Ratih membuka matanya pelan-pelan. Ia melihat langit-langit sebuah kamar. Mencoba untuk memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"Ibu, apa yang terjadi?"
Ibunya pun segera bangkit dari kursi setelah menjaga dan menemani anaknya kurang lebih dua hari ini. Ia mengusap kepala anaknya, "kamu terjatuh di kamar, Nak."
Ratih lalu mencoba untuk menyentuh kepalanya yang dibalut dengan perban.
"Ratih, jangan sentuh! Kamu masih sakit dan harus dirawat, Nak."
"Tapi Bu, saya baik-baik saja." Ucap Ratih sambil mencoba untuk bangun dari tidurnya. Ibunya pun membantunya. Saat dalam posisi duduk, Ratih merasakan pusing dan kepalanya sakit.
"Kamu belum bisa duduk, Nak. Baringlah dulu."
"Tidak bu, saya baik-baik saja."
Lalu tak lama, ayahnya pun masuk melihat kondisi Ratih.
"Oh. Sudah bangun kau rupanya, Nak. Bagaimana keadaanmu?"
Ratih menatap lekat-lekat ayahnya yang datang menghampirinya. Ayahnya duduk di samping Ratih, ia mencoba untuk memeriksa kepala anaknya yang terbentur.
"Coba saya lihat kepalamu, Nak." Ayahnya Ratih menatap kepala anaknya yang dibalut perban. Lalu, ia berujar, "begini akibatnya kalau kamu keras kepala dan tidak patuh sama ayah dan ibu. Kan kamu sendiri yang rugi. Kamu sendiri yang sakit."
Saat ayahnya hendak menyentuh kepalanya, Ratih menghindar dengan menggerakkan kepalanya ke arah samping. "Jangan sentuh kepalaku jika hanya ingin menambah sakitnya," ucap Ratih yang masih trauma akibat kejadian beberapa hari lalu. Ia masih ingat bagaimana tingkah dan perilaku ayahnya kepada dirinya.
"Apa kau bilang? Anak ini sudah kurang ajar ternyata!" Ayahnya Ratih pun seketika naik pitam melihat tingkah anaknya.
"Ayah! Sudah! Dia masih sakit!" Tegur istrinya yang seketika menarik tubuh suaminya agar menjauh dari Ratih.
Ratih menatap dengan tatapan sinis. Ia masih belum bisa melupakan kejadian beberapa hari lalu. Manusia akan mengingat segala hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupnya.
"Masih sakit kelakuannya sudah begini, bagaimana kalau sudah sehat. Sekalian mati saja!" Umpat Ayahnya Ratih yang tidak tahan lagi melihat tingkah anaknya.
"Ayah! Sudah! Istigfar! Dia itu anak kita. Istigfar!" Ibunya Ratih terkejut dengan apa yang dikatakan suaminya tersebut.
"Dia pantas mendapatkannya, Bu." Ayahnya Ratih pun keluar dari kamar. Ia membanting pintu dengan keras.
"Dia kenapa, Bu?" Tanya Ratih setelah ayahnya benar-benar keluar dari kamar.
"Hus! Jangan bilang begitu, Nak. Biar bagaimana pun, dia tetap ayahmu."
"Percuma jadi ayah kalau sikapnya seperti itu, Bu. Saya memang lebih baik mati lebih dulu," ucap Ratih yang masih menatap pintu kamarnya.
"Jangan bicara seperti itu, Ratih. Istigfar."
Ibunya Ratih melanjutkan, "mungkin ayah sedang ada masalah di kantor atau tuntutan pekerjaan dari perusahaan. Makanya ayah seperti itu, mudah tersulut emosinya akhir-akhir ini."
"Ada atau tidak ada masalah di kantor atau tuntutan pekerjaan, bagiku ayah sama saja, Bu. Memaksakan kehendak dan kemauan untuk dirinya sendiri. Walaupun dengan dalih untuk kebaikan saya, ibu atau keluarga. Tapi kan pada akhirnya untuk ayah sendiri. Kita tidak akan mendapatkan kebaikan apa-apa dari tingkah dan perilaku seperti itu, Bu." Ratih pelan-pelan memalingkan wajahnya ke wajah ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arah
Teen FictionArah, ke mana kau akan berlabuh untuk cinta yang belum meninggalkanmu? Masa depan atau masa lalu yang kau tinggalkan? Percayalah, cinta tidak akan tersesat.