Pengawal, Pangeran dan Putri

22 0 0
                                    

Sebenarnya, untuk pangeran sepertiku, agak aneh kalau aku tidak punya pengawal.

Tapi nyatanya, emang nggak punya.

Nggak ada pengawal yang tahan menemaniku ke mana-mana sejak aku berumur 9 tahun. Entah aku yang berulah, susah dituruti kemauannya kalau keluar istana, atau malah mencederai mereka, entah.

Jadi yang kupunya hanya GPS yang selalu kubawa ke mana-mana.

Lebih tepatnya, yang memang ditanamkan padaku sejak kecil. Yah, setidaknya, di negara ini, setiap orang harus dipasangi GPS di dalam tubuhnya.

Intinya, aku merasa aku sudah lebih dari aman. Jadi, nggak perlu pengawal. Seperti orang penting saja.

Pengawal terakhirku mengundurkan diri sekitar satu-dua minggu yang lalu. Dia bilang dia nggak tahan denganku karena apa, aku lupa sudah.

Aku pikir, Ayah akan menyerah memanggil pengawal setelah aku terus-menerus membuat mereka mengundurkan diri.

Tapi, nyatanya, hari ini...

"Pengawal? Kau akan jadi pengawalku?"

Gadis yang akhirnya kutahu namanya, Indah, mengangguk.

"S-sejak kapan?"

"Sejak 10 hari yang lalu," jawab Indah dengan lugas, "Mengawasi ketiga orang penguntit ini adalah salah satu tugas saya, karena mereka sudah membuntuti Anda sejak tiga hari yang lalu."

Aku meneguk ludah setelah mendengar ada yang kurang kerjaan membuntutiku selama 3 hari.

10 hari... berarti tepat setelah pengawal terakhirku mundur.

Ayah memang keras kepala.

"Oh, iya, tadi mereka bilang, mereka menginginkan ini." Aku mengeluarkan pulpenku dan menunjukkannya pada Indah.

"Ah, Pangeran, apakah itu pulpen peninggalan mendiang Ratu?" tanya Indah.

Kutatap dia dengan heran. Kok dia tahu?

"Iya, sih. Tapi kok kamu tau?" tanyaku penasaran.

"Karena pulpen itu sangat berharga," Indah menjawab, "dan Anda harus menjaganya baik-baik."

Hah, apa katanya?

Serius?!

"Jadi, begini, aku harus menjaganya supaya tidak ada yang bisa merusaknya kan?!" Aku bertanya dengan penuh antusias, yang dijawab dengan lagi-lagi anggukannya.

Oh, tentu saja aku senang bukan kepalang!

Nih, July, lihat!

Pulpen ini bukan sekedar pulpen butut!

Tapi kenapa pulpen ini berharga, ya?

Ah, nggak penting. Yang penting aku sudah tahu kalau ini berharga.

"Ah, ya sudah kalau begitu. Aku mau pulang saja, rumahku, err, di sebelah sana." Sedikit canggung, aku tunjuk istana yang memang rumahku itu, "Daah."

Aku melangkahkan kaki, dan seperti refleks, dia mengikutiku dari belakang.

"Eh, Indah, nggak pulang?"

"Saya akan temani Anda sampai Anda tiba di istana. Saya harus memastikan Anda sampai dengan selamat di sana."

Aduh, ribet banget.

"Ya udah, kamu sekalian mampir. Biar ketemu ayahku, aku mau ngomong sama dia."

Iya, aku mau ngomong saja dengan ayahku.

Kuharap dia bisa menjelaskan tentang ini.

* * *

"Aku mau bertemu dengan ayahku."

Revenger Attack (Remake)Where stories live. Discover now