Sesampainya di depan gerbang rumah So Hyeon, Arnand berhenti. Ia turun dari sepeda lalu menekan bel.
“Buka saja, itu tidak dikunci,” kata So Hyeon.
“Tidak dikunci?”
“Mama sama Papa tidak ngunci gerbang karena sudah kutelepon tadi. Mereka juga sudah tahu kalau aku biasa pulang jam segini.”
Arnand mengangguk. Dibukanya gerbang seperti yang dikatakan So Hyeon. Kemudian, ia kembali naik ke sepeda dan mengayuhnya hingga tepat di depan rumah.
Berpikir kalau So Hyeon tidak akan bisa berjalan, Arnand buru-buru turun lagi. “Assalamualaikum!” serunya sembari mengetuk pintu. Ia terus mengucap salam hingga pintu dibuka.
“Kamu siapa?” tanya seorang wanita berjilbab cokelat. Tanpa bertanya, Arnand tahu kalau itu adalah ibunya So Hyeon.
“Saya Arnand. Keponakannya Tante Hera.” Arnand mengulurkan tangan.
Ibunya So Hyeon menyambut uluran tangan Arnand. “Kamu keponakannya Hera? Dari Indonesia, ya?” ujar wanita bernama Ati itu. Ia begitu bahagia melihat Arnand karena berasal dari negara yang sama.
“Iya, Tante.”
“Ada apa ke sini?”
“Ah, itu. Saya cuma ngantar So Hyeon. Tadi, dia jatuh dari sepeda dan kakinya terkilir.”
Mata Ati melebar. Ia lantas menatap ke belakang. “So Hyeon-ah, kamu tidak apa-apa?” tanyanya, berlari kecil untuk menghampiri So Hyeon.
“Ya, aku tidak apa-apa, Ma.”
“Tidak apa-apa bagaimana? Sampai tidak bisa berjalan seperti ini, kok,” omel Ati sambil memapah So Hyeon. “Arnand, masuk dulu, Nak. Tante buatkan teh.
Arnand menggeleng. “Tidak usah repot-repot Tante.”
Ati menatap tajam Arnand hingga pemuda yang ditatap bingung. “Kamu harus masuk. Kalau tidak, Tante tidak akan membiarkanmu menginjakkan kaki di rumah ini lagi.”
Ancaman yang cukup mengerikan. Daripada membuat masalah nantinya, Arnand terpaksa menurut. Lagi pula, ini adalah kesempatannya untuk mengenal So Hyeon dan keluarganya lebih jauh lagi.
“Om Se Hwan belum pulang, Tante?” tanya Arnand ketika mereka sampai di ruang tengah.
“Kamu sudah kenal dengan ayahnya So Hyeon?”
“Ah, iya. Kemarin kebetulan saya nanya alamat sama Om Se Hwan, Tante.”
Kebetulan yang tidak terduga. Saat Arnand dan Ati membicarakan Se Hwan, bel rumah berbunyi dan terdengar suara orang yang dibicarakan mengucapkan salam.
“Oh, kamu?” Se Hwan terkejut melihat Arnand. “Apa ada masalah?”
“Tidak ada masalah, Yeobo. Dia cuma ngantar So Hyeon tadi. Lihat, putrimu ini jatuh dari sepeda.”
“Apa?” Se Hwan langsung melempar kopernya ke sofa, lalu menghampiri So Hyeon. “My princess, kenapa bisa sampai jatuh? Appa sudah bilang hati-hati, ‘kan?”
Se Hwan memeriksa kondisi kaki So Hyeon. Lantas ia menggeleng ketika melihat kaki So Hyeon terlihat mulai bengkak. “Kamu bisa tahan sakitnya, Sayang? My Princess pasti bisa.” Tanpa menunggu jawaban dari So Hyeon, Se Hwan membetulkan kaki putrinya yang terkilir.
“Appa!” So Hyeon yang merasakan sakit luar biasa pun tidak sanggup untuk menahan teriakannya.
“Sudah. Tidak apa-apa. Besok, kakimu pasti baikan,” kata Se Hwan memeluk So Hyeon lalu mengusap-usap kepala putrinya itu. “My Princess tidak boleh manja.”
So Hyeon mengangguk sembari balas memeluk erat ayahnya.
Melihat interaksi Se Hwan dan So Hyeon, Arnand kembali merasa sesak di dada. Ia mencoba menggali kenangan tentang ayahnya dulu. Namun, tidak satu pun ia temukan kenangan yang bisa membuatnya tersenyum. Yang ada hanya kenangan menyakitkan hingga tangannya refleks terkepal.
Dari kecil, ia tidak pernah ingat diberikan kasih sayang oleh ayahnya. Yang ia ingat, ayahnya selalu memaksa untuk belajar dan belajar. Dan, jika nilainya di sekolah di bawah delapan puluh, maka hukuman yang akan diterimanya. Dididik dengan cara yang keras, lantas membuat Arnand pun otomatis memiliki hati yang keras.
Cukup satu pelukan kasih sayang, mungkin akan mengubah cara pandang Arnand. Namun, itu hal mustahil karena ayahnya sudah meninggal ketika Arnand duduk di bangku SMA kelas XI. Dan, sampai hari terakhir pertemuan keduanya, Arnand masih menyimpan kemarahan pada ayahnya.
“Mama ambilkan es batu untuk mengompres kaki So Hyeon dulu, ya. Sekalian mau buatkan teh untuk Arnand,” kata Ati pergi ke dapur.
“Oh ya, kamu udah salat?” tanya Se Hwan pada Arnand.
“A-apa? Salat?” Arnand gelagapan menjawab pertanyaan Se Hwan. Entah kapan ia terakhir salat. Lebaran tahun lalu pun sepertinya tidak.
Arnand perlahan melirik So Hyeon. Gadis itu tersenyum, tapi langsung berpaling ketika Arnand menoleh.
“Bagaimana? Sudah salat belum?”
“Belum, Pak,” jawab Arnand tanpa sadar. “Eh?”
Se Hwan langsung berpindah tempat duduk. Diraihnya pundak Arnand dan memaksa pemuda itu berdiri. Tidak ada kesempatan untuk Arnand untuk merevisi jawabannya lagi. “Ayo kita salat ke atas,” kata Se Hwan.
Melihat wajah terpaksa Arnand, So Hyeon tersenyum penuh kemenangan. Ia bahkan sampai lupa rasa sakit di kakinya untuk beberapa saat.
“Arnand dan Papa ke mana?” tanya Ati, membawa nampan yang di atasnya ada empat gelas teh.
“Lagi salat ke atas, Ma,” jawab So Hyeon mengulum senyuman.
Ati mengangguk. Ia kembali ke dapur untuk mengambil es batu. “Oh ya, Arnand itu kapan datang ke Korea?” Ati kembali bertanya sekembalinya dari dapur.
“Aku tidak tahu, Ma. Kemarin, yang aku ngantar ikan ke rumah Tante Hera, dia sudah datang.” Kejadian pertama kali bertemu dengan Arnand kembali muncul di benak So Hyeon. Saat itu Arnand mengatakan hal-hal yang tidak jelas hingga membuatnya bingung.
Ati kemudian membantu So Hyeon mengompres kakinya. “Kalau Mama lihat, Arnand itu anak yang baik.”
“Hah? Baik?” So Hyeon berusaha menahan mulutnya agar tidak menceritakan bagaimana Arnand yang sebenarnya. “Ya, mudah-mudahan saja dia benar-benar orang yang baik.”
“Ma, besok, Ji Sung Oppa akan datang ke rumah.” So Hyeon sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Mau buat kue yang kemarin?” jawab Ati semringah.
“Iya. Mama mau belajar buat kue itu, ‘kan?”
“Ah, iya. Jam berapa dia datang?”
So Hyeon berpikir sejenak. “Mungkin malam, Ma. Soalnya dia juga harus jaga tokonya, ‘kan?”
Perbicangan So Hyeon dan Ati kemudian terus berlanjut. Mereka membahas resep-resep kue terbaru. Tidak lupa juga membicarakan rencana Khadijah Cake selanjutnya.
“Lagi bahas apa ini?” Se Hwan dan Arnand kembali dari tempat salat yang ada di lantai dua.
“Kami cuma bahas masalah kue, Yeobo. Biasa.”
“Kalian tahu, ternyata suara Arnand itu bagus, lho. Papa tidak percaya kalau dia bisa ngaji sebagus itu. Tidak salah Papa minta dia jadi imam tadi,” kata Se Hwan antusias.
So Hyeon yang mendengar cerita ayahnya melongo. Mengaji dengan bagus? Jadi imam? Apa ia tidak salah dengar? Lelaki seperti Arnand?
“Nanti ajari Om belajar ngaji seperti itu, ya.”
Arnand melirik So Hyeon. Ia lalu mengangguk sembari menggaruk kepala. Ini hal yang bagus atau sebuah musibah? Ia hanya membacakan surah Al-Fatihah, Al-Kafirun, dan Al-Ikhlas tadi. Surat pendek yang diwajibkan guru SD sampai SMA-nya.
“Yang mengaji itu kamu, ‘kan? Bukan lypsinc?” kata So Hyeon kelepasan.
“Hah? Lypsinc?” Se Hwan dan Ati saling bertukar tatapan. Sementara itu, Arnand hanya tersenyum. Ia menganggap So Hyeon hanya bergurau.***
*Appa : ayah
*Yeobo : panggilan sayang untuk suami istri
*Oppa : Kakak (panggilan perempuan untuk laki-laki yang lebih tua)Sudah dua part di-update hari ini, part selanjutnya insyaAllah hari Kamis, ya.
Terima kasih untuk teman-teman yang sudah berkenan membaca Semusim di Seoul.
Cerita ini masih sangat banyak kekurangan, jadi aku harap teman-teman semua memberikan komentar agar cerita ini lebih baik nantinya.
InsyaAllah cerita ini akan dibukukan setelah selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semusim di Seoul
Spiritual"Untukmu cahaya hijrahku, kuharap Allah menanamkan rasa yang sama di hatimu." Blurb : Luka yang menghampiri hati, sering membuat logika tak berfungsi. Itulah yang terjadi pada Arnand Askandar. Pernikahannya yang gagal dengan Lyra, membuatnya tak bis...