~ Apakah di dunia ini memang benar ada yang namanya kebetulan ? Bukankah setetes embun tak akan bisa jatuh ke bumi melainkan atas izin dan kehendak Allah ?~
🍁
"Kenapa lagi ?" tanya Fatimah Alaytrus, gadis keturunan arab yang berusia sama dengannya-20 tahun. Saat awal memasuki Fakultas Kedokteran Aluna tak memiliki banyak teman karena penampilan, gaya bicara, tatapan judes dan selalu berurusan dengan Pricilia-ketua perkumpulan anak sosialita. Fatimahlah yang menerima dirinya apa adanya dan gadis itulah yang membimbing Aluna untuk menjadi sesorang yang lebih baik.
"Gua mengulang kesalahan yang sama lagi," ucap Aluna sambil merengek.
"Prftttt berarti lo jadi dong dijodohin, sia-sia berarti enam bulan lalu ?" tawa Fatimah meledak. Perjuangan sahabatnya melewati berbagai masalah saat mengikuti pelatihan pesantren selama enam bulan di pesantren miliki Abi Fatimah kandas. Hal yang paling diingat oleh Fatimah saat pertama kali Aluna mengikuti pelatihan adalah adu jotos dengan santri paling ditakuti disana, berduel dengan kakak tingkat karena masalah sepele, Aluna tak suka jika ada orang yang memerintah seenaknya. Alhasil karena kejadian itu Aluna dipindahkan ke kamar lain yang santrinya lebih kalem.
"Kata ibu nyai nggak ada yang sia-sia saat mencari ilmu Fatum," Aluna kembali mendelosokan kepalanya pada bangku yang ada dikelas.
Fatimah nyengir saat sahabat yang dulunya badung mengucapkan kalimat yang tak Fatum pikirkan sebelumnya,"Iya nggak ada yang sia-sia, maaf ucapan gua tadi hilaf."
"Hmmm gimana terus nasib gua ?"
"Kayaknya lo terima aja deh, mungkin itu memang benar jodoh lo hehehe."
Gadis itu menatap tajam temannya. Memang mudah saat mengatakan banyak hal, tetapi melakukannya itu rasanya seperti hampir mau mati.
"Gundulmu, gua cintanya sama Alvaro bebb," Aluna membela diri, dia tak suka Fatimah mengatakan hal ngawur seperti tadi.
"Iyah sih gua tau, tapi lo tau kan Alvaro sama lo beda keyakinan Lun," Fatimah turut prihatin dengan kisah cinta Alvaro dan Aluna. Sejak kecil bersama, tumbuh dewasa bersama seolah tak terpisah dan kini keduanya dihantam kenyataan bahwa tak mendapatkan restu dari kedua pihak keluarga.
"Akhh bodo amat lah makan ke kantin dulu yuk."
💐💐💐
"Saya pesan teh hangat sama nasi pecelnya buk," lelaki itu tersenyum ramah.
"Tunggu ya mas."
Matanya berkelana melihat interior kantin kampus yang dulunya juga menjadi tempat ia menuntut ilmu. Ada banyak perubahan ternyata dalam lima tahun terakhir. Seingat dirinya dulu kantin kampus tak seluas ini.
"Ini mas pesanannya,"
"Terimakasih," Cakra tersenyum ramah lalu berjalan menuju meja satu-satunya yang kosong dengan membawa nampan makanan. Sebenarnya ia tak suka jika suasana terlalu ramai seperti ini, namun mau bagaimana lagi. Tak mungkin kan dia mengajar dengan perut yang keroncongan minta diisi.
"Permisi kak, boleh duduk disini ?" seorang wanita memakai pakaian berwarna hijau stabilo tiba-tiba duduk didepan Cakra. Sontak setelahnya kantin kampus menjadi riuh karena teriakan dan bisikan satu sama lain. Lelaki itu hanya geleng-geleng dengan kelakuan anak jaman sekarang.
"Silahkan," lelaki 28 tahun itu kembali melanjutkan aktifitas sebelumnya yang tertunda.
"Kakak fakultas apa ya kok aku nggak pernah lihat ya ?" Pricilia membenarkan tatanan rambutnya yang sudah rapi. Lalu menatap wajah Cakra dengan senyum yang dibuat agar lelaki itu juga menoleh ke arahnya.
Cakra tak henti-hentinya mengucap istigfar didalam hati. Selama Allah masih memberikan kesempatan untuk tetap hidup di dunia ini, selama itu pula godaan sekaligus ujian dunia tak akan pernah berhenti. Setiap waktu adalah peluang untuk terjerumus menjadi seorang pendosa. Sejujurnya ia miris melihat wanita yang terang-terangan menggoda lelaki, terlebih mereka tak saling kenal sebelumnya. Padahal sifat malu adalah identitas seorang muslimah, hingga ada sebuah hadis yang mengatakan 'jika engkau tak malu, maka berbuatlah sesukamu.'
"Saya dosen,"
"Oh gitu ya, mengajar di fakultas apa pak ?"
"Maaf saya lagi makan."
Senyum Pricilia sedikit memudar mendengar suara lelaki itu sangat dingin. Biasanya dalam sekali kedipan dan senyuman gadis itu bisa meluruhkan hati banyak pria. Tapi kenapa ia merasa lelaki didepannya sudah memblokir dirinya sebelum berusaha.
"Oh iya silahkan makan pak."
Cakra tak menjawab lagi. Kemabali fokus pada makanan yang tinggal setengahnya lagi, ingin cepat-cepat menghabiskan agar terbebas dari wanita ini.
"Permisi gua sama Fatum mau gabung, bangkunya udah penuh semua." Cakra menoleh kearah wanita berhijab sky blue, memakai tunik panjang sebetis dan celana jeans. Jujur dia cantik dimata Cakra.
"Ihhh ganggu aja sih kalian berdua," sorak mahasiswa semakin menjadi, ratu kampus akan bertemu lagi dengan rival lamanya. Tontonan yang sempat vakum selama enam bulan lalu.
"Ya mau gimana lagi kan penuh, tum lo duduk sana."
Fatimah meneguk salivanya gusar, sedikit takut duduk dengan Pricilia.
"Silahkan duduk," Cakra menengahi keduanya.
Aluna tersenyum puas, lalu mengeluarkan lidah mengejek Prcilia. Tak disangka Cakra tersenyum tipis melihat tingkah gadis itu, wajahnya sangat polos. Detik berikutnya cakra kembali mengucap istigfar, sadar bahwa menatap wanita yang bukan mahram.
"Bapak ngajar semester berapa ?" gadis itu tak putus asa untuk tetap mencari perhatian. Aluna hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah konyol dari temannya itu lalu fokus pada makanan yang belum tersentuh sama sekali.
"Pak, ngajar semester berapa ?" Pricilia mengerucutkan bibirnya karena tidak menerima respon.
"Dia gak suka sama lo," Aluna membuka suara.
Pricilia mendelik, menatap tajam aluna,"Ehlo itu ya---"
"Sudah-sudah kalian cepat makan, sebentar lagi masuk. Saya permisi dulu, Assalamualaikum."
- Revisi 15 Maret 2020 -
![](https://img.wattpad.com/cover/193197176-288-k178912.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Be Better With You [ Dosen Marriage ]
RomanceKehidupan seorang Aluna Safira sebagai mahasiswa fakultas kedokteran awalnya berjalan lancar tanpa hambatan. Namun setelah kesalah besar yang dilakukan oleh dirinya membuat Aluna harus berakhir dipelatihan pesantren dan harus memutuskan pacar sekali...