Bagian 12

958 26 1
                                    

(POV Harun)

Aku termenung memandang Ika yang sedang asik mengerjakan tugas sekolah. Sesekali gadis cilik itu memandang padaku dengan penuh rasa heran. Mungkin hatinya bertanya, mengapa sang papa betah berada di kamarnya?

Beberapa kali kuusap rambut ikalnya. Gen ikal menurun dariku.

"Pa, kok sedih gitu?" tanyanya polos. Aku mencoba tersenyum.

"Ah nggak sedih kok. Papa lagi kangen berat saja sama Ika. Nggak boleh?" Aku balik bertanya.

"Boleh dong, Pa."

"Anak pinter. Nanti kita ke rumah Nenek di Jawa mau nggak?" tanyaku iseng. Aku harus bersiap dengan segala kemungkinan, termasuk perceraian.

"Kapan, Pa? Asik. Kita udah lama nggak ke rumah Nenek," serunya dengan suara riang.

"Nanti papa cari waktu ya. Sayangnya mama sibuk, jadi cuma kita berdua saja," ucapku dengan nada kecewa.

"Biar aja mama sibuk, Pa. Yang penting kita nengok Nenek," jawabnya lagi. Kurengkuh tubuh gadis cilik nan ayu itu. Wajah ayu, bentuk wajah oval, hidung bangir, Ika bak foto copi-nya Sekar. Hatiku terenyuh melihat sikap antusiasnya.

"Kalau sekolah sama nenek, gimana?" tanyaku lagi dengan berhati-hati.

"Mau, Pa. Yang penting ada Papa, kan?"

"Iya, ada papa." Aku kecup ubun-ubun Ika. Kelopak mata mulai memanas, apalagi hati ini. Makin tak karuan. Di tengah kegamangan hati, ponselku berdering.

[Saya sudah di Kalimantan sejak kemarin. Kapan ingin bertemu? Di mana? Arif]

Aku menghela napas. Aku siap menghadapi kenyataan terpahit sekalipun.

[Ketemu di kotamu saja! Sebutkan saja alamat, waktunya!]

[Muse, jam tiga sore! Besok!]

[Ya]

Akhirnya saat yang kunanti datang juga. Setelah menidurkan Ika, aku segera menemui Sekar. Wanita itu sedang melamun di kamar kami.

"Apa yang kau pikirkan?" tanyaku sambil duduk di sisi ranjang. Ia terkejut melihatku datang. Matanya tampak sembap, diri ini tergerak untuk memeluknya. Rindu menyergap relung hati tapi kutahan dengan sekuat tenaga.

"Arif sudah menghubungimu?" Ada rasa perih kala kulontarkan pertanyaan itu pada Sekar.

"Bang, ponselku ada di meja sejak kemarin. Silahkan kau periksa! Aku sudah bilang akan mengakhiri semuanya," tuturnya dengan suara lirih.

"Lalu apa yang kau harapkan dariku? Maaf? Atau apa?"

"Aku menyerahkan semuanya padamu, Bang!"

"Baguslah. Besok akan kuberi tahu keputusanku. Pria idamanmu itu mengajakku bertemu besok," ucapku sambil memperhatikan mimik wajah Sekar. Wajahnya menampilkan kekecewaan yang mendalam.

"Buat apa menemuinya, Bang? Tak cukupkah penjelasanku?" tanyanya seraya menatap mataku. Air mata mulai bergulir dari mata sembapnya. Aku palingkan wajah ke arah lain.

"Entahlah, Sekar. Aku hampir tak mempercayai bahwa semua yang terjadi adalah nyata. Kehidupan kita terlalu sempurna untuk kau hancurkan."

"Maafkan aku, Bang!"

"Sudahlah, Sekar! Tidurlah! Berdoalah agar Allah menyempurnakan kembali hidup kita seperti sedia kala!" ucapku gamang.

Setelah itu segera kutinggalkan Sekar yang kian terisak. Aku tak kuasa berdekatan dengannya. Apalagi mengingat tubuh yang selama ini kunikmati dengan halal, telah dicicipi oleh orang lain.

AKU DAN AUDITOR GANTENG [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang