ketujuh

136 25 7
                                    

[Bintang]

Manusia memang seharusnya punya rencana, tapi jangan lupa kalau tuhan punya jalan cerita untuk masing-masing hambanya, dan gue salah satu penganut kepercayaan tersebut.

Sejak malam itu gue dan Kalyca pulang, gue nggak bisa bohong kalau sedikit dari kita ada yang berbeda. Meskipun gue tahu Kalyca lagi mencoba menutupi apapun itu yang dia pikirkan, begitu juga gue, yang masih menyusun rencana.

Gue mengerti dengan sangat kenapa keluarga Kalyca begitu. Gue juga sadar kalau saat ini gue yang jadi si bersalah, jadi harus gue yang berusaha lebih, bukan orang lain.

"Teh nya keburu dingin kalo kamu aduk terus, Kal. Kapan di minumnya?" Kalyca sedikit kaget waktu gue tiba-tiba pegang tangannya.

Yang di ajak bicara malah tersenyum kecil lalu mengangguk, setelahnya meminum teh yang dia aduk 15 menit sambil melamun. Ini bukan teh pertama yang dia aduk 15 menit, bukan juga pertama kali dia tiba-tiba hilang di tengah pembicaraan setelah hari itu.

Kadang gue berpikir, gimana caranya bikin mood Kalyca naik. Setidaknya sedikit lupa akan kejadian waktu itu. Karena sebenarnya harusnya itu gue aja yang pusing, dia nggak perlu, karena yang harus dia lakukan cuma diam dan menunggu gue memperjuangkan dia sampai dapat. Itu saja tugasnya.

"Do you wanna talk about it?"

"About what?" Katanya sembari meletakkan lagi cangkir di atas meja.

"Whatever it is on your mind." Perlahan gue menggerakkan ibu jari di atas punggung tangannya.

Sedangkan dia tersenyum lagi, lalu menggeleng pelan. "It's nothing."

gue menghela napas, "Can I be honest with you?" Kalyca mengangguk, mempersilahkan gue bicara, "I kinda feel like I lost you sometimes, you know."

Dia terdiam, tidak menunjukkan ekspresi terkejut malah sepertinya dia juga menyadari hal tersebut.

"Kita nggak punya banyak waktu berdua, dan ketika ada waktunya, saya ngerasa kamu lagi nggak ada disini sama saya. Your body is here, but your mind.. I don't know where that is." Mungkin memang tidak direncanakan untuk gue bicara seperti ini, tapi gue merasa tidak akan ada waktu yang tepat.

"I don't have much time left in here, Kalyca. And I want to enjoy every single day I have left with you, to be able to know you better. Doing things you love, listening to you, rambling about things I don't know." Gue melanjutkan, "It felt like we've already drifted apart before the time I go back."

Wanita ini diam saja, matanya lurus ke atas meja dibandingkan menatap gue.

"I'm sorry." katanya.

"No, no. I'm not blaming anything on you,  Chérie." Gue buru-buru mengoreksi, "Yang saya mau bilang adalah you can talk to me about anything, anytime you need someone to listen to your concerns, your worries, I'll be here. Saya lebih suka kamu berbagi beban sama saya di banding diam terus malah jadi nambah beban buat kita berdua, Sayang."

Kali ini giliran dia yang menghela napas, bedanya napasnya lebih berat ketimbang napas gue tadi.

"Aku cuma capek aja."

"Capek mikirin gimana kita kedepannya?" Dia menunduk, tidak menjawab dan cukup jelas setuju dengan gue, "Jangan dulu buat skenario di pikiran kamu sekarang, Kalyca. Apalagi yang nggak baik ujungnya."

"Tapi aku nggak bisa nggak kepikiran, Bin."

"Karena itu kamu." Gue menghela napas, lalu mempererat genggaman pada tangannya, "Just.. Don't think too much about it. Biar saya aja yang mikir, kamu nggak perlu. Saya aja yang berjuang sekarang, tugas kamu cuma duduk manis sambil menunggu."

"Tapi ini kita, Bintang. Nggak bisa cuma kamu yang berjuang." Sanggahnya.

"Akan ada waktunya nanti kamu ikut berjuang, Chérie. Tapi sekarang masih bagian saya untuk memperjuangkan kamu, kita. Bagian kamu masih harus nunggu, masih nanti, belum sekarang." Dahinya berkerut lucu, "Saya sayang sama kamu. Tau?"

Ekspresinya melembut, perlahan ujung bibirnya terangkat keatas. Meskipun sedikit, senyumnya tetap manis. Cukup membuat gue kewalahan.

"Tau." Ujarnya pelan, membuat gue tertawa kecil. "Tapi-"

"Apa lagi?" Gue menyela kalimatnya sebelum lengkap, "Sekarang tugas kamu cuma bahagia, karena itu penyemangat buat saya. Ngerti?"

Kalyca mengangguk, meskipun sedikit cemberut karena harus setuju dengan gue.

"Jadi, malam ini kita makan apa?" Kalyca mendongak, dengan gue yang sudah senyum lebar karena topik selanjutnya akan makanan.

Dia menghela napas, lalu menggigit bibir bawahnya, "Hmm." Kalyca berguman, matanya berputar ke berbagai arah sebelum akhirnya ke gue. "Jadi gini, Bin.." Ia berdeham. "Aku tau kamu nggak suka ini tapi aku lagi craving for this particular food."

Dan saat itu gue nggak bisa menahan keringat yang keluar, "Jangan bilang-"

"Please. Dengerin aku sampai selesai." Jari telunjuknya bertengger di bibir gue, menahan gue untuk bicara.

Gue menggeleng, membuat wanita di depan gue ini makin nggak karuan. "Tapi aku pingin.." Ujarnya sambil cemberut lucu. Iya lucu. Tapi menu makanannya nggak lucu.

"Kal, kita makan di luar aja, ok?"

"Hmmmm!" Dia menggeleng cepat, matanya bulat, kali ini benar-benar terlihat sedih dan menolak bangkit dari duduknya.

"Sayang.." Gue masih mencoba membujuk Kalyca, tapi yang di bujuk masih kuat akan pendiriannya.

"Malam ini aja.. Please.." Ketika please nya Kalyca sering terdengar, matanya juga sudah jadi besar, saat itulah Bintang lemah dan akhirnya mengalah. Membuat yang tadinya sedih jadi senang bukan main, lalu langsung berdiri dan menjatuhkan bibirnya sebentar di pipi gue ini, sebelum akhirnya berlari girang ke dapur dan mulai masak makan malam kita malam ini.



Nggak apa-apa, Bintang. Indomie tidak seburuk itu bagi kesehatan. Cuma satu malam, bisa lah di tahan.



---

aku team indomie rebus, kalian?

with love, H xxxxxxxxo.

b'shert [KTH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang