13

17 7 3
                                    


Sejak hari Minggu kemarin, si bocah Lucas itu jadi sering mendatangi tempatku. Tidak, dia tidak tanya tentang Xiao seperti Daiyu, Lucas cuma datang dan pesan sarapan. Kadang dengan seragam, kadang hanya memakai kaus dengan santai, meski hari itu adalah hari aktif sekolah. Entah dia pergi sekolah atau tidak, bukan urusanku. Toh, yang penting ada pelanggan.

Jum'at pagi kemarin, bocah itu bilang akan datang kesini dengan Daiyu lagi, karena aku sudah berjanji untuk mengantarkan mereka ke tempat Xiao tinggal. Jadi, seperti biasanya, aku bangun lebih awal dari siapapun, membereskan toko milik nenekku dan tempatku sendiri, kemudian menyibukkan diri dengan panci-panci kotor yang menumpuk dibalik meja, ataupun wajan dan meja penuh bahan makanan.

Terdengar membosankan memang, namun bagiku ini menyenangkan. Disaat yang lain masih terlelap, bangun kesiangan, dan beraktivitas, aku sudah sibuk sendiri di dapur. Orangtua temanku yang lain dulu selalu berkata kalau anak lelaki seharusnya bermain diluar, berlari-larian. Bukannya belajar mengiris sayuran atau merebus daging. Tapi, orangtuaku selalu dengan yakin berkata kalau aku adalah penerus kebanggaan tempat ini. Aku tidak masalah dengan itu.

Terlalu asyik melamun sambil mengelap meja, aku tak sadar kalau tas ransel yang kusandarkan di kursi dekat dinding terjatuh, isinya  berserak di lantai. Dengan bersungut-sungut mengatai Qian Kun yang selalu lupa menutup risleting ranselnya dengan benar, kuambil satu-persatu segala macam yang terserak itu kemudian memasukkannya dengan asal kembali kedalam ransel.

Yang tertinggal di tanganku tinggal secarik kertas janggal. Seingatku cuma ada tiga kertas tes dari kelasku minggu lalu. Tapi, ini apa?

Bagian pinggirnya sedikit tertekuk dan ada yang sobek. Ah, mungkin ini hanya kebiasaan buruk lainku yang suka asal menyelipkan kertas tes dalam buku. Kuputuskan untuk membuka kertas yang terlipat.


Ralat. Ini bukan kertas tes.


Kertas ini penuh akan goresan pensil yang membentuk potret detail sebuah kapal. Kapal besar yang diselubungi awan-awan.


Ini bukan 'kapal besar' saja! Ini kapal terbang! Sama saja kayak pesawat kan?!


Sebelum sempat kusadari, aku tergelak pelan.


Lihat, nih, Canopus ada disini. Dia selalu di depan!


Suara si cerewet itu terus terngiang. Meminta untuk diingat. Ya ampun, dia benar-benar menyebalkan. Sungguh.


Tapi, kalau tak ada dia dan Xiao, saat ini mungkin aku sudah terus berada di tempat ini selamanya sampai karatan. Melupakan semua mimpi dan keinginanku sendiri.

Kuputuskan untuk duduk saja sembari masih memegang kertas kumal itu.

Menunggu Daiyu dan Lucas, tak ada salahnya mengingat-ingat kembali waktu-waktu yang sudah lalu itu.


***


"Kun-geee! Aku sudah mengantar ke toko seberang dan toko reparasi radio di depan!"

"Oh, makasih"

Seperti hari-hari lainnya, tiap selesai mengantar, bukannya salam, Xiao selalu melapor setelah membuka pintu.

"Ada yang harus kuantar lagi?"

"Hei, kau nggak lihat aku masih sibuk begini? Dasar nggak sabaran."

Abandoned StellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang