————
Jika saja ada hitam, itu sudah pasti ada putih. Jika saja ada siang, itu pasti ada malam. Dan jika saja ada kamu, maka pasti ada aku.
————"Wira dateng." Raegan melirik kearah Gaza yang baru saja menyampaikan informasinya.
"Ngapain?" Tanya River bingung. Sedangkan Raegan hanya diam mendengarkan.
"You think? Dagang cilok? Apa lagi kalau nggak mau ngincer tahta Raegan?" Gaza itu sebenarnya tipikal orang yang humornya nggak bisa di prediksi. Kadang ia tidak bisa melucu, kadang ia sering melucu.
"Yakali dagang kolor. Lagian kan dia juga megang Geav Bara kan? Ngapain juga mau ngincer tahta Raegan?" Tanya River tidak mengerti.
"Geav sama Gerda besaran mana sih? Apa lagi kasus Geav udah banyak banget, bentar lagi juga Gridema ngebubarin mereka. Coba bayangin mereka udah bkin masalah banyak banget, yang mabok sampe kecelakaan lah, ngehamilin anak orang lah, terus apa lagi? Coba Gerda? Adem, ayem, tentram, bisa di atur semua anggotanya. Cuma lo doang kayaknya yang nggak bisa di atur." Gaza membuka kotak rokoknya, namun urung kala Raegan bersuara.
"Umur lo belum legal, sekali lagi gue nemuin ini di saku lo. Keluar lo dari Gerda." Raegan seraya mengacung-ngacungkan bungkus rokok yang kini beralih ketangannya.
"Mampus!" Itu ejekan dari River. Yang melihat itu, Gaza jadi kesal sendiri.
~oOo~
"Halooo sayanggkuuuuu!" Nyaring, membuat orang di sekitar menoleh kearah sumber suara.
Disana ada Jeana yang baru saja bertemu dengan Raegan.
"Makan yuk! Udah laper nih." Jeana langsung saja menggaet lengan Raegan.
Tidak ada penolakan tentunya, Raegan merasa ini sia-sia. Karena sekeras apapun ia melarang Jeana untuk berdekatan, tetap saja gadis itu tidak perduli.
"Mau makan apa?" Tanya Jeana saat setelah mendudukan dirinya di kursi yang berhadapan.
Tidak ada River, tidak ada Gaza pula. Yang ada hanya mereka berdua, Raegan dan Jeana. Yang sudah jelas membuat hati Jeana membuncah karena senang.
"Terserah." Jawab Raegan acuh. Ia merogoh ponselnya yang berada di saku, sedangkan Jeana hanya sibuk meniti gerak gerik Raegan.
Sadar dengan Jeana yang masih diam memaku dirinya, Raegan akhirnya bertanya, "ngapain masih disini?"
Jeana gelagapan, "a-kamu mau apa, Sayang?" Jeana bertanya lagi, takut-takut yang ia dengar salah atau ada yang terlewat.
"Gue fikir perkataan gue jelas tadi. Terserah lo, itu yang gue bilang."
Dalam keadaan normal mungkin Jeana akan bilang, 'emangnya gue babu lo?' Tapi kita semua tahu bahwa Jeana memiliki seribu keunikan yang tidak masuk akal.
'Gak apa-apa jadi babu Raegan, asal sama dia seharian penuh.'
"Yaudah, tunggu sini ya. Aku mesen dulu." Jeana pergi meninggalkan Raegan. Tanpa bingung, Jeana langsung menghampiri stand soto.
Raegan sangat suka soto. Soto tanpa kecap, jeruk nipisnya banyak, terus sambelnya di pisah. Oh jangan lupa, kuahnya dibanyakin juga.
"Buat Mas Raegan ya?" Tanya Abang sotonya.
Jeana hanya mengangguk terus tersenyum.
"Amang udah hapal banget." Jawab Jeana sedikit takjub. Hey! Bukan hanya Raegan yang membeli sotonya, tapi kenapa amangnya sangat hapal?!
"Iya, Mas Raegan kalau makan nggak pernah yang lain." Jeana mengangguk-nganggukkan kepalanya kala ia mendengarkan penuturan pedagang soto.
"Mau saya anterin apa sendiri?" Tawar Amangnya.
"Sama saya aja, Mang." Nampan itu beralih pada Jeana.
"Hati-hati ya, Neng. Nanti tumpah."
"Okee!"
Jeana dengan nampan di tangan berjalan menuju meja yang sebelumnya ia tempati. Hati gadis itu membuncah girang. Tidak ada alasan yang besar, itu semua karena Raegan.
Raegan yang menjawab setiap perkataannya saja sudah membuat Jeana senang sampai lupa akan sesuatu yang menyakitkan, apa lagi ini? Ah entahlah... Sampai rasanya ia berjalanpun tidak menapak di jalan.
Ya tidak menapak, namun sekarang beda konteks. Seakan kebahagiaannya di cabut paksa bersama separuh nyawanya. Senyum yang mengembang entah kemana perginya. Langkah kaki yang bersemangat terdiam di tempat seolah seseorang memakunya. Jeana diam, bak patung tanpa gairah yang bisa saja orang mendorongnya lalu jatuh dan retak.
'Jeana, kalau sakit jangan dilihat.'
Siapa yang menduga kalau Raegan malah sedang bercengkrama dengan gadis lain? Dia bisa tertawa, sedangkan dengan dirinya hanya ada wajah ketus tanpa minat, wajah kesalnya selalu menjadi wajah yang sering ia lihat jika bersama dengannya.
Tapi kenapa di saat Raegan bersama perempuan lain wajahnya berbeda?
Tempat di kantin sesak, tapi berkat Jeana, Raegan bisa duduk hanya untuk sekedar mengisi perutnya yang kosong di jam istirahat. Untuk pergi ke stand makanan sangat mengantri, yang mana membuat beberapa orang sangat kesal, namun Jeana melakukannya supaya Raegan tidak kesal karena mengantri.
Ia kurang apa? Ia selalu memperioritaskan Raegan diatas dirinya. Ia selalu ingin mengusahakan yang terbaik sekalipun hanya wajah sebal Raegan sebagai bayarannya.
Jeana mencelos, ia kenal gadis yang sedang bercengkrama itu. Sangat kenal sampai rasanya matanya perih dan tak sanggup lagi untuk melihat interaksi keduanya.
Dengan segala kekuatan yang tersisa, Jeana membalikan badannya yang malah hampir menubruk seseorang. Kuah kuning itu hampir tumpah, namun urung kala tertahan oleh dirinya yang malah membuat seragamnya kini berganti warna.
Untungnya mangkuk beserta isi yang Raegan pesan itu terselamatkan, sedangkan punya nya tidak.
"Maaf kak." Yang hampir menabraknya itu adik kelas.
"Nggak apa-apa, boleh minta tolong?" Tanya Jeana. Ia tidak kesal, ia hanya terlalu sedih sampai tidak memikirkan kekesalannya.
"Tolong kasihin nampan ini sama kakak itu ya." Jeana berbalik dan menunjuk Raegan yang tak mungkin menyadari keberadaannya.
"Bilangin maaf lama, aku mau ketoilet dulu. Nanti kalau udah tinggalin aja, udah di bayar."
Adik kelas itu mengiyakan tanpa bertanya. Dan setelahnya Jeana meninggalkan kantin.
'Katanya, kalau udah nggak sanggup, berhenti aja.'
❌⭕️❌⭕️
Long time no see!!!! Kangen kalian banget 😚
KAMU SEDANG MEMBACA
24/7 [HIATUS]
Teen Fiction"Bucin Raegan 24/7! No nego-nego!" Jeana Wiratama. "Berhenti ngebucinin gue! Gue bukan idol!" Azio Raegan Ganendra.