tentang pertemuan kedua dan sebuah takdir itu.

Yang membuat Bima semakin frustasi adalah ketika dia tidak bisa bertanya apapun pada Arjuna. Karena jika dia mulai bertanya, maka Arjuna akan bertanya kembali padanya. Dan pada akhirnya, Bima mengingkari janjinya, lalu membongkar jati diri Sunday pada Arjuna. Atau yang lebih buruk dari itu, Arjuna akan mengatakan kalau Bima tertarik dengan Tari hanya karena Tari memiliki wajah yang mirip dengan Rimbi.

"Lagi baca apa Bim? Sibuk banget."

Bima mengangkat wajahnya dan melihat wanita cantik yang berjalan mendekatinya dengan membawa cangkir di kedua tangannya.

"Bukan apa-apa, Mbak." kata Bima sembari mengunci layar ponselnya, menaruh ponselnya diatas meja, lalu menarik cangkir berisi teh panas yang diberikan Arana.

Arana hanya mengangguk pelan, lalu duduk di depan Bima, tepat di samping jendela kaca yang memperlihatkan tetesan air hujan yang terasa menyejukkan.

"Apa kamu nggak mau mikir-mikir lagi?" tanya Arana sembari menyesap teh miliknya.

Bima menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis. "Aku udah dewasa Mbak, bukan waktunya kalian mengkhawatirkan aku lagi."

"Kamu mikir gitu ya?" Arana masih merasa bersalah.

"Mbak, ini keputusanku sendiri, jangan pernah mikir kalau aku pindah rumah gara-gara kalian menikah."

"Nggak bisa ya kalau kamu tetep tinggal disini aja―" Arana mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah. "―rumah ini terlalu besar buat aku dan Mas Juna."

Bima menggeleng lagi, "Kalian harus cepat-cepat punya anak, supaya rumah ini nggak terlihat terlalu besar." ucap Bima dengan senyuman manis.

"Kamu nggak nyaman sama aku ya Bim?" tanya Arana dengan wajah memelas.

"Jangan bikin aku geli deh, Mbak." ucap Bima dengan tawa pelan.

Arana ikut tertawa, "Kalau aku nggak bisa merubah pikiran kamu, kamu harus sering-sering main kesini ya Bim. Nanti aku bakalan bikinin kamu banyak makanan."

"Iya, Mbak. Makasih banyak, dan jangan repot-repot, kan Mbak tahu sendiri kalau aku bisa makan dimana aja."

"Justru itu yang bikin aku makin khawatir, kamu itu nggak bisa masak, kamu juga suka jajan sembarangan. Terus kalau tinggal sendirian, kamu mau makan apa?"

"Jajan sembarangan dalam arti yang sesungguhnya ya, Mbak." Bima terkekeh.

"Aku serius Bim."

Bima hanya tertawa kecil menanggapi kekhawatiran kakak iparnya yang memang sangat perhatian itu.

"Coba kalau Bima itu bukan adekku, pasti aku udah cemburu." kata Arjuna yang baru saja menuruni anak tangga.

Arana tersenyum manis, sedangkan Bima menggelengkan kepala, lalu menunduk dan mengambil ponselnya, karena sebentar lagi dia akan melihat adegan dan mendengar suara yang tidak seharusnya dilihat oleh seorang pria single.

When You Fall in Love, You Need a Double DosageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang