Bagian 1

5.5K 70 2
                                    

Namaku Sekar, tinggi seratus enam puluh senti meter, berat enam puluh kilogram. Kulit kuning langsat, rambut? Tidak kelihatan pastinya, karena aku berhijab. Belum syar'i tapi terus belajar memperbaiki diri. Aku bekerja di sebuah instansi pemerintah, sebagai seorang Kabag.

"Bu, ini berkas yang harus ditanda-tangani!" ucap salah seorang anak buahku.

"Terima kasih, Emi. Oya sudah ada konfirmasi balik dari pihak Inspektorat?" tanyaku pada wanita berhijab bernama Emi.

"Sudah, Bu. Katanya besok pagi jam sembilan tim-nya datang," paparnya tegas."Masih orang lama?"

"Sepertinya nambah personil, Bu. Ada orang pusatnya, tapi saya belum dapat info lagi."

"Oke, saya tunggu info tentang orang pusatnya nanti sore! Paling lambat sebelum jam pulang, karena semua harus teratur waktu pemeriksaan!" titahku padanya. Wanita itu mengangguk dengan patuh.

Aku kembali berkutat dengan berkas-berkas persiapan audit. Cukup membuat kepala pusing dan melelahkan. Resiko pekerjaan.

"Aku harus tahu siapa orang pusat itu, untuk mengamankan audit. Jangan sampai kehadirannya membuat posisi tidak aman," ucapku pada diri sendiri.

Kukorbankan waktu makan siang bersama suami hanya untuk mempersiapkan berkas yang akan di audit. Wajah Bang Harun tampak cemberut kala video call. Sebenarnya aku sudah memberitahu perihal audit ini dua hari lalu padanya.

[Kok audit mendadak gitu sih, Ma?]

[Loh, kan aku udah kasih tahu Papa dua hari lalu? Masa lupa?]

[Waktu cuti Papa kan tinggal berapa hari aja lagi, Ma] ucap belahan jiwaku sambil menunjukkan wajah memelas.

[Mama janji, kalo udah selesai audit. Mama susul Papa ke site, gimana? Ayo donk senyum! Kasih senyum yang bikin Mama jatuh cinta dulu,] Godaku dengan suara manja.

Berhasil.

Wajah tampan dan bersahaja itu menyunggingkan senyum. Usianya memasuki kepala empat tapi kegantengannya belum memudar. Itulah suamiku Harun. Setelah senyum mengembang sempurna pembicaraan kami berakhir. Belahan jiwaku bilang ingin jalan-jalan dengan buah hati kami yang berusia delapan tahun. Gadis manis itu bernama Arunika.

Lewat tengah hari, portir cantikku yang bernama Emi datang ke ruangan.

"Bagaimana, Em? Sudah dapat info?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas-berkas yang ada di tangan.

"Sudah, Bu. Namanya pengawas dari Propinsi itu Arif. Usianya empat puluh tiga tahun, saya masih melacak sosmednya."

"Oke, kabari saya lagi kalau sudah dapat link sosmednya! Saya mau tahu dia itu orangnya seperti apa," ucapku serius.

"Oya siapkan jadwal ke salon untuk squad kita malam ini! Saya mau besok kita sambut tim audit dengan wajah fresh. Ingat! Bagian Humas adalah garda terdepan di setiap departemen," ucapku lagi.

"Salon yang biasanya kan, Bu?"

"Iya, kualitas di sana sudah teruji. Cepat hubungi yang lain! Sepulang kantor langsung treatment," titahku dengan jelas.

Gadis berhijab itu segera mohon diri. Aku kembali berkirim pesan pada Bang Harun, bahwa akan lembur. Karena ada pengawas dari Propinsi jangan sampai kecolongan. Sudah jadi rahasia umum untuk menyelamatkan banyak pihak cara kotor pun kadang kala ditempuh.

[Papa, nanti Mama pulang terlambat ya. Ada berkas yang harus dilengkapi, habis itu mau treatment ke salon. Titip Arunika ya, Mama love Papa]

Tak lupa kusertakan emot hati dan kiss bertubi-tubi di akhir pesan. Ponsel berbunyi, rupanya pesan balasan dari Arjunaku tercinta.

[Kalau soal Arunika, Mama gak usah kuatir! Papa kan ayahnya,]

Emot wajah cemberut tampak di akhir pesan. Aku tahu dia kecewa, tidak banyak waktu yang kuluangkan untuknya. Bisa servis dia di malam hari saja sudah untung.

Dulu, karirku tak sebagus sekarang. Tapi nasib sedang berbaik hati. Karena kesepian ditinggal Bang Harun bekerja, motivasi kerjaku semakin tinggi. Akhirnya bisa berada di puncak karir cemerlang seperti sekarang. Memang gaji PNS tidak seberapa, tapi pakaian mahal dan branded sudah jadi trend.

Apalagi gaji Bang Harun lumayan besar. Seorang Project manager bergaji duapuluh hingga tigapuluh juta rupiah perbulan, tergantung level perusahaannya. Perusahaan tempat dia bernaung sekarang berada di level menengah ke atas. Pokoknya semua dijamin, karena buat perusahaan bonafide. Kesejahteraan karyawan adalah pencitraan terbaik.

Emi si Portir cantik kembali masuk ke ruangan. Kali ini wajahnya semringah, lalu ia menunjukkan layar ponselnya. Dahiku berkerut penuh tanda tanya ....

"Apa ini, Em?" tanyaku sambil memandang wajahnya.

"Ini loh Bu, yang namanya Pak Arif Witjaksono. Orangnya cakep," ucap Emi sambil senyum-senyum.

"Makanya treatment nanti malam, biar dia kepincut sama kamu, Em!" ucapku jahil.

Gadis berusia duapuluh tiga tahun itu tersipu malu.

"Orang-orang seperti ini mana suka sama cewek cupu seperti saya, Bu."

Aku tergelak mendengar ucapannya.

"Em, tunjukkan donk kalau kamu punya sex appeal! Buat dia klepek-klepek," ucapku setengah bergurau.

"Sini lihat linknya, biar tak Add dia. Siapa tahu saya bisa promosikan kamu." Aku segera meraih ponsel Emi.

"Sudah sana, balik ke depan. Sebentar lagi kan jam pulang!" perintahku padanya.

Sejenak kuperhatikan foto profil milik Arif sang Auditor. Rambutnya mulai ditumbuhi uban, terutama di bagian ubun-ubun. Dia mengenakan kaca mata hitam dengan background pemandangan jejeran batu karang. Tampaknya dia sedang berlibur, jemariku segera menekan pengajuan permintaan pertemanan. Tak perlu menunggu lama permintaanku segera dikonfirmasi.

Rupanya dia sedang online. Segera kukirimkan di messenger ungkapan terima kasih.[Terima kasih sudah konfirm, salam kenal dari Sekar]

Tertera tulisan 'sedang aktif' di bawah namanya. Tak lama pesanku segera berlogo profilnya tanda pesan sudah dibaca.

[Salam kenal kembali dari saya Arif Witjaksono]

Ternyata dia low profile dan tak segan membalas pesan. Oke. Cukup untuk saat ini, pertemanan di jejaring sosial hanya untuk back up jika suatu saat perlu bicara secara pribadi.

Waktu menunjukkan pukul empat sore. Beberapa staf-ku di bagian Humas sudah masuk ke ruangan. Menandakan kalau mereka siap untuk berangkat treatment ke salon. Aku melemparkan kunci Pajero sport pada Nayla, gadis manis berhidung mancung itu menerima dengan sigap.

Malam itu aku benar-benar menikmati perawatan tubuh, dari ujung kaki hingga ujung rambut. Di bagian Humas memang ada dana khusus yang diajukan untuk menjaga penampilan dan wajah. Humas adalah lini terdepan dalam hal berhadapan dengan publik. Bisa dipastikan jika bekerja di bagian Humas pasti rata-rata berwajah rupawan.

Pukul sembilan malam aku sampai di rumah. Aroma sedap makanan menguar ketika Arjuna tampan membukakan pintu. Kecupan bertubi-tubi segera ia hujani di wajahku.

"Papa rindu, Mama kok tambah cantik."

"Masa sih, Pa? Istrinya siapa dulu," ucapku sambil merangkul leher besarnya.

"Mama laperkah?" tanyanya padaku.

"Iya, Papa sayang masak apa?"

"Masak spesial. Iga bakar saos mayonaise. Tapi Papa lapar yang lain. Boleh, gak?" tanyanya genit.

"Gak bisa ditunda nanti, Pa?" jawabku tak kalah genit.

"Gak bisa, Ma. Kebetulan Arunika udah bobo, gimana?" tanya Bang Harun lagi sambil meraih tubuhku lebih dekat. Napasnya memburu, aku tahu dia merindukanku.

Kuusap wajah tampannya, lalu mengangguk perlahan dan malu-malu.

"Mama kan kekasih halalnya, Papa."

Tangan kekar milik Bang Harun segera menggendong tubuhku yang tak seberapa besar. Kemudian menghiasi tiap menit dengan sentuhan sayang dan kerinduan yang tak terpisahkan.

AKU DAN AUDITOR GANTENG [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang