ketiga

217 29 10
                                    

[Bintang] 

Gue sadar betul jika sesuatu yang sengaja di tutupi itu akhirnya tetap harus terbongkar. Memang bukan hal yang buruk yang sedang gue tutupi sekarang, hanya hal berlandaskan 'kecanggungan yang tidak terlalu mengenakkan' yang jika akhirnya terkuak akan begini jadinya. 

Sudah satu jam penuh tangan gue ini gue letakkan di atas tangannya, melihatnya yang hanya diam setelah berargumen singkat dengan gue dan lelaki di hadapannya. Salah gue memang, momen ini mungkin bukan momen terbaik untuk mengungkapkan bahwa sebenarnya gue kenal Gibran, begitu juga sebaliknya. 

Tapi bukan berarti gue tidak berusaha untuk membuat suasananya menjadi tepat. Hanya saja, sebagai laki-laki memang sepertinya gue masih tetap jadi tempatnya salah. 

"Kita kenal di Paris, Bintang ini adik kelasku dulu, iya kan Bin?" Gue mengangguk sambil terus mempersilahkannya menjelaskan. "Kita cukup dekat karena ya sama sama dari Indonesia. Kita sering hang out bareng, banyak bertukar pikiran juga, sampe aku pindah ke Jakarta tapi Bintang masih di sana, setelahnya jadi jarang komunikasi." 

Kalyca hanya mengangguk sambil mengaduk-aduk makanannya, yang bahkan dari tadi belum ia suapkan ke mulutnya. 

"Ah! Bintang juga sering cerita tentang kamu, atau sekarang mungkin aku pikir itu kamu. Karena aku nggak tahu kalo itu ternyata kamu." Lanjutnya, "Sama kayak aku yang nggak tau ternyata itu Bintang yang- Aw!

Belum selesai kalimatnya tapi Gibran sudah teriak cukup keras. Membuat hampir semua sudut meja mengalihkan pandangan padanya. Sedangkan cinta gue ini sudah membuka matanya lebar-lebar, bahkan mungkin sudah siap makan orang. 

"Jangan kebanyakan ngomong kalo lagi makan, nanti keselek." Yang ini cinta gue yang sedang berbicara, setelahnya mulai memakan makanan yang sedari tadi belum ia makan. 

Keadaannya jadi jauh lebih sunyi dari sebelumnya, meskipun terkadang gue mencoba untuk bertanya atau Gibran yang membuka pembicaraan, tapi Kalyca masih terus menutup diri dan seperti tidak ingin bicara banyak. 

Gue masih tidak bisa mengerti kenapa, tapi yang jelas terlihat adalah Kalyca yang memaksa bibirnya itu naik ke atas setiap menanggapi pertanyaan atau pernyataan kami. Hingga acara makan malamnya selesai dan kami berpisah dengan rekan yang lain. 

"Kamu pulang ke rumah?" Ini Gibran. Gue sama sekali nggak kaget Gibran bertanya soal pulang kemana. Karena sepertinya dia mengenal Kalyca sama seperti gue mengenal cintanya gue ini, atau bahkan lebih. 

"Nggak, aku pulang ke apart." 

"Di anter Bintang?" Gue dan dia sama sama mengangguk, tidak mau menjelaskan lebih kalau sebenarnya gue juga pulang ke apartemen Kalyca. "Hati-hati ya, gue titip Kalycanya, pulangin dengan utuh jangan lupa." 

Gue tersenyum sambil setelahnya menjabat tangannya, lalu ia berbalik menatap Kalyca dan mulai mendekat. Setelahnya tangannya itu ia lingkarkan sebentar ke cinta gue ini. Awalnya gue kaget, mau marah bahkan, tapi gue masih menahan diri. 

Sempat terfikir juga kalau mungkin kemarin-kemarin gue nggak di Jakarta, mereka sering seperti ini juga. 

Sepanjang di perjalanan pulang juga Kalyca hanya diam sambil sesekali menatap ke luar jendela. Gue yang juga masih bingung harus apa akhirnya hanya diam, membiarkan dia yang butuh waktu untuk mencerna kenyataan bahwa gue dan Gibran ternyata teman dan membiarkan gue tenggelam ke pikiran bahwa Gibran dan Kalyca ternyata masih sedekat dulu.

Iya dulu, ketika gue dan Kalyca bukan apa-apa. Sedangkan Gibran yang punya banyak peluang untuk ada di posisi gue sekarang. Tapi setelahnya ada sedikit perasaan senang karena tahu gue yang menang. Meskipun tidak bisa bohong juga kalau gue masih sedikit kesal dan takut kalau kalau hal tidak menyenangkan terjadi. 

b'shert [KTH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang