[Bintang]
Salah satu keuntungan bekerja di Jakarta, selain bisa lihat Kalyca setiap hari adalah, waktu kerja yang nggak melulu harus di kantor. Mungkin hanya satu atau dua hari gue habiskan di kantor untuk meeting, biasanya revisi atau bahas kelanjutan, sisa harinya gue habiskan di rumah.
Kadang jadi supir antar jemput Kalyca ke kantornya, kadang juga jadi setan yang kerjaannya menggoda manusia yang tidak lain adalah Kalyca supaya bolos aja nggak usah ke kantor karena gue bosen di rumah sendirian. Meskipun kalau Kalyca kerja dari rumah, kita berdua sama-sama sibuk mengerjakan kerjaan masing-masing. Tapi kerja bareng Kalyca itu tetap menyenangkan.
Biasanya kita akan duduk berdua di sofa depan, satu dua kali juga duduk di balkon apartemen sambil menikmati angin sore bahkan sampai langitnya gelap. Tapi yang paling gue suka adalah waktu kita duduk berdua di meja makan, dia di depan gue dengan laptopnya. Kalau lagi nggak sengaja lihat ke depan, suka ingat Kalyca waktu di perpustakaan.
Her flushed cheeks, messy hair, and red lips karena udah nggak tau berapa kali dia gigit. Kadang karena datanya telat di submit bawahannya, kadang karena ada yang salah data, kadang juga karena kerjaannya terlalu numpuk and she simply needed a break.
Tapi semuanya cuma bikin gue senyum makin lebar karena ternyata lucu liat dia kesal sendiri. Mungkin bisa di bilang hiburan buat gue yang juga lagi pusing. Maaf ya Kal.
Sebenarnya ada lagi alasan kenapa gue lebih suka kerja nggak di kantor, karena di kantor ada Gibran. Sebenarnya gue dan Gibran baik-baik saja, mungkin lebih tepatnya mencoba merasa seolah-olah tidak ada apa-apa. Karena kalau di pikir-pikir memang nggak ada yang salah di antara kita berdua.
Tapi nggak bisa bohong kalau kita bertemu rasanya nggak sama lagi seperti waktu kita sama-sama belum tahu kalau ternyata perempuan yang kita bicarakan adalah orang yang sama. Dan gue juga nggak bisa menghilangkan fakta bahwa Gibran suka Kalyca, perempuan yang akan gue jadikan masa depan.
Kerja di bidang yang sama, bahkan sekarang di kantor yang sama, membuat bertemu Gibran menjadi hal yang nggak bisa dihindarkan. Apalagi satu kantor tau gue dan Gibran satu kampus dulu di Paris dan menganggap kami punya hubungan yang baik, yang mereka nggak tau calon istri gue pernah jadi perempuan yang Gibran sempat perjuangkan kebahagiaannya.
iya ya, udah jadi calon istri, hehe.
"Mas Bintang, boleh minta tolong nggak?" Gue mendongak, melihat Rian yang ternyata belum keluar ruangan setelah meeting selesai.
"Ada apa?"
"Habis ini mau kemana, Mas?"
Gue mengangkat alis lalu kembali fokus membereskan berkas bekas meeting pagi ini, "Jawaban gue tergantung jawaban lo."
Yang di depan gue terkekeh, "Mau minta tanda tangan Mas Gibran.." Gue masih diam, menunggu Rian melanjutkan kalimatnya, tapi setelah berapa lama masih tidak ada lanjutan.
Gue berhenti, kembali mendongak menatap Rian yang menggigit bibirnya ragu, "Terus?" yang di tanya malah menelan ludah.
"Tapi dari kemarin moodnya lagi nggak bagus.."
"Terus? Hubugannya sama gue apa?"
Masih dengan ragu Rian tersenyum kecil, "Temenin..." ucapnya membuat gue memutar bola mata.
"Yaelah, Yan." gue menggeleng sambil menutup laptop, "Udah gede, masa minta tanda tangan aja minta ditemenin." Nggak habis pikir, membuat gue tertawa sedikit. Kalau di lihat dari histori nya memang Rian yang paling muda, paling baru masuk kantor.
"Makan siang gue yang beliin deh, Mas." Lanjutnya membuat gue tertawa makin keras. Gue memang nggak tahu gimana Gibran di kantor, tapi memang banyak rumor yang bilang Gibran yang paling teliti dan tegas. I mean, that's how a leader should be.
"Gue nggak mau makan siang sama lo." Masih tersenyum gue bangun, "Yaudah ayo." Lanjut gue membuat Rian tersenyum lebar sambil bilang yes lumayan keras.
Ruangan Gibran nggak jauh dari ruang meeting kita pagi ini. Masih satu lantai, meskipun ruang meeting nya ada di ujung sisi yang satu dan ruangan Gibran di ujung sisi yang satu lagi. Berhenti di depan pintu, gue menoleh ke arah Rian, tapi yang di tatap hanya menatap gue balik, membuat gue menghela napas dan mengetuk pintunya.
Suara Gibran terdengar, mempersilahkan gue dan Rian masuk. Orang pertama yang gue lihat adalah Gibran, duduk di sofa dengan perempuan di hadapannya. Orang kedua yang gue lihat adalah si perempuan, tangannya dia lipat di dada, alisnya bertaut erat dan matanya menatap ke arah Gibran dan menolak melihat ke arah pintu yang gue buka. Hingga gue berdeham, baru fokusnya mengarah ke gue.
Mukanya merah, kerutan dahinya mulai hilang bersamaan dengan ekspresinya yang mulai tenang. Kalyca marah, atau setidaknya habis marah. Pandangan gue terfokus pada Kalyca, setidaknya hingga gue mendengar laki-laki di depannya dengan jelas mengeluarkan suara, seperti mencemooh.
"Just in time." Katanya, membuat Kalyca kembali menatapnya tajam. Gue bisa merasa Rian yang berdiri di samping gue bergerak, merubah posisinya menjadi di belakang gue.
"Rian mau minta tanda tangan proposal." Jelas gue, memotong Kalyca yang sudah membuka mulutnya untuk berbicara. "Yan, mana?" Mata gue masih memandang mereka berdua yang masih diam duduk di sofa.
"Ini proposal yang kemarin udah dibenerin, Mas." Katanya, masih ragu mendekati Gibran yang raut wajahnya jelas sedang tidak dalam mood yang baik.
Pandangan gue hanya fokus ke Kalyca yang tangannya masih ia lipat di atas dada, ekspresinya masih keras dan matanya melihat ke arah lain yang bukan gue. Hingga akhirnya Rian menepuk pundak gue untuk berterima kasih sekaligus pamit keluar ruangan Gibran.
Gue bahkan nggak ingat kapan Gibran tanda tangan karena fokus gue bukan Gibran, hingga Kalyca bangun dari duduknya, sekaligus menyadarkan gue kalau dari tadi gue nggak berbicara satu kata pun.
"Aku pulang." Katanya yang lalu berjalan ke arah gue, "Ayo pulang." Gumamnya, sambil memegang pergelangan tangan gue. Gibran yang memperhatikan hanya tersenyum sambil menghela napas.
"I'm just being nice, you know?"
Kalyca berhenti, sekali lagi memutar badannya dan menatap Gibran. Genggaman tangannya pindah ke telapak tangan gue, sekarang jadi sedikit lebih kencang dari tadi, "Really?" Katanya sambil tersenyum sarkas, and I'm sure I can hear her scoffs. Kalyca freaking scoffs everyone.
"Oke.." Gue mencoba tenang, sebenarnya lebih takut karena Kalyca sudah mulai nggak bersahabat, "Ini ada apa?"
"Kayak yang gue bilang, gue cuma berniat baik. Memberi saran apa salahnya?" Jawab Gibran yang dengan cepat di sela Kalyca.
"Apa aku keliatan butuh saran kamu?" Genggaman tangannya makin kencang, "Aku nggak butuh. Emang kamu tau apa?" Nadanya mulai meninggi.
"Aku tau apa yang cukup perlu aku tau. Kayak yang aku bilang tadi-"
"You know nothing." Kalyca bergumam, "Nothing at all."
Gue bisa lihat matanya mulai merah, "Ok, enough." Kataku menarik Kalyca mundur, "Kita pulang." Kalyca menghela napas cukup keras, sebelum berbalik menarik gue keluar ruangan Gibran. Bahkan gue belum sempat bilang apa-apa pada Gibran yang tampaknya masih berpegang teguh pada apapun itu yang dia katakan pada Kalyca.
Beda dengan Kalyca yang masih belum mengeluarkan satu katapun bahkan setelah kita ada di dalam mobil dan jalan pulang.
--
what do you guys think happened?
KAMU SEDANG MEMBACA
b'shert [KTH]
Romancereferring to the seeking of a person who will compliment you or whom you will compliment perfectly. Another chapters about love and struggle. Book 2.