1. Pertemuan

57 6 0
                                    

"Kalian sudah membawa alat perlengkapan MOS dengan lengkapkan? Kalo ada yang merasa kurang lengkap silakan maju kedepan, tanpa harus diperikasa satu-satu oleh anggota OSIS. Tapi kalo tidak maju sekarang, nanti waktu diperikasa anggota OSIS ketahuan tidak lengkap membawa alat, akan dihukum lebih berat." hari ini sedang berlangsung MOS di sebuah SMA Garuda sejak pukul 08.00 pagi.

Sedari dari tadi seorang gadis bernama Alana Karnita tampak cemas karena penuturan laki-laki yang memiliki paras cukup menawan di atas audium SMA Garuda yaitu, Arta Mahindra. Ia merupakan ketos SMA Garuda.

"Maju gak ya? Maju ajalah, dari pada di hukum lebih berat" setelah melakukan perdebatan singkat di otaknya. Alana memutuskan untuk maju ke depan yaitu tepat dimana pemimpin upacara biasa berdiri.

Tanpa menunggu aba-aba, sekarang seluruh sepasang mata mengarah kepada Alana membuatnya menjadi pusat perhatian.

Alana merasa takut karena tatapan yang diberikan oleh semua siswa-siswi MOS yang sedang berdiri di lapangan utama SMA Garuda. Alana mulai mengeluarkan keringat di pelipisnya. Padahal cuaca hari ini terlihat mendung. Bisik-bisikan itu membuatnya teringat akan sesuatu, tapi Alana berusaha mengabaikannya.

"Berani banget si."

"Gila ni cewek jujur banget, cantik lagi. Jadi pengen gue gebet."

"Cocok jadi calon bini nih."

"Patut diacungi jempol."

"Bini gue tuh."

"Gila, cuantek bener nih cewek."

"Najis."

"Hukum aja Kak. Biar kapok."

"Tinggal dimana tuh cewek. Pengen gue lamar pulang sekolah entar."

"Caper kali dia."

"Cantik deh."

"Kasian ya?, kira-kira dihukum apa ya ni cewek?"

Itulah bisik-bisikan yang di tuturkan untuk Alana. Alana kembali merasa takut. Ia hanya menundukkan kepala, takut melihat sekitar. Tubuhnya mulai bergetar memperlihatkan rasa ketakutannya.

"Ssttt! Diam! Saya selaku ketua osis menghargai kejujuran kamu. Karna itu saya beri kesempatan untuk melengkapi alat yang tidak kamu bawa. Nama kamu siapa?" Alana bernapas lega karena kebaikan hati seorang Arta. Ia mendongak menatap manik mata Arta yang berwarna hazel, sama dengan warna bola matanya.

"Aaah, gak seru banget si Kak Arta."

"Coba gue maju dari tadi, pasti gak kena hukum."

"Gue rela kok, di hukum oleh Kak Arta."

"Calon gebetan gue selamat."

"Sok-sokan."

"Cari muka. Jijik banget."

"Kak Arta pilih kasih."

"Kak Arta ganteng banget."

"Aku meleleh mas."

"Cantik juga nih cewek."

"Kak Arta kok gitu?"

Untuk ke sekian kali, bisikan yang banyak keluar dari siswa-siswi mulai terdengar membuat Arta untuk ke  sekian kalinya juga membuka suara di depan pengeras suara yang ia pegang agar tidak terjadi keributan berkepanjangan.

"Hei! Diam! Kalian mau saya hukum?!" sunyi tak ada yang membuka suara. Bahkan tidak Berani untuk menbuka mulutnya. Siswa-siswi menjadi mengatupkan mulutnya rapat-rapat, takut terkena hukuman.

Prince SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang