5. Kisah Perpustakaan

121 34 90
                                    

•×•
KISAH PERPUSTAKAAN
•×•

Perpustakaan
(Perempuan pusat perhatian yang tak tergantikan)
#authornyabucinberat😋

Ajeng sudah bersiap-siap untuk pergi ke perpustakaan daerah di kota Semarang. Ia mengenakan jaket merah marun, dengan celana jeans serta tas gendong menghiasi punggungnya. Ajeng menyalakan motornya, kemudian berlalu dari depan indekosnya.

Selama di perjalanan Ajeng bernyanyi-nyanyi kecil dari balik helmnya. Entah kenapa ia merasa sangat bahagia hari ini. Bahkan pikirannya sedang memikirkan sesuatu yang belum pasti akan terjadi terhadap sesuatu itu. Bukan pikirannya saja yang sibuk, hatinya pun sama. Sekarang keduanya saling bersahutan. Ketika sang pikiran memikirkan hal yang indah—meskipun belum pasti terjadi—cekatan, hatinya berdegup kencang merambatkan isyarat menjadi senyum kebahagiaan. Ketidakpastian itu membuat Ajeng sedikit ‘gila’ hari ini.

Matahari yang telah menampakkan keberadaannya beberapa menit yang lalu, perlahan merangkak ke atas. Ajeng mendengus kesal, ketika laju motornya harus terhenti di tengah-tegah kemacetan yang terjadi. Walaupun masih pagi, sinar matahari cukup menyengat tubuhnya. Terlebih, asap kendaraan dan suara bising yang menyerang dua indra sekaligus membuat Ajeng merutuk, dan ingin berteriak sekencang-kencangnya tidak tahan dengan kondisi seperti ini.

Setelah cukup lama melewati kemacetan, akhirnya Ajeng dapat menghela napas lega karena sekarang ia telah sampai di tempat tujuannya. Tempat ini tidak terlalu ramai, pengunjung yang mendatangi tempat ini bisa di hitung dengan hitungan jari. Toh, orang-orang lebih memilih tempat rekreasi dibandingkan mengunjungi tempat yang di dalam berisi jutaan buku. Apalagi sekarang hari Minggu.

Ajeng berlari kecil memasuki perpustakaan itu. Ia ingin cepat-cepat merebahkan tubuhnya di atas kursi. Menikmati ketenangan dan kesejukan dari AC perpustakaan, setelah merasakan panas menyengat di tengah-tengah kemacetan, dan bau asap serta suara bising dari kendaraan beberapa menit lalu.

“Belum mengerjakan apa-apa udah gerah. Parah banget hari ini,” gumam Ajeng.

Ajeng masih mengatur napasnya yang perlahan mulai teratur. Di sela-sela melakukan hal itu, seseorang tiba-tiba saja seseorang terduduk di hadapan Ajeng sambil membawa beberapa buku yang di simpannya di atas meja. Diam-diam Ajeng menatapnya sebentar, lalu kembali ia palingkan ke sembarang arah.

“Enggak papa kan aku duduk di sini?” tanya laki-laki itu sambil membuka salah satu bukunya.

“Hm, enggak papa,” balas Ajeng sembari tersenyum, lalu bangkit dari hadapan laki-laki berjaket hitam itu.

“Eh, mau ke mana?” tanya laki-laki itu.

“Mau cari buku,” jawab Ajeng.

Laki-laki itu bangkit dari duduknya, kemudian mengulurkan tangannya ke arah Ajeng.

“Devan.” Ucap Devan, memperkenalkan diri.
Ajeng tersenyum. “Ajeng.”

Setelah membalas uluran tangan Devan, Ajeng pergi dari hadapannya. Ia segera mencari buku yang menjadi bahan skripsinya, yaitu buku yang memuat kehidupan orang-orang Minangkabau. Mulai dari sosial, budaya, adat, dan lain-lainnya.

Sudah ada lima buku yang kini Ajeng peluk untuk bahan skripsinya. Meskipun Ajeng tidak akan membaca kelima buku tersebut dengan detail, paling ia akan membaca beberapa bagian yang inti pokoknya di tulis di skripsinya. Ajeng kembali duduk di kursi di hadapan Devan, tanpa menghiraukan laki-laki itu Ajeng langsung membaca buku yang dibawanya.

“Kamu baca buku apa?” Devan memecah keheningan yang terjadi di antara mereka berdua.

“Kehidupan orang Minang,” jawab Ajeng, singkat.

Amarga Tresna || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang