Pertemuan Kedua

26 3 0
                                    

Namaku Jonathan Whiteknight.

Pangeran pertama dari negara Feneresia ini. Tapi kalian bisa memanggilku Joe.

Saat ini, aku sedang bertanya-tanya.

Di mana aku pernah bertemu dia?

Dia terlihat sangat familiar, tapi ingatanku jelek sekali sampai aku tak bisa ingat siapa dia. Atau mungkin aku yang memang tidak pernah bertemu dia.

Lagipula, sejak Ibu meninggal, aku rasa aku memang nggak pernah menemui siapapun. Jadi aku rasa itu hanya perasaanku saja.

Tapi, aku penasaran.

Kalau ada cewek asing yang mendekatiku, biasanya mereka akan terpesona oleh wajahku ini. Wajah mereka akan memerah dan matanya akan berbinar-binar.

Tapi, kenapa dia tidak demikian?

Justru wajah yang dia tampakkan sangat dingin, sampai rasanya aku melihat es batu dari dekat. Bahkan matanya pun menampakkan rasa tak minat yang amat sangat.

Aku menggelengkan kepalaku, dan memutuskan untuk memandang pemandangan yang disuguhkan oleh jendela besar yang menutupi hampir seluruh dinding kamarku, menghadap ke perkotaan yang terlihat rendah sekali jika dilihat dari kamarku ini.

Istana ini terletak di atas bukit. Tentu saja apapun yang dilihat di sini akan terlihat lebih pendek.

Sambil melirik perkotaan yang terlihat indah itu karena cahaya mentari terbit, aku membenarkan seragam baruku.

"Pangeran, sebentar lagi waktunya sarapan." Seorang pelayan mengetuk pintu kamarku.

"Iya, aku akan segera keluar," jawabku. Setelah usai memasang blazer, aku mengeluarkan pulpen yang dikembalikan oleh perempuan itu kemarin, lalu memandangnya.

Benda seberharga ini, kenapa bisa aku menjatuhkannya? Bodoh sekali.

"Ibu, hari ini hari pertamaku berangkat ke sekolah, seandainya Ibu bisa melihatku dan July pergi ke sekolah—"

"Kakaaaaaaaak!! Katanya Kak Evan, kakak lagi pedekate dengan cewek, ya?!"

Adikku tiba-tiba merusuh, masuk kamarku tanpa izin. Pelayan yang berada di dekatnya panik, berusaha menahannya agar tidak masuk kamar, tapi terlambat.

Pedekate? Siapa?

Belum sempat aku menjawab demikian, pandangan adikku beralih dari wajahku ke pulpen yang kupegang saat ini.

"Kakak! Sudah berapa kali July bilang jangan bicara sama pulpen butut itu! Apa sih pentingnya bicara dengan benda itu seakan-akan Kakak bicara dengan Ibu?!" July memprotes yang sedang kulakukan, tentu saja aku tersinggung.

"Hei, July! Ini bukan pulpen butut! Ini benda penting yang ditinggalkan Ibu padaku, tau! Jangan bicara seenaknya begitu!"

Memang, pulpen ini sudah butut dan usang sekali. Tapi sebelum hari-hari menjelang kematiannya, Ibu selalu berpesan bahwa pulpen itu penting dan harus dijaga baik-baik. Bahkan setelah meninggal pun, seorang pelayan langsung memberikannya padaku dan menyampaikan pesan dari ibuku.

"Jaga baik-baik, sampai saatnya kamu akan menggunakannya."

"Aku tak mengerti! Di antara semua yang Ibu tinggalkan untuk kita, kenapa Kakak malah mengagung-agungkan pulpen butut itu?!"

"Tentu saja kau tak mengerti betapa pentingnya benda ini! Butut pun akan tetap kujaga, karena Ibu memintaku melakukannya!"

"Ah, anu, Pangeran, Putri!"

Pandangan kami berdua tertuju pada pelayan yang sudah kebingungan bagaimana caranya mendamaikan kami.

"S-sudah waktunya sarapan. S-silakan ke ruang makan, saya yakin Yang Mulia sudah menunggu kalian."

Revenger Attack (Remake)Where stories live. Discover now