Part 1

8.6K 936 35
                                    

Banyak orang mengatakan jika hati yang terluka akan sembuh jika mendapat penggantinya. Tetapi tidak selalu begitu. Arkan mendapati hatinya kering dan nyaris hancur. Tidak ada ketertarikan lagi untuk merajut tali cinta di benaknya.

Semua itu bulshit. Mengeringkan dan demi Tuhan Arkan takut jika tubuhnya terlempar lagi ke dalam ruangan yang penuh berisi luka. Ia tidak sanggup.

Selama lima tahun tanpa seseorang, tanpa wujud terkasih, dan tentu saja tanpa sosok wanita sangat membuat Arkan tenang. Ia bisa melewati hari demi hari dengan berani walaupun milyaran mimpi buruk selalu datang menghantui. Itu tidak masalah. Setidaknya saat di pagi hari ia akan terbangun dengan wajah sempurna tanpa cela.

Setidaknya wajah itu cukup mengatakan pada orang-orang bahwa ia baik-baik saja.

"Kopi di pagi hari tidak baik untuk kesehatan."

Suara melengking. Dan Arkan lupa jika ia masih bersangkutan dengan wanita. Senyum tampan Arkan terbentuk. Kemudian ia melangkahkan kakinya untuk mendekati wanita itu. Lalu tangannya terikat membentuk pelukan.

"Ini terlalu pagi. Kenapa Ibu harus datang saat aku belum menyelesaikan acara minum kopi di pagi hari."

Yang di panggil ibu hanya terkekeh kecil, wanita itu tidak segan untuk mencubit gemas tangan putranya mendapati mulut itu kini padai merangkai sebuah alasan.

"Jangan terlalu sering. Ibu hanya tidak mau kamu sakit."

Arkan melepaskan pelukan. "Aku akan ingat pesan Ibu." kemudian keduanya terkekeh.

Arkan berjalan kembali ke meja tamu dan mengambil sesuatu. Menghampiri ibunya yang masih sibuk membereskan beberapa sayuran ke dalam kulkas di dapurnya.

"Jangan di isi lagi. Nanti sayang tidak kemakan."

"Kamu yang tidak pernah dengar omongan Ibu. Seluruh isi dalam kulkas ini pasti berakhir di tong sampah. Apa tidak sayang."

"Itu kan yang kumaksud."

"Ibu tidak mau tau. Kamu harus perhatikan nutrisi perutmu. Ibu sengaja beli sayuran yang higienis agar tubuhmu tidak terserang penyakit. Bukan terus mengonsumsi minuman keras sampai mabuk."

"Usiaku sudah 30 tahun. Sudah wajar mengonsumsi alkohol."

"Tapi alkohol tidak baik untuk kesehatan."

Arkan hanya bisa mengangkat kedua tangannya ke udara tanda menyerah. Berdebat dengan ibunya tidak akan bisa menemukan kata akhir, akan terus berlanjut sampai Arkan kalah telak dan tidak tau harus menyerang ibunya dengan kata-kata apa lagi. Ibunya adalah seorang penceramah handal. Dan Arkan seumpama jamaah yang akan masuk dari kuping kanan keluar kuping kiri. Tidak akan berarti.

Arkan lebih memilih menyodorkan sesuatu yang ada di tangannya di depan tubuh ibunya. Dan itu berhasil. Ocehan itu sudah tidak terdengar karena fokus ibunya kini tertuju pada sesuatu yang ada di tangannya.

"Tiket pesawat?"

Pertanyaan itu membuat Arkan mengangguk.

"Ya, sudah lama sekali kita tidak pulang. Aku tau Ibu pasti merindukan makam ayah. Dan mungkin aku bisa kembali mengelola perusahaan ayah di sana."

Wajah ibu Arkan terlihat ragu. Beberapa kali ia menatap mata teduh itu untuk mencari kebohongan yang diucapkan putranya. Namun nihil. Hanya ada keseriusan yang terpancar di iris matanya.

"Apa kamu serius Nak? Banyak kenangan buruk di sana. Ibu takut kamu akan terluka kembali."

Digenggamnya tangan wanita itu untuk membuktikan keseriusannya.

Cinta Dalam LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang