(POV Harun)
Kuraba bantal di sebelah bantalku, kemudian membuka mata mencari sosok yang amat kucintai.
"Sayang," seruku memanggil dia.
Kubuka pintu kamar mandi, kosong. Lalu menuju keluar kamar. Cahaya temaram pagi menyeruak di sela-sela tirai premium berwarna gold kesukaan Sekar. Kulangkahkan kaki menuju dapur, mungkin Sekar sedang menyiapkan sarapan untukku. Nihil.
Kubuka pintu kamar Ika, nihil. Hati mulai dihinggapi rasa cemas, takut, lutut mulai terasa lemah. Secepat mungkin aku kembali ke kamar, mencari ponsel. Sebuah amplop jatuh kala kuambil ponsel di atas meja.
Mataku mengabut usai membaca surat dari Sekar. Kertas di tanganku terdapat bekas tetesan air. Tetesan air mata Sekar.
"Sekar, kenapa kau lakukan itu? Aku bersedia melupakan segalanya. Menerimamu kembali, melanjutkan kehidupan kita. Aku sangat mencintaimu, Sekar," ratapku pilu. Kuremas surat dari Sekar.
Air mataku tak lagi bisa kubendung. Duniaku kali ini benar-benar runtuh membayangkan hidup tanpa Sekar.
"Sekar, jangan tinggalkan aku!" Tubuh terasa lunglai. Tak ada lagi tenaga di tubuhku yang tinggi besar. Kusandarkan tubuh di sisi ranjang. Masih tampak sisa-sisa malam kami yang penuh cinta dan kerinduan, di atas ranjang.
Kubiarkan sejenak rasa ini tenggelam dalam duka. Mungkin benar kata orang, menangis bisa meringankan beban. Aku akan menangis hari ini Sekar, akan kubawa semua hal tentangmu di hati ini. Selamanya.
***
(POV Sekar)
Kuseruput kopi latte kegemaran yang dihidangkan Mirna pagi ini. Perutku bergolak nyeri. Semenjak peristiwa itu pola makan dan istirahatku tak teratur.
"Kak, Kakak baik-baik aja kan?" tanya Mirna sambil memandang prihatin padaku.
"Ya," jawabku singkat. Menikmati lambung yang kembali diremas-remas.
"Kakak serius mau pergi? Sudah tidak ada jalan lagi kah?" ucap Mirna lagi. Tangannya mengusap punggung tanganku perlahan.
"Iya. Ini sudah keputusanku, Mir. Ini semua salahku," Aku mulai terisak.
"Kak, bukankah Bang Harun mau memaafkanmu?" ucap Mirna lagi.
"Nggak, Mir. Bang Harun terlalu baik. Kakak nggak pantas buat dia," Aku makin terisak.
"Lalu, apa rencana Kakak?"
"Kakak sudah mengajukan cuti, mau menenangkan diri dulu."
"Kakak mau ke mana? Tinggal saja di sini bersama kami!" bujuk Mirna.
"Nggak, Mir. Kakak mau pergi sampai sidang mediasi berakhir. Setelah itu baru Kakak kembali kemari," ucapku lirih.
"Kakak jaga kesehatan ya! Maaf aku nggak bisa banyak membantu," ucap Mirna penuh sesal.
"Iya, terima kasih ya." Kami berpelukan dalam tangis. Saling menguatkan dalam sentuhan. Aku bersyukur punya Mirna yang bisa menguatkan. Kulirik jam dinding. Hampir pukul tujuh. Sebentar lagi jemputanku akan datang.
"Aku harus siap-siap, Mir. Makasih ya." Aku melepaskan pelukan dan mengusap sisa air mata di pipi.
"Iya, Kak. Jaga diri ya!" titahnya padaku.
Aku mengangguk perlahan. Lalu berjalan menuju kamar mandi untuk merapikan diri dan sedikit memoles riasan di wajah. Tak lama menunggu, ponselku berdering.
["Sayang, mas sudah di depan komplek ni. Rumahnya yang berpagar biru ya?"] Pesan dari Arif. Aku segera menekan tombol panggil.
["Hallo, Mas,"]
["Hallo juga, Sayang."]
["Iya rumahnya yang berpagar biru. Aku tunggu di depan ya!"] jawabku dengan suara parau.
["Oke, Mas kesana ya."]
Percakapan berakhir. Aku butuh waktu untuk istirahat. Jadi kuhubungi pria itu. Pria yang selalu menawarkan berjuta manisnya cinta. Pria yang membuatku lupa akan besarnya cinta dan pengabdian Bang Harun padaku.
Kukenakan kacamata hitam agar tak terlihat mata sembap. Sebuah mobil Nissan X-Trail berhenti di depan rumah. Mirna hanya menatapku dengan tatapan iba dan penuh harap. Terima kasih adikku. Aku tak ingin merepotkanmu.
Kereta besi yang dikendarai Arif melaju membelah embun yang masih menetes. Pagi ini begitu syahdu. Mentari masih enggan menampakkan diri. Kubiarkan Arif menggenggam jemariku dengan erat. Aku tahu ia begitu mencemaskanku. Aku bisa melihat dari tatapan matanya.
"Aku tidur ya, Mas?" tanyaku padanya.
"Iya, Sayang. Mas akan nyetir pelan-pelan," ucapnya sambil tersenyum.
Aku benar-benar lelah. Nyeri lambung pun makin jadi, Mudah-mudahan aku bisa bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU DAN AUDITOR GANTENG [TAMAT]
General FictionNamaku Sekar, tinggi seratus enam puluh senti meter, berat enam puluh kilogram. Kulit kuning langsat, rambut? Tidak kelihatan pastinya, karena aku berhijab. Belum syar'i tapi terus belajar memperbaiki diri. Aku bekerja di sebuah instansi pemerintah...