3. Belanja

28 3 0
                                    

Seorang laki-laki tengah berjongkok di hadapan sebuah gundukan tanah yang sudah terdapat sebuket bunga mawar. Tangannya bergerak-gerak ngusap nisan yang bertuliskan Arina Yudiana.

"Nana, gue di sekolah ketemu dengan cewek yang mirip banget dengan lo. Sifatnya juga sama dengan lo, sama-sama ceroboh. Hahaha..."

Hening, hanya ada suara burung gagak berkicau yang terdengar.

" Lo tau gak kenapa gue ketawa? " Gian berbicara sendiri di hadapan gundukan tanah, berharap orang yang ia sebutkan namanya menjawab pertanyaannya. Tapi hal itu mustahil. Arina tidak akan menjawab, ia sudah berbaring seolah nyaman dengan posisi itu.

Gian mengacak rambutnya dengan gusar. "Na gue minta maaf sama lo. Sebenernya gue tau lo sayang sama gue lebih dari seorang teman. Tapi gue udah nganggep lo sebagai adik gue sendiri. Sampai akhirnya bajingan itu ngerenggut nyawa lo. Gue selalu nahan untuk nonjok bajingan itu saat gue gak sengaja bertatap muka sama adik tiri gue. Hahaha... Ya ampun malu gue punya adik macem dia." Gian memukul-mukul dadanya karna merasa sesak.

Rasanya Gian ingin menangis, tapi ia tidak bisa. Ia ingin kembali ke jati dirinya yang sudah 3 tahun ini Gian buang pun, tidak bisa. Gian sudah berjanji kepada Arina untuk tidak menangis dan menghilangkan kebiasaan buruknya.

Gian kangen dengan sosok Arina yang menghiasi kehidupannya. Gian kangen dengan kecerobohan yang selalu di lakukan oleh Arina. Gian kangen dengan senyuman Arina yang amat manis. Gian ingin kembali lagi ke masa-masa di mana Arina masih ada di dekatnya. Tapi sepertinya Tuhan lebih sayang kepada Arina.

"Eehh udah dulu ya Na, gue mau balik dulu. Lo tenang di sana ya? Tenang aja kok, gue gak akan pernah ngelupain ataupun ngingkarin janji yang gue buat sendiri. Kalo lo gak percaya perhatian gue dari atas ya. Biar lo liat sendiri kakak lo yang gans ini akan selalu ngingit seorang Arina Yudiana selama lamanya. Hahaha bye adik yang kakak sayang. " Gian meneteskan air matanya tepat di nisan Ariana.

***

"Ma Alana pergi sebentar ya. Mau ke mini market. " Alana menyalimi tangan wanita paru baya yang sedang duduk di atas sofa kecil. Membuat pandangan wanita itu yang semula menatap benda padat yang bisa mengeluarkan gambar dan bunyi beralih menatap anak bungsunya itu.

Mira-Mamanya Alana mengerutkan mukanya "Kamu emang mau beli apa disana? Makanan? Terus pergi nya sama siapa?" tanya Mira bertubi-tubi.

"Hehehe Mama tempe aja kalo Lana pengen jajan. Sendiri Ma, lagian belom malem-malem banget." Alana menuntun tangannya untuk menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Mira membulatkan matanya, terkejut sekaligus tidak terima dengan apa yang baru saja anak bungsunya itu katakan. "Belom malem kata kamu? Ini udah jam 20:30 sayang, Mama gak mau kamu ada apa-apa di jalan."

Alana menunduk menatap kakinya yang terbalut kaos kaki warna hitam, takut menatap mata Mira.

"Huftt... Yaudah kalo kamu pengen banget pergi, tapi Mama punya sarat." Mira tidak tega melihat putri bungsunya ini sedih.

Alana menegakkan kepalanya menatap binar mata wanita paru baya yang masih terlihat cantik walaupun umurnya sudah terbilang cukup tua.

***

"Mau beli apaan sih dek? Abang ngantuk tau." tanya Gibran-Kakaknya Alana.

"Ya maap bang, lagian salah abang sendiri sih gadang gak inget-inget waktu." jawab Alana datar tanpa beralih menatap rak-rak yang menyuguhkan berbagai macam snack.

"Ya kan abang gadang gara-gara banyak tugas." Gibran menatap sebal punggung mungil adik.

"Iya tugas, tugas ngilangin napsu abang itu." Gibran terkejut bukan main. Irama jantungnya sudah tidak karuan lagi. Timbul pertanyaan di benak nya 'dari mana nihh bocah tau kalo gue semalem nonton?'

Prince SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang