Bagian 3

3.1K 42 0
                                    

Proses audit berjalan dengan baik. Ada beberapa temuan tapi untungnya bukan di divisiku. Bisa tidur nyenyak dan menghabiskan quality time bersama keluarga. Tim audit selama tiga hari full berada di kantor, divisi Humas dan Protokol hanya tinggal melengkapi berkas yang kurang. Sementara kakak kelasku entah sudah berada di mana.

Hingga sore itu di sebuah supermarket sepulang kantor. Kantong belanjaanku ditabrak seseorang dan semuanya berantakan.

"Maaf, saya tidak lihat tadi," ucap orang itu. Dia masih menunduk sambil memungut belanjaanku yang berserakan.

"Tidak apa-apa saya yang salah," ucapku kemudian.

"Sekar?" ucapnya lagi. Aku segera mengalihkan pandangan ke wajah pria itu."MasyaAllah, Pak Arif rupanya."

"Jangan panggil Pak! Kesannya saya jadi tua sekali, ha ha ha."

Aku tersenyum melihat ekspresinya yang konyol.

"Ini mau pulang?" tanyanya padaku.

"Iya. Tadi anak saya minta dibelikan buah dan sosis," jawabku santai sambil menyusun barang belanjaan di bagasi.

"Bagaimana kalau kita ngopi sebentar?! Kalau tidak keberatan, sebagai permintaan maaf saya."Untuk sejenak aku berpikir. Bang Harun tadi pagi berangkat ke site, dan putriku Arunika masih di rumah adik sepupuku. Tak ada salahnya kusanggupi tawarannya.

"Oke. Kita ngopi di mana?" tanyaku kemudian. Wajahnya Arif berubah semringah, senyum simpul menghiasi bibirnya.

"Kendaraanmu tinggal saja di sini! kita ngopi di Crown ya," ucapnya meminta persetujuan. Aku menjawab dengan anggukan.

Arif memberi isyarat agar menuju kendaraannya yang terparkir tak jauh dari tempat kami berdiri. Sebuah Nissan X-trail keluaran terbaru berwarna hitam metallic, sepertinya sesuai dengan karakternya yang cool. Aroma sejuk menguar ketika ia membukakan pintu kabin untukku, rupanya dari segi pengharum kendaraan, kami punya selera yang sama.

Tak sampai lima menit kami sampai di depan sebuah bangunan berlantai dua. Tertulis Crown nine ball di dinding bagian depan, dengan kerlip lampu mirip lampu diskotik. Hingar bingar live music terdengar saat seorang penjaga pintu membukakan pintu. Wangi daging panggang seketika menohok lambung, padahal Arif hanya ngajak ngopi. Mungkin baiknya langsung makan malam saja, pikirku.

Arif mengarahkan ke meja di sudut ruangan, berbatasan langsung dengan dinding kaca. Dari sini bisa dilihat temaram cahaya di luar bangunan.

"Mau makan sekalian? Saya masuk sini kok jadi lapar," ucap Arif jenaka.

"Boleh juga. Kebetulan saya belum makan," kataku juga dengan nada yang tak kalah jenaka.Seorang pramusaji menghampiri meja. Memberikan dua buah buku menu pada kami. Aku langsung memesan nasi dan sop buntut dengan minuman jeruk hangat, seharian lambungku belum terisi nasi.

"Wah, makan berat. Gak takut gemuk?" tanya Arif. Tampak sekali dia heran.

"Seharian saya belum makan nasi, Mas. Abaikan diet dulu," jawabku santai.

"Kamu tu, ya. Biasanya perempuan suka jaim dan malu-malu kalau makan dengan pria lain. Kamu beda, Sekar."

"Saya bukan tipe perempuan jaim, Mas. Jadi jangan heran kalau saya kadang gak punya malu, ha ha ha."

"Saya suka gaya kamu, Sekar."

Arif akhirnya memilih menu yang sama denganku.

"Saya lihat di akunmu, ada foto keluarga. Di mana suamimu sekarang?" tanya pria di hadapanku.

"Suami saya tadi pagi terbang ke site, Mas. Habis cuti dua puluh hari," kataku sambil menyuap kentang goreng.

"Wah pejuang LDR donk. Emang gak rindu?" tanyanya lagi.

"Pejuang LDR, kaya abege saja. Ha ha ha. Ya rindulah, Mas. Makanya kalau dia belum waktunya cuti, saya yang liburan ke sitenya. Bawa Ika Putri kami," tuturku serius.

"Istri yang pengertian ya," ucapnya sambil memandang takjub padaku.

"Biasa aja, Mas. Oh iya, masa saya aja yang cerita soal keluarga. Mas sendiri bagaimana? Istri sama anak ada di Kota juga, kan?" tanyaku padanya.

Tiba-tiba raut wajahnya berubah sendu. Sambil mengalihkan pandangan ke luar dinding kaca."Saya baru saja resmi bercerai, Sekar. Dengan hak asuh anak jatuh ke tangan saya, tapi karena terlalu sibuk mencari nafkah. Anak-anak saya titipkan pada Ibu saya," jawabnya lirih. Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Ada rasa bersalah hadir di relung hati.

"Maaf, Mas. Saya benar-benar tidak tahu, saya ...."

"Bukan salahmu, Sekar. Kamu kan tidak tahu." Arif memotong kata-kataku, di bibirnya tersungging senyum kegetiran.

Dua orang pramusaji datang mengantarkan pesanan kami. Tak lama kami pun dengan lahap menyantap makanan yang terhidang. Beberapa kali Arif memandang kepadaku, tapi tak terlalu kuperhatikan. Prioritas saat ini adalah mengisi perut.

Usai makan kami berbincang ringan tanpa menyinggung masalah keluarga. Rasa tak enak masih bersemayam dalam hati. Meski Arif beberapa kali mencoba bergurau. Dari pertemuan malam ini tampak jelas Arif adalah pribadi yang menyenangkan dan humoris. Siapa sangka kehidupan pribadinya berantakan. Pukul sembilan lewat lima belas menit kami berpisah, sudah malam juga.

Meski lelah aku tancap gas menuju rumah adik sepupuku. Di separuh perjalanan, Mirna adik sepupuku telepon. Katanya Ika sudah tidur, jadi jemput besok pagi saja. Atau biar dia yang antar, toh besok masih libur sekolah. Segera memutar arah untuk pulang. Usai mandi dengan air hangat aku langsung berbaring di ranjang yang empuk. Suasana rumah sepi tanpa Bang Harun dan Ika. Asisten rumah tangga kami selalu pulang di sore hari.

Jemariku mengusap layar ponsel dan menghubungi ponsel Bang Harun.

[Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi]Aku mendengkus kesal. Tapi bisa jadi di sana sedang gangguan jaringan. Bukankah ini bukan hal baru? ucapku pada diri sendiri. Iseng kubuka beranda media sosial, lalu tertuju pada sebuah status dari akun Arif.

"Salahkah jika aku iri pada suamimu?"

Deg.

Jantungku berdesir. Apa maksud dari status Arif ini? Apakah menyangkut pembicaraan kami tadi? Statusnya kulewati, namun kemudian masuk sebuah pesan di aplikasi messenger.

[Lagi ngapain? Sudah jemput Ika?]

Sebenarnya aku enggan berbalas pesan dengannya. Tapi rasa tak enak mulai timbul di hati, bagaimanapun Arif adalah kakak kelas.

[Lagi di kamar, Mas. Ika tidur di rumah sepupu saya, jadi ya sendirian]

Di akhir pesan kusertakan emot tawa.

[Wah, coba tadi tidak buru-buru pulang ya?]

[Mas, di mana?]

[Saya di hotel, besok mau ke dinas perikanan. Jadi kalau pulang ke rumah capek di jalan]Kantuk mulai menyerang. Sudah jadi kebiasaanku, jika nempel bantal akan segera terserang kantuk.

[Mas, maaf ya saya ngantuk banget. Saya tidur duluan ya]

[Selamat tidur, cantik]

Aku terpana melihat jawaban pesan dari Arif. Tapi kantuk tak mengijinkan untuk kompromi, akhirnya terlelap. Pukul dua dinihari aku terjaga karena ingin pergi ke kamar kecil. Barulah kuperhatikan secara detail pesan dari Arif, dan memang benar mata ini tidak salah membaca pesan itu.

"Dia bilang aku cantik," ucapku pada diri sendiri.

AKU DAN AUDITOR GANTENG [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang