Ekstra Part

2.2K 50 7
                                    

POV Sekar

[Sekar, apa kabar? Mas harap kamu sehat selalu. Maaf, mas tidak bisa lagi menunggu tanpa kepastian. Memang, kamu nggak menyuruh Mas menunggu. Kamu adalah wanita yang istimewa di hati ini, makanya mas berusaha menunggu. Sayangnya hingga detik ini, tak kunjung ada jawaban darimu. Jadi Mas memutuskan untuk berhenti berharap dan memilih menikah kembali. Yah, semoga calon istriku bisa membuat hati ini melupakan semua kisah kita. Semoga kau juga menemukan kebahagiaanmu, Sekar.]

Tak ada rasa sakit merayap di hati, saat kubaca pesan singkat dari Arif. Selama ini air mataku kering karena menangisi kandasnya rumah tangga bersama Bang Harun.

Padahal dulu, saat bersama Arif aku merasa menjadi wanita paling bahagia. Hanya dengan senyumannya saja, asaku melayang hingga ke nirwana.

Kini semua terasa hambar. Segera kusimpan ponsel ke dalam saku jaket, dan beranjak pergi.

Langkah kakiku berpadu dengan suara roda koper. Hanya beberapa barang yang kubawa dari rumah penuh kenangan ini. Petir menggelegar kemudian disusul hujan yang mengguyur kotaku dengan deras. Untuk sesaat aku terdiam sambil mendengarkan tetesan hujan yang jatuh di atas kereta besi. Aroma hujan masuk ke dalam mobil melewati kaca yang sedikit terbuka.

Kupandangi lagi rumah yang menyimpan berjuta kenangan manis. Hari ini, setelah dua tahun bercerai kuputuskan untuk menjualnya. Uang dibagi rata, aku tak mau menikmati hasil keringat Bang Harun sendirian. Biarlah semua itu tetap menjadi kenangan yang tersimpan rapi di hati ini.

Mengingat Bang Harun menjadi siksaan tersendiri bagiku. Hati ini dipenuhi berjuta penyesalan. Pria bersahaja yang di matanya selalu terpancar kelembutan. Senyumnya selalu menyejukkan.

Ponselku berdering. Ika calling. "Hallo, Sayang."

"Hallo, Ma. Kata Eyang, kok kirim uang banyak banget?" celotehnya polos.

"Ha ha ha, bilang ke Eyang ya, Sayang! Uang itu hak Papa kok," jawabku hati-hati.

Gadis kecilku memasuki usia remaja, kini usianya dua belas tahun. Rambut ikal hitam mengkilat, bibirnya persis sepertiku. Matanya ... teduh, seperti mata Bang Harun.

"Mama kapan ke Jawa?!" tanyanya di seberang.

"Mama masih sibuk, Sayang."

"Yaaa, Mama," ucap Ika kecewa.

"Kan, baru dua bulan lalu kita ketemu? Masa udah kangen, sih?" bujukku padanya.

"Janji ya untuk segera jenguk Ika lagi, Ma?!" pintanya tegas.

"Iya, Sayang."

"Eh, Ma. Tahu nggak kalau ada yang deketin Papa lho. Salam-salam gitu,"ucap Ika lagi.

Rupanya sudah ada yang melakukan pendekatan pada Bang Harun. Wanita mana yang tak suka padanya, gagah, berpenghasilan besar. Entah mengapa ada nyeri menyergap mendengar penuturan Ika. Ada rasa tak rela jika pria yang pernah menjadikanku ratu di hidupnya, didekati oleh wanita lain.

"Terus, reaksi Papa gimana?" Aku ingin tahu.

"Papa cuma bilang sibuk. Udah gitu aja," jelas Ika polos.

"Eh, Ika. Lapor terus ke Mama, ya! Kalau ada yang deketin Papa."

"Siap, Ma." Begitulah hubunganku dengan Ika, seperti teman. Aku berusaha mengganti saat-saat berharga yang tak kumiliki bersamanya. Dari bibir cerewetnya aku mengikuti perkembangan Bang Harun. Sesekali aku menghasut Ika untuk menolak jika papanya mengajukan calon ibu tiri.

Namun, hasutanku hari itu tak berubah manis. Kudengar Ika terisak di ujung telepon.

"Ika kenapa, Sayang?" tanyaku cemas.

AKU DAN AUDITOR GANTENG [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang