O17

17.5K 2K 29
                                    

Jeno tersenyum menatap sebuah liontin di tangan nya. Menyentuh kepala kelinci yang ia pilih sebagai bandulan, Jeno membayangkan akan sangat cantik bila liontin ini melingkar apik di leher jenjang milik Nana.

Semakin tidak sabar, Jeno lalu memasukan benda tersebut ke dalam saku celana nya. Sembari menunggu Nana keluar dari kamar mandi ia lantas mendudukkan diri nya di tepi ranjang.

Omong-omong, mereka sudah satu kamar sekarang.

Berdebar sendiri begitu mata nya menangkap siluet Nana yang baru saja keluar hanya dengan bathrobe yang menutupi tubuh nya. Jeno dejavu, seharusnya dia biasa saja sebab ini sudah yang kesekian kali nya ia disuguhi pemandangan seperti ini di depan mata nya. Tapi kali ini, rasa nya sama seperti untuk pertama kali nya ketika ia membuka pintu kamar Nana tanpa ketukan hari itu.

Menggeleng kecil pada pikiran kotor yang hinggap di kepala nya, Jeno menelan saliva nya."Kemari Lah, biar aku bantu mengeringkan rambut mu."

Apa-apaan itu, kenapa suara nya terdengar bergetar. Memalukan. Lihat raut wajah Nana sekarang, lelaki manis itu kini melempar tatap curiga kepada nya.

Jeno lalu mengusap tengkuk nya yang tak gatal sembari tertawa canggung untuk menutupi kegugupan, apalagi sekarang Nana serta merta juga berjalan ke arah nya.

Tanpa aba-aba langsung saja di tarik nya si manis untuk duduk di pangkuan nya.

Nana memekik kecil,"Aku duduk di samping saja!"

"Tidak jadi kalau begitu."

Kedua mata cantik itu menatap nya sengit,"Yasudah."

Jeno kelabakan, dengan segera menahan pinggang Nana untuk tetap diam di pangkuan nya.

"Hehe.. bercanda sayang."

"Jangan macam-macam!" peringat Nana. Tangan nya kini bergerak menyerahkan handuk kecil itu kepada Jeno.

Lelaki tampan itu terkekeh pelan,"Berarti kalau satu macam boleh?"

Nana melemparkan deathglare nya, berbanding terbalik dengan tangan nya yang kini di lingkarkan apik di leher suami nya.

Jeno lalu segera mengusak-ngusak pelan rambut Nana yang basah. Aroma wangi strawberi menyeruak tak terhindarkan menyapa indra penciuman nya.

"Wangi sekali."

Nana mengulum senyum."Aku ingin mewarnai nya, boleh?" Ah, sebenarnya beberapa hari ini dia berniat untuk mengubah warna rambut nya.

"Boleh. Memang nya ingin mewarnai nya apa?"

"Pink!"

Sebelah alis Jeno terangkat,"Pink?" tanya nya memastikan.

Nana mengangguk antusias.

"Tidak boleh!"

Bibir si manis lantas mengerucut tidak suka.

"Tidak boleh sayang.. Nanti kalau kau semakin cantik bagaimana? aku bisa terkena serangan jantung melihat—"

Jeno terkesiap begitu tanpa aba-aba Nana membungkam bibir nya dengan sebuah ciuman.

Nana sedikit enarik diri,"Jangan berkata seperti itu.. "

Jeno mengulum senyum, meletakkan handuk di tangan nya lalu menangkup kedua pipi gembil itu bersamaan. "Maafkan aku."

Kedua nya lalu bertatapan, Jeno terkekeh pelan memperhatikan raut wajah lelaki nya dengan gemas. Mengikis jarak, mendaratkan dengan sempurna bibir berisi nya pada helaian tipis itu. Menggerakkan nya perlahan begitu mendapati Nana memejamkan kedua mata nya, mempersilahkan.

When I Married UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang