•×•
NAYA
•×•Yeay besok hari Akad👏
Ups!
Maksudnya hari Ahad😄
#plak😘“Sukerejo. Ya ampun!” Ajeng tiba-tiba panik. Secara tidak langsung pertanyaan Ario mengarah kepada satu masalah yang hampir saja ia lupakan. Naya temannya, apakah dia baik-baik saja?
“Kenapa?” Ario kembali bertanya.
“Naya temanku, dia sendirian di indekos!” ucap Ajeng masih dengan nada panik.
Ario dan Prabu mengerutkan dahinya tidak mengerti. Pasalnya apa salahnya dengan temannya itu, dia di indekos mungkin sekarang dia lagi bermain dengan selimutnya sambil menonton televisi. Seharusnya yang Ajeng pikirkan dirinya sendiri, mungkin tubuhnya kedinginan.
“Emang kenapa?” Ario lah yang aktif bertanya kepada Ajeng, sedangkan Prabu bergeming paling tidak memainkan ekspresinya.
“Dia itu fobia gelap, sekarang di sana lagi mati lampu. Dan seharusnya aku ada di sana, kalau tidak dia bakal marah besar. Apalagi dia itu selalu ada buatku.” Ajeng menggigit bibir bagian bawahnya.
Ario menatap kasihan kepada Ajeng. Dengan rasa ragu, Ario menyampaikan tangannya ke bahu Ajeng, lalu mengelus-elusnya perlahan. Berharap apa yang dilakukannya bisa membuat Ajeng sedikit tenang.
“Aku yakin temanmu itu pasti baik-baik saja.”
Prabu pergi dari hadapan mereka, membuat Ario heran. Sedangkan Ajeng masih khawatir dengan keadaan temannya yang—pasti—sedang ketakutan di indekos. Ajeng akan merasa bersalah, karena tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan sebagai temannya Naya. Sedangkan Naya selalu ada buat dirinya, baik ketika dirinya terpuruk karena tugas-tugas, atau pun ketika dirinya butuh sandaran untuk menyalurkan rasa rindunya terhadap dua orang istimewa yang berada di bumi Pasundan.
“Maafkan aku Naya,” lirihnya.
“Aku punya ini.”
Ajeng dan Ario sedikit terperanjat, tiba-tiba saja Prabu datang sambil menyodorkan jas hujan kepada Ajeng. Prabu menaikkan salah satu alisnya, sebagai isyarat agar Ajeng menerimanya.
“Nanti kamu gimana?” tanya Ajeng ragu.
“Tenang aja, rumahku dekat dari sini. Lagi pula biasanya aku dan Ario tidur di sini, di ruangan khusus,” jawab Prabu tenang.
Ario membeliak mendengar jawaban Prabu. Sebab di kedai tempat mereka bekerja tidak ada ruangan khusus seperti asrama selain dari ruang bosnya, toilet, dan ruangan pekerja untuk istirahat. Itu pun hanya di isi oleh dua kursi panjang yang terbuat dari kayu, dan beberapa loker untuk para pekerja.
“Serius?”
Prabu menganggukkan kepalanya. Ia menatap sekilas ke arah Ario yang masih mempertahankan tatapan tidak percaya kepadanya. Namun Prabu tidak peduli sedikit pun tentang tatapannya, bukannya menakutkan malah Ario terlihat konyol dengan tatapan seperti itu.
“Kalo begitu aku pergi dulu. Terima kasih.”
“Eh, tunggu!”
Ajeng terkesiap. Tubuhnya membeku ketika tangan lain melingkar di pergelangan tangannya. Hati Ajeng berdegup seketika, napasnya sedikit tertahan, sampai-sampai kedua matanya ia pejamkan. Baru kali ini perasaan Ajeng di serang oleh sesuatu yang berbeda dari biasanya. Apakah ini yang dinamakan dengan cinta pandangan pertama?
Ya Allah! Kuatkan hati hamba!!! Hati Ajeng berteriak histeris.
“Maaf, aku enggak bisa ngantar kamu pulang,” ujar Prabu seraya menatap penuh wajah Ajeng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amarga Tresna || TERBIT
Teen Fiction🌟 Pemesanan novel Amarga Tresna: 1. Whatsapp: 083101501612/+62 812-4909-2360 2. Instagram: toko buku Rex Publishing [PEMENANG NULIS MARATHON REX PUBLISHING 2019] Rank #1 Luar Biasa (01/08/2019) Rank #4 Rekomended (04/09/2019) Rank #12 S...