VI. Awal Dimulai

194 29 7
                                    


Saat ini aku tengah berlari kecil menuju kelas, aku bangun terlambat karena semalam aku harus mengejar deadline untuk tulisanku yang harus kukirimkan hari ini ke penerbit. Ya, ceritaku terpilih untuk menjadi kandidat cerita yang akan di terbitkan. Meski aku sebenarnya tidak terlalu berharap banyak, namun aku akan sangat senang jika ceritaku terpilih untuk dibukukan. Tak berselang lama, akupun telah sampai di depan kelas, syukurlah aku tidak benar-benar terlambat. Akupun segera memasuki kelas dan menuju mejaku, namun sebelum aku sampai di mejaku, kulihat Yui berjalan dengan cepat ke arahku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Akupun mencoba tersenyum dan hendak menyapanya, namun tepat sebelum aku mengeluarkan suaraku..

'PLAKK' sebuah tamparan cukup keras mendarat tepat di pipi kananku. Tidak, aku tidak merasakan sakit apapun di pipiku, tapi tamparan itu cukup membuat luka yang dalam di hatiku. Apa yang terjadi?

"Dasar kau pengkhianat!" satu kalimat itu keluar dari mulut Yui, teman dekatku selama ini. Satu kalimat itu membuat seluruh tubuhku gemetar, hatiku rasanya hancur berkeping-keping. Apa kesalahanku? Akupun hanya berdiam diri di tempatku, tak berani bergeming, apalagi melihat wajahnya saat ini. Seluruh kelaspun hening, kutahu mereka tengah menatap kami berdua. Tak terasa buliran air mataku menetes tanpa kuperintah, ingin sekali ku menghapusnya segera. Namun, tubuhku terlalu kaku untuk kugerakkan.

"Enyah kau dari hadapanku!" Yui kembali berucap, kemudian terdengar langkah kakinya yang meninggalkanku menuju bangkunya. Aku sendiri masih tak bergeming di tempatku, hingga akhirnya suara sensei pun menyadarkanku.

"Hirate-san, kenapa kau berdiri disana? Cepat duduk di kursimu." ucap Sensei. Akupun menganggukkan kepalaku pelan, kemudian melangkah pelan menuju bangkuku dengan kepala tertunduk.

Selama pelajaran, aku benar-benar tak bisa fokus dan aku terus menundukkan kepalaku. Hingga akhirnya bel istirahatpun berbunyi, sekilas kulihat Yui berjalan melewatiku, begitupun dengan Suzomoto dan juga Rika yang mengikuti di belakangnya. Mereka.. benar-benar mengabaikanku.

"Neru, cepatlah. Kalau kau tidak cepat, akan kami tinggal." teriak Yui, ucapannya membuatku sedikit tersentak. Neru? Apa aku tidak salah dengar? Bukankah mereka tidak menyukainya?

"Hai, kalian duluanlah, aku masih harus menyelesaikan tugasku sedikit lagi." terdengar suara Neru yang menjawab ucapan Yui. Kemudian, mereka bertigapun mulai melangkah meninggalkan kelas. Setelah mereka pergi, akupun menghampiri Neru.

"Neru." ucapku lirih saat aku telah berada di samping bangkunya. Neru menoleh dan tersenyum seperti biasa padaku.

"Ada apa Techi?" tanyanya.

"Apa yang sedang terjadi? Kenapa kau jadi dekat dengan mereka? Apa kau tahu mengapa Yui begitu marah padaku?" tanyaku bertubi-tubi. Neru terlihat sedang berpikir dengan arah pandangannya yang menuju langit-langit kelas.

"Hmm..entahlah, tiba-tiba saja kami jadi dekat." jawabnya kemudian sembari menatapku dengan senyumannya yang seperti biasa.

"Etoo.. Aku rasa mungkin Yui mengetahui sesuatu yang kau coba sembunyikan darinya?" ucap Neru lagi dan lantas membuatku cukup terkejut,

"Ma-maksudmu tentang Murakami-san?? Tapi bagaimana mungkin Yui bisa tahu, saat itu tidak ada yang_" ucapanku terhenti, aku ingat saat itu Neru melihatku bersama dengan Murakami-san. Sejujurnya, aku tidak ingin menuduhnya, tapi hanya itu satu-satunya kemungkinan yang ada.

"Neru kau memberitahukannya?" ucapku lirih sembari menundukan kepalaku, aku sudah.. benar-benar lelah. Bagaimana mungkin, orang yang kupikir begitu baik dan menyayangiku dengan tulus, ternyata orang yang menusukku dari belakang?

Hening. Neru tidak menjawab pertanyaanku, akupun memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku dan menatapnya. Kulihat dirinya yang sedang mengulas senyuman sembari menatapku. Apa maksud dari ekspresi wajah yang ia tampakkan? Aku terpaku ketika melihat ekspresi wajahnya yang begitu dingin meskipun ia mengulas sebuah senyuman di wajahnya. Lalu, apa itu berarti dia memang benar-benar telah mengkhianatiku? Tak terasa buliran air matapun terjatuh kembali dari pelupuk mataku, rasanya begitu menyakitkan. Sesulit inikah untuk menjalin sebuah pertemanan? Atau memang sejak awal dirikulah yang tidak pantas untuk berteman?

"Ah, maaf Techi. Aku harus segera ke kantin, yang lain sedang menungguku." Ucapan Neru pun membuyarkan lamunanku, dengan segera aku mengusap kasar air mata yang membasahi kedua pipiku dan sedikit menggeser tubuhku sehingga ia bisa keluar dari bangkunya. Tak berselang lama setelah dia keluar dari bangkunya, tepat ketika dia berada di tengah pintu masuk kelas, ia memanggilku.

"Techi" panggilnya yang lantas membuatku menoleh. Ia tak mengatakan apapun, hanya kembali mengulas senyuman seperti biasanya, kemudian beranjak pergi setelah beberapa saat ia tersenyum ke arahku. Neru, apa sebenarnya yang kau inginkan?

***

Setelah kejadian hari itu, hidupku benar-benar menyedihkan. Aku kembali menjadi murid yang dikucilkan dan tidak memiliki teman. Yui, dan teman dekatku yang lain, mereka benar-benar telah menganggapku sebagai orang yang mereka benci. Lalu bagaimana dengan Neru? Bahkan hingga saat ini, aku masih belum mengerti apa yang dipikirkan olehnya. Terkadang ia akan tersenyum dan menyapaku, dan di lain waktu, iapun begitu dingin padaku. Dan Murakami-san.. Kurasa dia tahu apa yang terjadi padaku, dia memutuskan untuk menjauhiku karena dia tidak ingin Yui semakin membenciku. Yah, ini memanglah pilihan yang tepat. Aku, Hirate Yurina, memanglah seseorang yang ditakdirkan untuk sendirian seperti ini.

Ah, dan juga beberapa waktu lalu novelku berhasil terbit dan aku memenangkan hadiah tunai yang cukup besar. Aku berencana untuk menggunakannya untuk pergi ke rumah Nenekku di Aichi saat liburan nanti. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku ke Aichi, aku jadi benar-benar merindukan suasananya. Saat inipun, aku sedang memakan bekal makananku di atas atap sekolah. Yah, setelah kejadian di hari itu, aku tidak pernah lagi pergi ke kantin dan memilih untuk menghabiskan jam istirahatku di tempat ini. Aku memeriksa ponselku, dan waktu masih menunjukkan pukul 13.00, masih cukup lama hingga jam istirahat berakhir. Sesampainya di rumah nanti, aku harus segera menyiapkan barang-barang yang akan kubawa ke Aichi. Akupun membentangkan kedua tanganku dan meregangkannya sembari merasakan hembusan angin saat ini, kemudian akupun membanting tubuhku dan berbaring di tanah. Merasakan angin siang yang berhembus dan terik matahari yang hangat dan sedikit menyengat. Kenapa aku selalu seperti ini?

"Hei" kubuka mataku perlahan saat aku mendengar sebuah suara. Terlihat sesosok gadis di hadapanku, tubuhnya menutup sang mentari sehingga sosoknya begitu menyilaukan dan aku tak dapat melihatnya dengan jelas.

"Dare?" ucapaku lirih sembari berusaha menyipitkan mataku guna melihat sosoknya lebih jelas.

"Aku temanmu, Hiichan!"

'DEG'

Suara ini.. Nama panggilan ini.. Aku membulatkan mataku dan segera bangun agar dapat melihat dirinya lebih jelas. Kulihat dirinya yang tersenyum dengan begitu manisnya. Aku yakin jika aku mengenalnya, rasanya sangat nostalgia. Tak terasa akupun meneteskan air mataku, rasanya aku bahagia melihat sosok di depanku saat ini. Melihat diriku yang menangis, diapun segera memelukku.

"Jangan menangis, Hiichan!" ucapnya dengan suara lembutnya. Mendengar ucapannya itu, tangisanku semakin pecah, dan akupun memeluknya semakin erat. Sungguh, aku merasa jika aku tak ingin melepaskannya lagi.

"Aku merindukanmu.."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Katharsis - Hirate Yurina [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang