Sekarang Arkan mengerti. Dari mana wajah cantik itu berasal. Bibir kecil, hidung mancung, dan alis lebat. Itu semua tergambar dengan jelas. Benar kata Miera. Laki-laki sialan itu terlibat dalam pembuatannya. Arkan bisa melihat kemiripan itu dengan sangat jelas.
"Sialan!"
Arkan kembali mengumpat. Botol minuman yang di pesannya sudah ada beberapa yang berguling-guling, kosong tanpa terisi alkohol. Namun sedikitpun tidak membantu menghilangkan denyut sakit yang bercokol di dalam dadanya.
Kewarasan Arkan tinggal separuh. Matanya yang sayu melirik perempuan jalang yang ikut duduk di samping tubuhnya. Menurut Arkan dengan pergi dan menenangkan diri di tempat ini akan menyenangkan. Namun sepertinya tidak begitu.
Jujur, Arkan tidak menyukai wanita asing. Jari-jari lentik sialannya tanpa sopan santun menulusuri dada, dan Arkan sangat benci akan hal itu. Ia datang bukan untuk mencari jalang. Ia hanya membutuhkan kenyamanan untuk melampiaskan amarah yang berkobar dalam jiwanya. Minuman keras adalah salah satu sahabat terbaik dalam kehancuran. Bukan wanita.
"Kau sangat tampan." si wanita di sebelahnya berbisik lembut di telinganya.
Arkan melirik wanita itu, tatapannya bisa saja menembus kornea si wanita dan membuat lubang menyakitkan di sana. Namun sepertinya wanita itu punya pertahanan yang bagus.
Arkan mengakui. Wanita ini juga tidak buruk. Wajahnya terlihat elok dengan mata bulat khas wanita asing. Tetapi sialnya seberapa cantik pun mereka tetap tidak bisa menandingi kecantikan Miera. Berengsek! Arkan merasa bahwa dia benar-benar sudah gila. Berapa banyak kesakitan yang sengaja wanita itu suapkan ke dalam mulutnya. Tetapi tetap saja sampai saat ini pikiran Arkan hanya menuju Miera. Hanya wanita itu.
"Namaku Sabrina. Primadona di club ini." Tidak mendapatkan respon apapun. Wanita itu dengan percaya diri memperkenalkan namanya dengan senyum menawan yang bergelayut menggoda di ujung bibirnya. Masih berusaha untuk mendekatkan diri pada Arkan yang tampak tidak peduli.
Persetan! Arkan tidak ingin tahu nama makhluk yang hidup di club ini. Ia hanya ingin wanita ini menjauh dari tubuhnya sekarang. Dengan dingin Arkan menyingkirkan Sabrina dari pangkuannya. Membuat wanita itu berenggut menatap Arkan dengan kesal.
Arkan memperingati Sabrina. "Bisakah kau pergi. Aku ingin sendiri." dan berharap wanita itu enyah dari hadapannya. Dan biarkan ia tenggelam dalam kehancuran.
Mendengar suara sinis Arkan wanita itu langsung mendengus. Bangkit berdiri lalu memperbaiki pakaian setengah telanjangnya. Dasar pria menyebalkan. Terlalu munafik. Sabrina tidak pernah menemukan pria sejenis ini sebelumnya. Kebanyakan pria yang ditemui Sabrina adalah lelaki hidung belang yang akan langsung bertekuk lutut dalam pesonanya. Mungkin pria ini bukan spesies lelaki hidung belang tersebut. Jadi Sabrina memilih pergi. Ia tidak ingin kecantikannya di permalukan lebih dari ini.
Setelah kepergian Sabrina. Arkan kembali fokus pada minumannya, mengalirkan rasa panas di tenggorokan. Rasanya seperti terbakar, dan Arkan menyukai sensasinya. Mata Arkan kemudian terpejam. Alam bawah sadarnya tenggelam terlalu dalam sampai mengingatkan Arkan pada suatu kejadian.
.
.
"Arkan, kau menolak wanita lagi?"
Denting suara gitar mengiringi pertanyaan salah seorang pemuda. Gudang kelas yang sudah tidak terpakai di sulap oleh beberapa siswa hingga menjadi markas mereka dalam mengasingkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Luka
RomanceWanita yang dicintai kabur begitu saja di hari pernikahan. Nyatanya menumbuhkan luka yang teramat parah bagi Arkan. Sehingga Arkan memilih pergi ke negara lain dan meyakini akan ada pengharapan bagus untuk menambal luka yang menganga parah di dalam...