Untuk pertama kali, So Hyeon merasa makan malam terasa canggung. Ayah dan ibunya beberapa kali saling melirik. Hanya gadis di depannya yang terlihat santai seolah tidak peduli apa yang dirasakan oleh orang yang duduk bersamanya.
"Apa kalian tidak akan makan?" Lyra meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu menatap So Hyeon, Se Hwan, dan Ati. "Apa kedatanganku membuat makanan di rumah ini menjadi tidak enak?"
"Tidak, Sayang." Ati mengelus punggung Lyra. "Kami sangat senang kamu datang. Kami cuma tidak percaya kalau kamu bisa berkumpul dengan kami. Kami sangat merindukanmu."
Lyra tertawa sinis. "Apa ayah tiriku benar-benar menginginkan kedatanganku?"
Se Hwan terbatuk. Ia langsung menatap gadis yang baru saja bicara. "Walaupun kalian bukan anak kandungku, aku tetap menyayangi kalian."
"Tapi, aku dan So Hyeon berbeda. Dia putri kesayangan, sementara aku putri yang dibuang."
"Lyra-ya," sela Ati.
"Aku minta tolong, Bu. Kalau Ibu memang menyayangiku, jangan pernah memanggilku dengan cara bicara seperti itu. Aku sangat membencinya. Itu mengingatkan kalau aku ditinggalkan bersama ayah seorang pemabuk dan miskin. Seorang ayah yang hanya tahu menghabiskan uangnya untuk wanita asusila. Sementara ibuku pergi ke Korea, menikah, dan hidup bahagia. Aku sakit kalau mengingatnya."
So Hyeon tidak bisa tinggal diam. Ia berdiri dan menatap tajam pada Lyra. "Eonni, kalau datang hanya untuk menyakiti Eomma, sebaiknya eonni pergi dari sini."
"Jangan bicara dengan cara seperti itu!" bentak Lyra. "Apa kamu tidak dengar? Aku tidak menyukainya."
So Hyeon menarik napas. "Aku tahu apa yang Eon ... Kak Lyra rasakan. Aku tahu semuanya. Tapi, itu semua bukan keingan Ibu."
"Apa benar seperti itu? Kok, aku tidak yakin, ya?"
"Jangan menuntut hal yang berlebihan pada Ibu. Jasa Ibu sewaktu melahirkanmu saja tidak akan pernah bisa kamu balas!"
"Sudah?" Se Hwan berdiri. "Sekarang, aku yang bicara. So Hyeon-ah, duduk."
Seribu kalimat masih ingin diucapkan So Hyeon untuk membela Ati, tapi ia paling tidak bisa membantah ucapan Se Hwan. Dengan mata melotot tajam, ia pun duduk.
"Aku tidak tahu bagaimana ayahmu mengajarimu. Tapi, kamu sudah datang ke sini ... ke rumahku. Dan, apa kamu tahu kalau aku yang berkuasa di sini?"
Lyra berpaling pada Se Hwan. Ucapan ayah tirinya sukses membuat telinganya terasa panas.
"Oke. Sekarang juga, aku akan pergi."
Se Hwan tersenyum. "Lyra-ya, apa kamu tidak mengerti dengan apa yang Appa katakan? Di rumah ini, Appa yang berkuasa. Yang masuk dan yang keluar, harus seizin ... siapa?"
"Aku tidak peduli."
Tanpa peduli ucapan Se Hwan, Lyra berdiri. Ia bergegas menuju kamar.
Namun, baru beberapa langkah meninggalkan meja, Se Hwan berkaca, "Lyra-ya, apa kamu bisa keluar dari rumah ini tanpa kunci? Ada dua pintu yang harus kamu lewati kalau mau keluar. Pintu depan dan pintu keluar. Dan ... kuncinya ada di sini."
Lyra berbalik. Matanya melotot ketika melihat Se Hwan tersenyum sambil menunjukkan kumpulan kunci di tangan. "Oh ya, Appa lupa bilang. Kamu belum memegang kunci kamarmu, 'kan? Kuncinya ada di sini. Tadi Appa minta So Hyeon mengunci kamarmu. Takut nyamuk masuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semusim di Seoul
Espiritual"Untukmu cahaya hijrahku, kuharap Allah menanamkan rasa yang sama di hatimu." Blurb : Luka yang menghampiri hati, sering membuat logika tak berfungsi. Itulah yang terjadi pada Arnand Askandar. Pernikahannya yang gagal dengan Lyra, membuatnya tak bis...