Chapter 5

304 34 9
                                    


Jam kembali berputar. Hari-hari sudah berlalu. Tanpa mempedulikan nasib pilu yang diterpa oleh Fajar yang kini tengah duduk diam menikmati secangkir kopi yang di suguhkan oleh Nek Narti- nenek Embun-. Embun sudah 2 hari keluar dari rumah sakit.

Sekarang ia masih memulihkan tubuhnya di kediaman nenek yang menjadi tempat ia dibesarkan itu.

Fajar masih melamun. Hatinya tak tentu arah untuk saat ini. Embun mengatakan bahwa dia akan selalu ikut campur mulai saat ini. Ikut campur dalam setiap permasalahan organisasi.

Fajar hanya bisa diam saat dengan lembutnya Embun berkata, “Masalahmu masalahku, masalahku masalahmu. Kamu yang bilang gitu kan?”

“ Embun bilang, kamu pulang aja nak Fajar. Katanya 2 hari lagi dia akan masuk kuliah lagi.” Ucapan Nek Narti membuyarkan lamunan Fajar yang masih menatap kosong kedepan sana. Ia menjawab dengan senyuman ucapan itu sembari berdiri dan mengambil tasnya.

“ Bilang sama Embun ya nek. Jangan mikirin apapun” Ucap Fajar kemudian menyalami nek Narti yang sering sekali membuatkan makanan untuknya itu.

Fajar berjalan lamban menuju motornya yang terparkir di halaman luas rumah Embun itu. Ia tak tau akan diarahkan kemana motornya ini. Ia ingin menjelaskan pada Embun tapi keadaan benar-benar tak memungkinkan. Embun tidak boleh berfikir dengan keras. Embun tak boleh beraktifitas terlalu berat. Sangat membahayakan bagi kesehatannya.

Embun, jangan seperti ini.”

Disudut lain, Raina tengah asik menuliskan beberapa kata yang sekarang tengah menari-nari dikepalanya.

Ia merajut kata per kata menjadi sebuah untaian indah. Di tepi danau tempat biasanya ia dan Mizella memperhatikan keindahan senja. Ia masih sering duduk disana walau hanya sendiri.

Sesekali ia menoleh ke arah handphonenya dan membalas pesan Mizella dan teman-teman lainnya. Sesekali fikirannya dihantui rasa penasaran tentang keadaan gadis lembut itu beserta pacarnya.

Kenapa aku harus peduli?” begitulah ucapnya sendiri jika bayangan kejadian saat di rumah sakit menghampirinya kembali.

Sudah 2 hari ia dan Fajar tak bertegur sapa. Setiap berpapasan, Raina tak memandang sama sekali begitupun Fajar padanya. Terlebih lagi, Raina tak melihat Embun selama 2 hari ini. Tunggu, ia memperhatikan?

“ Dia sakit bukan karnaku. Dia memang sudah sakit. Aku tak salah.” Lagi-lagi ia meyakinkan dirinya bahwa ia tak bersalah sama sekali.

Padahal dihatinya sangat ingin rasanya bertanya dan mengetahui bagaimana kondisi gadis itu sekarang.
“ Benar. Kamu gak salah Raina.” Suara berat seseorang menghentikan pandangannya pada buku kecil kesayangannya itu. Raina menoleh cepat dan terkejut seketika.

Laki-laki itu datang kearahnya.

Fajar.

Seketika Raina langsung memalingkan wajahnya dan menatap ke arah depan kembali. Kenapa laki-laki itu bisa melihatnya disini? Kenapa ia bisa kesini?.

Decahan kesal terdengar jelas ditelinga Fajar. Ia hanya tersenyum miring dan kemudian duduk disamping Raina dengan lemas.

“ Anggap aja aku gak ada kalau merasa risih ya,” Ujar Fajar lemas lalu membaringkan tubuhnya dengan lepas.

Ia lelah.

Hanya itu.

Melihat itu, Raina hanya bisa menggeser posisi duduknya dan menjauhi laki-laki aneh itu. Ia bersandar pada pohon rindang dan kembali fokus pada bukunya. Ia mengabaikan keadaan Fajar dan apapun yang dilakukan Fajar didepannya.

Setelah Senja UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang