Part 6

6.3K 832 38
                                    

Di ruangan ini. Miera termenung dengan gemuruh hati yang tak kunjung berhenti.

Berniat ingin melakukan pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan namun ia malah berakhir dengan penemuan tak terduga di dalam kamar Arkan.

Sebuah kotak dengan debu-debu yang masih betah menempel. Warnanya terlihat kelam, tergeletak menyedihkan di tong sampah. Awalnya Miera berpikir itu hanya kotak biasa, kotak tak penting yang sengaja Arkan buang. Tetapi ketika sesuatu menyembul dan membuat Miera  penasaran. Wanita itu pun memilih untuk membukanya.

Dua tiket pesawat ke Moscow. Dan satu kotak dengan ukuran yang lebih kecil. Berisikan kalung Indah berinisial nama mereka.

Detik itu Miera merasa sangat menyesal. Rasa bersalahnya kini semakin menguliti jiwa, dan dosanya mengerang tidak sanggup.

Arkan pernah berkata bahwa ia mempersiapkan hadiah romantis untuk pernikahannya. Dan saat itu Miera yang sedang kacau dengan keadaan, tidak terlalu memedulikan ucapan Arkan. Hingga kefrustrasian itu menuntun Miera pada sebuah pilihan. Meninggalkan Arkan tepat di hari pernikahannya.

Miera menyusut tangisan yang berderai di pipinya saat melihat pintu kamar Arkan terbuka. Terlihat kepala seorang gadis kecil menyembul dan tersenyum ketika pencarian matanya menemukan objek yang ia cari sedari tadi.

"Mama sedang apa? Lily mau mandi."

Suara menggemaskan putrinya membuat bibir Miera melengkungkan senyum. Mengalihkan kesedihan hatinya dengan berjalan menghampiri sang putri yang menatapnya bingung. Menemukan wajah ibunya sembab seperti telah menangis.

"Putri Mama mau mandi sekarang?" Miera sampai di depan tubuh putrinya. Menatap wajah sang putri yang langsung mengangguk. Walaupun Lily sudah menginjak 4 tahun. Tetapi gadis kecil itu masih belum cukup mandiri untuk mandi sendiri. Ada kecenderungan yang membuat gadis kecil itu tidak bisa melakukannya, seperti menyabuni punggung atau menggosok gigi putihnya dengan cara yang benar.

Meraih tubuh kecil itu di gendongan dan membawanya ke dalam kamar mandi mereka. Miera mendudukan Lily di atas meja wastafel selagi ia menyiapkan air hangat.

"Lily ingin pulang ke rumah Ma." tiba-tiba Lily bersuara berhasil membuat Miera menoleh menatap putrinya.

Kening Miera berkerut. "Loh ada apa? Bukankah Lily suka di sini?" tanya Miera. Tidak mengerti mengapa Lily berubah pikiran. Bahkan sejak kemarin putrinya yang paling antusias. Kenapa sekarang malah berkata ingin pulang.

"Lily tidak suka om Arkan. Tatapan om Arkan menyeramkan. Lily takut."

Jantung Miera terasa berdenyut mendengarnya. Bahkan anak sekecil Lily pun bisa merasakan kebencian Arkan lewat tatapannya. Sebenarnya sangat wajar jika lelaki itu menumbuhkan kebencian mengingat seberapa parah luka yang sudah ia goreskan. Namun seharusnya Arkan tidak perlu ikut membenci putrinya. Putrinya tidak bersalah.

"Om Arkan orang baik kok. Dia yang menolong saat Lily masuk rumah sakit."

"Tapi Ma. Om Arkan seperti orang jahat."

Miera tersenyum tipis, lalu memeluk tubuh kecil Lily dan mengecup puncak kepalanya pelan.

"Jangan dipikirkan. Sifat om Arkan memang seperti itu. Tapi sebenarnya dia orang baik."

Aku yang telah merubahnya menjadi seperti ini. Semuanya terjadi karena kesalahanku.

***

Di kantor. Arkan masih mencoba menyibukkan diri. Pekerjaan semakin hari kian menumpuk. Dan itu sedikit lebih membantu. Mungkin.

Pikiran Arkan jadi teralihkan tidak terlalu fokus pada kejadian tadi pagi. Mencium Miera dengan penuh kelembutan. Itu sungguh tidak terencanakan sedikit pun dalam benak Arkan.

Cinta Dalam LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang