12

14 6 0
                                    


Kaki Yukhei menghentak-hentak sebal sembari berjalan, "Apaan sih, tadi itu, nggak salam, nggak apa, langsung pergi," Tiang itu menggerutu. Mungkin merasa perjalanannya jadi sia-sia. Wanita di depanku hanya menatap Yukhei maklum, "maaf, biasanya dia tidak begitu, kecuali memang terburu-buru. Aku malah terlupa dan membawa kalian di waktu yang salah," spontan aku menggeleng kuat-kuat, merasa tak enak pada orang yang sudah mau mengantar kami.


"Buru-buru itu..kemana?"

"Dia mengambil jam kuliah siang. Lumayan jauh dari sini."


"Ooh.." pantas kurasa usianya tak jauh dariku, ternyata mahasiswa. Yukhei nampak masa bodo, masih sebal pada sikap pemuda yang keluar dari pintu tadi. Begitu berhenti di samping toko reparasi, kami hendak pamit, "terimakasih banyak, maaf sudah merepotkan,"


Ia menepuk pundakku, "ah, tidak, justru aku yang harus minta maaf."


"Tapi, kalau kalian masih ingin kesana, seperti katanya, datanglah pagi hari," ujarnya lembut, kemudian melambai sampai aku dan Yukhei berbalik.

Kemudian yang kudengar hanya sayup-sayup suaranya menyebut Li Zihao dan mengeluh mengenai bermain ponsel seharian.


***


"Waah~, selamat datang! Selamat datang! Kalian datang lagi ternyata~"



Ha?



Baru kemarin lelaki berwajah masam dan datar itu pergi melenggang melewatiku begitu saja dengan acuh. Sekarang, orang yang sama menyambut dibalik konter penuh panci dan wajan dengan senyum lebar terkembang. Hampir-hampir tak kukenali kalau saja aku tak ingat warna rambut kecoklatan itu. Yukhei mengernyit, entah terkejut atau masih sebal, atau kedua-duanya, barangkali. Sementara aku sendiri masih berdiri di depan pintu masuk geser yang reyot.


"..."


"Ayolah jangan sinis begitu, kemarin aku sedikit...tergesa, ya, tergesa-gesa karena aku hampir terlambat kuliah," ujarnya meminta maaf. Wajahnya yang ceria itu membuat tak tega kalau aku terus diam saja. Kuputuskan untuk masuk saja. Karena pintunya cukup rendah, Yukhei harus merunduk sedikit agar tak terantuk palang atas pintu.


Kalau dilihat dari dekat, bagian dalam rumah kecil ini kontras sekali dengan tampak luarnya. Dindingnya berwarna pastel dengan beberapa foto keluarga menguning yang dibingkai apik tergantung rapi. Kursi-kursi kayu berjajar di depan meja konter. Dia sendiri tengah memasak sesuatu dengan memakai kaus putih polos dibalik celemek biru muda yang sedikit lusuh. Rasanya seperti masuk ke dapur panti jompo. Bukan wacana yang menyenangkan.


Puas mengamati, kududuki salah satu kursi yang berjejer di konter. "Begitu dong!" si pemuda tertawa renyah sambil mengelap tangannya dengan serbet, kubalas dengan sebaris senyum masam. Tak banyak bicara, Yukhei memutuskan duduk di kursi sebelah kiriku. "Jadi, kalian ingin pesan apa, eh?"


"Tapi-"

"Bercanda! Aku ingat kok, kalian ingin tanya tentang Xiao!"

Abandoned StellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang