Remang Kelahiran

84 14 2
                                    

Tentang dimana kita dilahirkan, dan dari rahim siapa kita dikeluarkan, itu bukanlah suatu ganjalan bagi kehidupan yang harus manusia jalani. Karena didalam kehidupan ini telah mempunyai garisnya masing-masing.
Di depan rumah kayu, dengan gaya joglo khas jawa, seorang gadis yang tengah melamunkan kehidupannya dan menuliskan resahnya pada senja yang akan tenggelam. Dia adalah Karmeliana Putri, seorang gadis yang gemar menuliskan kisah hidupnya pada buku harian. Gadis desa yang enggan mengenal cinta, karena dari sejak kecil ia tak mengenal sosok bapak, pada hidupnya. Dia adalah anak yang terlahir tanpa kehadiran seorang bapak.

“ Aku serupa anak domba yang harus terlahir diantara kawanan keledai, mereka tak pernah jahat bahkan aku bisa dianggapnya sebagai anak tersayang,  namun ketika aku mengembik siapa yang hendak perduli dengan embikanku. Mereka saja tidak faham dengan perkataanku, yang mereka tahu hanya ketika aku tertawa maka aku bahagia dan ketika aku menangis maka aku sedang bersedih meskipun sebenarnya tak sesimpel itu.
Aku pernah bertanya pada tuhan, ya Tuhan.. mengapa engkau mentakdirkan diri ini harus terlahir kedunia yang fana, ditempat yang hina seperti ini dan alangkah mirisnya ketika pertama kali mata terbuka yang aku lihat bukan senyum tulus atas kelahiran seorang bayi justru tawa yang berselimut duka dan penuh durjana lalu aku marah pada semesta yang seolah mengejek tangisan seorang bayi yang baru terlahir kedunia ini, tangisan yang bertanya-tanya ”dimana aku... dimana aku... mengapa dunia ini pengap sekali dikerumuni orang-orang yang tidak aku kenal.?”.  Tangisanku semakin menyedak dada namun tetap saja tidak ada yang faham dengan maksudku.
“dalam hidup ini kita tak pernah bisa menuntut Tuhan hendak menjadi apa, harus dilahirkan dimana dan harus terlahir dari rahim seorang ibu yang mana, karena sudah menjadi takdir tuhan yang maha Esa dan menjadi hak periogatif Tuhan. Hanya saja Tuhan menciptakan manusia itu sangatlah sempurna, Tuhan telah memberikanmu hati untuk merasakan, memberikanmu otak untuk berfikir. Sehingga setiap manusia pasti mempunyai mimpi dan cinta. Tugasmu adalah berusaha mewujudkan mimpimu dengan hati dan cinta, sedangkan mau jadi apapun nantinya itu sudah takdir Tuhan”  kata seorang ibu yang telah rela mengasuhku hingga sekarang ini, dan kata-kata itulah yang kembali menimbulkan semangat baru untuk melanjutkan hidup yang belum tentu arahnya ini” (tulisan buku harian Karmel)

Senja telah mentereng diufuk barat, pertanda hari segera malam. Cahaya yang mulai meredup dan udara dingin yang mulai menusuk. Pertanda bahwa lamunan senjanya telah usai. Suara adzan maghrib berkumandang menggemakan kalimat agungya pada semesta, suara bunyi-bunyian alam pun ikut serta mendendangkannya disore itu, ya... senja yang begitu sempurna dengan landscap alam yang memukau. Karmel bergegas masuk kedalam rumah dan mengambil mukenah dan menuju surau yang tidak jauh dari rumahnya.
“bu... aku hendak pergi kesurau dulu” ucapku lirih kepada ibuku yang sedang terkulai lemas dikursi karena sakitnya dan sudah tua, sembari menyium kening dan tangan keriputnya.
“ya nak hati-hati dijalan ibu sholat dirumah saja” ujar ibuku dengan suara seraknya.
Karmel berjalan menuju surau dengan langkah tak bersemangat sembari memikirkan perkataan seorang lelaki dengan wajah yang dipenuhi brewok. Namun Karmel tak mengenalinya, yang hari kemarin bertemu dengannya ditepi danau tempat biasa Karmel merenung. Laki-laki itu berkata, bahwasannya dia mirip dengan seorang wanita yang dulu ia temui dikota.
“ mel.... Karmel.. tunggu..” ujar Wati sambil berlari menghampiri Karmel
“eh Wati...” ujarku dengan cepat
“kenapa kau Mel wajahmu murung begitu,,?”
“tidak apa-apa wati” jawab Karmel dengan tersenyum atau lebih tepatnya untuk menyembunyikan kegelisahannya.
“yang benar Karmel..?”
“iya Wati”
Wati adalah sahabat karib Karmel sejak kecil, dan cuman dia adalah satu-satunya sahabat terdekatnya didesa. Karmel tak suka bergaul dengan orang-orang didesa, dan Karmel lebih suka menyendiri dirumah atau ditepi danau. Baginya, kesendirian adalah tentang bagaimana dia bisa menikmati kehidupan dengan kedamaian hati, dan keramaian adalah kepura-puraan semata.
Ketika adzan maghrib berkumandang maka jalan-jalan menuju surau menjadi ramai, para wanita yang dibalut kain putih saling bergerombol datang kesurau dan canda gurau bocah-bocah kecilpun menambah riuhnya jalanan. Karmel dan Wati pun menjadi salah satu dari gerombolan itu.
“dug....!!!!”
“aduhhh..”
“ maaf mbak, maaf... saya tidak sengaja”
Ujar lelaki yang tiba-tiba menabrakku dari belakang.
“ya mas nggak papa, lain kali hati-hati jalannya”
Jawab Karmel dengan tak terlalu memperhatikan lelaki itu.
Sampailah mereka disurau kecil, yang umurnya mungkin sudah setengah abad, dan belum pernah direnovasi. Sebuah bangunan tua yang menjadi pusat kegiatan keagamaan.
Seperti biasanya ketika sholat Maghrib telah usai orang-orang yang hadir disurau tidak langsung pulang kerumah, namu mengisi waktunya disurau sembari menunggu adzan Isya berkumandang dan menjalankan sholat berjamaah. Ada yang mengisi waktunya dengan melantunkan ayat suci Al Quran dan ada pula yang mengaji. Karmel hanya duduk menyender ditembok paling belakang dengan Wati, dekat dengan kain berwarna hijau yang menjadi pembatas atara jamaah laiki-laki dan perempuan. Dibalik kain itu Karmel mendengar pak kyai sedang ngobrol dengan seorang lelaki yang suaranya tak asing,
“punya niat apa nak, sehingga kamu datang jauh-jauh dari kota kekampung kami ini..”
kata pak Kyai kepada lelaki itu.
“begini pak kyai, aku mendapat satu amanah dari mendiang ayahku untuk mencari seorang wanita, yang katanya tinggal dikampung ini”
jawab lelaki itu dengan matanya yang sanyu dan mengembeng air dimatanya.
Dengan rasa penasaran Karmel membuka kain pembatas itu dan mengintip siapa lelaki itu, dan sesekali ia menguping pembicaraan lelaki itu dengan pak Kyai.
“bukannya itu lelaki yang tadi menabrakku dijalan, kok dia ada disini dan akrab dengan pak kyai”
ucap Karmel dalam hati, soalnya dia tidak pernah melihat lelaki itu didesanya.

“lihatin apa kau Karmel..?” tanya Wati dengan curiga.
“ itu loh Wati, laki-laki yang tadi menabrakku waktu hendak kesurau”
“emang kenapa dengan dia Mel..?”
“kok ada disurau, dia bukan orang sini kan Wati..?”
“yang mana..?”
jawab Wati dengan menyodorkan kepalanya kebelakang kain.

“oh iya Mel itukan laki-laki yang tadi menabrakmu, kok dia ada disini dan akrab gitu sama pak kyai..? eh tapi dia ganteng juga loh Mel..”
Tanya Wati sambil mengodaku.
“Apaan sihWati.. aku itu cuman penasaran saja” Jawab Karmel dengan agak kesal.
“bukannya cinta kebanyakan gitu ya. Mel..? awalnya kesal dulu... hahhaha”
Ujar Wati tambah menggodanya.
Adzan isyapun berkumandang dan sholat berjamaah telah selesai, semua orang-orang disurau beranjak pergi meninggalkan surau begitu juga dengan Karmel dan Wati. Dipelataran surau Karmel mencari-cari lelaki itu namun wajahnya tak kunjung ia temui.

“kamu mencari siapa Mel..?”
Tanya Wati.
“Tidak kok, tidak mencari siapa-siapa, ya udah ayok kita pulang saja..”
Merekapun kembali kerumah dan cerita malam itu telah usai terbungkus mimpi.

Ditepi danau ketika senja mulai menampakan mega nya, seorang gadis desa tengah duduk menyendiri ditepian danau dia yang sedang merenung, menulis puisi, dan menuliskan semua keresahannya kepada semesta.
“aku hanya perempuan yang tak pernah tahu kemana arah mata angin akan membawaku pergi. Entah kemana semua mimpiku akan berlabuh, entah dengan siapa aku akan menggadaikan semua hidupku. Jujur saja sampai saat ini aku belum pernah merasakan cinta bersarang pada hatiku, aku selalu suka dengan kesendirian tanpa teman apalagi pasangan” (Tulisan buku harian Karmel)

“assalamualaikum” suara lelaki itu mengagetgatkan Karmel yang tengah menulis ditepi danau.
“waalaikumsalam..” ujar Karmel kepada lelaki yang menghampirinya.
“kemarin petang kita pernah bertemu bukan, waktu hendak kesurau..?” tanya lelaki itu kepada Karmel. Namun Karmel masih saja sibuk dengan bolpoint dan buku buku harian nya.
“boleh aku duduk disini..?”
“e... silahkan duduk saja, namun jangan terlalu dekat tak enak dilihat orang kampung .”
jawab Karmel dengan malu-malu sambil menggeser duduknya agak menjauh dari lelaki itu.
“oh iya aku Danu kamu siapa..” lelaki itu menyodorkan tangannya kepada Karmel yang hendak ingin berkenalan dengan Karmel. Mata Karmel memandang tangan lelaki itu dengan tajam dan tercengang, sehingga Karmelpun tak kunjung membalas uluran tangan lelaki itu.

“e... maaf kalau aku lancang..”
Danupun kembali menarik tangannya karena tidak ditanggapi oleh Karmel.
“Maaf mas... aku harus segera pulang kerumah, ibu sudah menungguku.”
Karmel bergegas pergi meninggalkan lelaki itu.
“mbak... apakah kita bisa bertemu lagi..?” Danu teriak kepada Karmel yang sudah meninggalkannya.

Sambil lari-lari kecil dan tersenyum
“setiap sore ditepi danau” ujar Karmel yang tak menolehkan wajahnya kepada Danu, dan hanya menunduk lalu pergi.
Namun sebenarnya Karmel suka ketika Danu menghampirinya, dan berniat untuk menemui Karmel kembali. Hanya saja Karmel yang penyendiri merasa risih ketika ada orang yang baru yang ia kenal, mendekatinya. Begitupun dengan Danu yang diam-diam mulai menyukai Karmel sejak pertemuannya waktu itu.

Siapa Danu..? Danu adalah seorang lelaki yang datang dari kota untuk mencari seorang wanita yang pernah ayahnya ceritakan sebelum ia meninggal dunia. Danu membawa pesan terakhir dari mendiang ayahnya kepada seorang wanita yang pernah ayahnya lukai dan hendak minta maaf kepada wanita itu.

KARMELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang