Mungkin banyak penulisan dari cerita ini yang salah dan tidak konsisten. Mohon maaf ya teman-teman, karena tidak sempat edit.🌺🌻🌹🌷🌺🌻🌹🌷
Sesampainya di toko, Arnand dan So Hyeon bergegas turun dari mobil. Tanpa diminta, Arnand mengikuti So Hyeon yang berjalan tertatih.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya So Hyeon.
Arnand memutar bola matanya. “Aku akan membantumu, apa lagi? Tidak mungkin kamu mengerjakannya sendiri, ‘kan? Jalanmu saja masih belum benar.”
“Tidak perlu. Sebentar lagi Nela akan datang.”
“Nela? Oh, gadis yang kulihat kemarin, namanya Nela?” Arnand mengangguk sembari tersenyum.
“Kenapa kamu tersenyum sepert itu?” So Hyeon bertanya dengan tatapan penuh curiga. “Kamu jangan macam-macam dengan dia, ya. Dia anak baik-baik.”
Mendengar ucapan So Hyeon, Arnand menggeleng. “Memangnya, apa yang akan kulakukan?” ucapnya, mengambil sapu di sudut toko.
Tidak peduli dengan tatapan tidak suka dari So Hyeon, Arnand mulai menyapu. Melihat So Hyeon yang akan mengatakan sesuatu, ia buru-buru mengambil earphone dari saku. Ia memang sudah mempersiapkan benda itu saat di mobil tadi. “Kamu juga pernah melakukan hal yang sama, ‘kan?” ujarnya, mengingatkan So Hyeon ketika gadis itu menggunakan earphone ketika Arnand bicara.
So Hyeon mendekati Arnand. Dilepasnya earphone dari telinga pemuda itu. “Ini earphone-ku, ‘kan?”
Arnand tersenyum. “Iya. Aku mengambilnya di mobil. Tenang, aku akan mengembalikannya nanti,” kata Arnand, memasang kembali earphone ke telinganya.
Melihat sikap Arnand yang tidak memedulikan ucapannya, So Hyeon mendengkus. Diputuskannya untuk membiarkan pemuda itu selama tidak merugikannya.
Tidak berapa lama, Arnand melihat seseorang yang tidak asing di seberang jalan. Kulit putih dan poni lelaki itu lantas membuat Arnand mengernyit. “Kenapa dia harus datang sekarang?” gerutu Arnand.
“Siapa yang datang?” So Hyeon menatap ke arah mobil yang berhenti di tempat parkir seberang jalan. “Ji Sung Oppa?”
“So Hyeon-ah!” panggil Ji Sung sembari melambaikan tangan.
“Apa dia tidak bisa langsung ke sini saja? Kenapa harus melambaikan tangan seperti itu?” komentar Arnand.
So Hyeon menoleh pada Arnand dengan tatapan malas. “Apa kamu tidak bisa tidak mengomentari orang lain?”
“Untuk orang yang tidak aku suka, sepertinya aku akan otomatis berkomentar.”
“So Hyeon-ah, kudengar kakimu terkilir?” tanya Ji Sung begitu sampai di depan So Hyeon. “Kenapa kamu tidak mengabari aku?”
Sebuah senyuman mengembang lebar di bibir So Hyeon begitu mendengar Ji Sung, membuat Arnand jengkel. “Untuk apa dia mengabarimu kalau ada aku di sini?” kata Arnand, tersenyum sinis.
“Apa kamu bisa tidak ikut campur?” So Hyeon menatap Arnand dengan tajam. “Menyela pembicaraan orang itu tidak sopan.”
“Siapa dia?” tanya Ji Sung. “Pekerja baru? Kenapa kamu memilih pekerja yang tidak sopan?”
So Hyeon menggeleng. “Dia bukan pekerja baru. Dia keponakan teman Mama. Jadi, Mama memintanya mengantarku karena aku belum bisa naik sepeda.”
Ji Sung mengangguk. Ia mendekati Arnand, lalu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. “Hai, namaku Hwang Ji Sung. Dan, kamu bisa memanggilku Ji Sung.”
Untuk sesaat, Arnand ragu untuk menjabat tangan lelaki di depannya. Menurutnya, Ji Sung adalah saingan dan seharusnya dia memberi tekanan pada lelaki itu. Namun, tatapan So Hyeon yang penuh tuntutan seolah menggerakkan tangannya. “Namaku Arnand Askandar. Kamu bisa memanggilku Arnand,” ucapnya, menjabat tangan Ji Sung.
“Oh ya, kamu kelahiran tahun berapa?”
“1993. Ada masalah?”
“Tidak.” Ji Sung menggeleng dengan senyum menghias bibir. “Aku dan So Hyeon kelahiran 1995. Jadi, aku seharusnya memanggilmu dengan panggilan hyung dan So Hyeon memanggilmu dengan panggilan oppa.”
Kedua alis Arnand hampir bertautan. “Hyung? Oppa?”
Senyuman Ji Sung melebar. “Iya. Itu panggilan dalam bahasa Korea.”
Arnand melirik So Hyeon. Ia menunggu respons gadis itu. Namun, So Hyeon memilih untuk memalingkan wajah.
“Ji Sung Oppa, kenapa pagi-pagi ke sini? Apa tidak masalah kalau toko ditinggal?” tanya So Hyeon.
“Tidak masalah. Mereka sudah mengerti tugas masing-masing. Oh ya, tadi aku ke rumahmu untuk mengajari Ati Ahjumma membuat kue. Tapi, karena mendengar kabar kakimu terkilir, aku langsung ke sini.”
Senyuman di bibir So Hyeon semakin mengembang lebar. “Seharusnya, Oppa tidak perlu kemari.”
“Ehem!” Arnand sengaja berdehem sembari memegang lehernya. “Cuacanya dingin, tapi aku kenapa kehausan, ya?”
Ji Sung bergegas mengambil gelas dan mengisinya dengan air. “Ini Hyung,” ucapnya, memberikan air yang baru diambil.
Arnand lantas ternganga melihat kesigapan Ji Sung. Tiba-tiba ia merasa kalau hanya dirinya orang yang paling buruk di antara mereka bertiga. Sama sekali tidak tampak wajah lelaki berandal di wajah Ji Sung. Tetapi, ia menggeleng. Ia tidak bisa menilai orang dari wajahnya saja. Pasti ada sesuatu kekurangan Ji Sung yang menjadi kelebihan Didik di mata So Hyeon nantinya.
“Ji Sung Oppa, aku ada permintaan.” So Hyeon menoleh pada Arnand. “Apa Oppa mau mengajari Arnand Oppa menghapal ayat Al-Qur’an?”
Mata Arnand sontak melebar. Jadi, bukan So Hyeon langsung yang akan mengajarinya. Tetapi, So Hyeon meminta bantuan Ji Sung?
Ji Sung yang bingung dengan permintaan So Hyeon juga hanya diam. Ia menatap Arnand penuh tanya. Bagaimana bisa ia mengajari orang yang lebih tua darinya? Terutama, ia baru mengenal Islam beberapa tahun.
“Oppa, bagaimana?” tanya So Hyeon kembali.
“Hah?” Ji Sung tersadar. “Mengajari maksudnya?”
Tatapan So Hyeon beralih pada Arnand. “Arnand Oppa ….”
“Aku tidak suka dipanggil opa-opa. Kamu lebih baik panggil namaku saja atau dengan panggilan lain.”
So Hyeon berpikir sejenak. Ia mencoba mengingat panggilan apa saja yang ada di Indonesia. “Arnand Oppa lebih memilih abang, mas, aa, akang … apa lagi, ya?” kata So Hyeon, sembari kembali berusaha mengingat panggilan yang pernah diajarkan ibunya.
“Terserah.”
“Oke. Aa Arnand, bisa jelaskan sama Ji Sung Oppa yang kita bicarakan tadi? Ini sekalian belajar ngaji, ‘kan?”
Arnand menutup matanya. Ingin rasanya ia melompat ke laut karena rasa malu yang harus ia tanggung. Meminta Ji Sung mengajarinya mengaji, sungguh hal yang memalukan untuk Arnand. Tetapi, ia tidak punya pilihan lain. Menolak tawaran So Hyeon akan membuat jarak di antara mereka semakin jauh.
“Ya. Kamu bisa mengajariku ngaji, ‘kan? Sekalian kamu bantu aku menghapal beberapa surah nanti,” kata Arnand dengan tatapan mata yang tidak pernah fokus. Kadang menatap So Hyeon, kadang menatap Ji Sung, dan terkadang menatap sapu yang masih di tangannya.
Ji Sung tersenyum. “Tentu saja, Hyung. Aku akan membantumu. Hyung bilang saja waktunya, aku pasti bantu.”
“Oke. Nanti malam saja di rumahku.” So Hyeon menawarkan. “Sekalian kita buat kue.”
“Setuju,” sahut Ji Sung. “Arnand Hyung, bagaimana?”
Arnand masih belum akrab dengan cara Ji Sung memanggilnya. Jadi, ketika Ji Sung menyebut namanya, ia malah diam dengan mulut terbuka.
“Hyung, bagaimana kalau kita mulai belajarnya nanti malam? Di rumah So Hyeon,” ulang Ji Sung.
Arnand menggeleng. “Apa tidak bisa di tempat lain saja?”
Mendengar pertanyaan Arnand, So Hyeon mengerti. Ia tahu Arnand tidak mau kalau kalau orang tuanya sampai tahu yang sebenarnya.
“Kalau begitu, di rumah Aa Arnand saja. Kan dekat dari rumahku.” So Hyeon memberi solusi.
“Setuju,” sahut Ji Sung, sementara Arnand hanya mengangguk.🌺🌻🌹🌷🌺🌻🌹🌷
Arnand dan Ji Sung sepertinya akan sering ketemu setelah ini. Apa mereka bisa akrab, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Semusim di Seoul
Spiritual"Untukmu cahaya hijrahku, kuharap Allah menanamkan rasa yang sama di hatimu." Blurb : Luka yang menghampiri hati, sering membuat logika tak berfungsi. Itulah yang terjadi pada Arnand Askandar. Pernikahannya yang gagal dengan Lyra, membuatnya tak bis...