VII. Sin

197 20 6
                                    

Suara ini, nama panggilan ini. Aku membulatkan mataku dan segera bangun agar dapat melihat dirinya lebih jelas. Kulihat dirinya yang tersenyum dengan begitu manisnya. Aku yakin jika aku mengenalnya, rasanya sangat nostalgia. Tak terasa akupun meneteskan air mataku, rasanya aku bahagia melihat sosok di depanku saat ini. Melihat diriku yang menangis, diapun segera memelukku.

"Jangan menangis, Hiichan!" ucapnya dengan suara lembutnya. Mendengar ucapannya itu, tangisanku semakin pecah, dan akupun memeluknya semakin erat, tak ingin melepaskannya.

"Aku merindukanmu.." ucapnya lembut sembari mengelus punggungku. Aku tersenyum mendengar ucapannya.

"Aku juga merindukanmu, Muuchan." Iapun melepas pelukannya dan menatapku lembut dengan senyum teduhnya. Aku mengingatnya. Dia adalah Uemura Rina, sahabat masa kecilku.

"Muuchan, bagaimana kau bisa disini? Bu-bukankah kau telah-"

"Aku selalu ada disini, aku hidup di dalam dirimu." potongnya sembari menyapu air mataku.

"Jangan menyerah Hiichan, kau tidak sendirian. Aku selalu bersamamu. Karena itu, kumohon bertahanlah." ucapnya meyakinkanku. Iapun menampikkan seulas senyuman yang begitu manis sementara sosoknya perlahan mulai menghilang dari pandanganku.

Aku pun perlahan membuka mataku. Terik matahari menyambutku sehingga membuat mataku terasa cukup perih. Jadi itu hanya mimpi ya. "Terimakasih karena telah mengunjungiku lewat mimpi Muuchan. Aku sangat senang melihatmu." lirihku. Aku pun bangkit dari tidurku dan berjalan menuju tepi balkon atap ini. Aku menengadahkan kepalaku sembari memejamkan mata, mencoba meresapi cahaya matahari yang hangat. Tak lama, aku pun merasakan benda dingin menyapa pipi kananku yang refleks membuatku membuka mata dan menolehkan kepalaku. Aku membulatkan mataku saat kudapati Murakami-san di hadapanku. Ia tersenyum sembari menunjukan kaleng soda yang beberapa saat lalu menyapa pipiku.

"Mu-Murakami-san. Apa yang kau lakukan disini?" ucapku terbata. Sejujurnya aku takut jika ada orang lain yang melihat kami berdua. Aku benar-benar tidak ingin memperburuk keadaan.

"Ambillah." ucapnya sembari mengulurkan kaleng soda yang ia bawa. Aku pun mengambil kaleng itu dari tangannya. Kulihat ia tersenyum saat aku menerimanya.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya lagi alih-alih menjawab pertanyaanku barusan.

"Un. Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir." jawabku.

"Bukankah pertemanan itu kejam? Mereka bisa saja menjadi musuhmu hanya dalam waktu semalam jika kau membuat satu kesalahan." Akupun menoleh saat mendengar ucapannya. Kemudian, ia pun menoleh padaku. Pandangan kami pun bertemu, rasanya jantungku mulai berdetak secara berlebihan.

"Kau tidak perlu berusaha terlalu keras untuk menjadi sosok yang diinginkan orang lain. Jadilah dirimu sendiri, Hirate-san." aku cukup terkejut mendengar penuturannya. Apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan? Apa dia merasa kasihan dengan kondisiku saat ini dan mencoba menghiburku?

"Aku benar-benar menyukai Hirate-san. Apapun yang terjadi, aku akan selalu menyukaimu." Iapun kembali menolehkan kepalanya ke depan dan memejamkan matanya.

"Aku tidak memintamu untuk menerima perasaanku dan menjadi kekasihku. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku padamu. Aku.. Aku ingin kau bahagia. Jika keadaanmu semakin sulit, aku ingin berada di sisimu, aku ingin menjadi rumah dan kekuatanmu. Aku hanya ingin kau bergantung padaku. Apa itu pun tidak bisa?" akupun langsung menangis seketika saat mendengar penuturannya. Ini pertama kalinya aku mendengar seseorang mengatakan hal itu padaku. Aku merasakan ketulusannya. Aku sangat bahagia.

"Ma-maaf, aku tidak bermaksud membuatmu menangis. Jika kau merasa ini beban, aku minta maaf. Aku tidak akan memaksamu." ia terdengar begitu panik saat aku menangis. Akupun menggelengkan kepalaku pelan.

Katharsis - Hirate Yurina [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang