Bagian 10

46 4 0
                                    

Ada yang aneh dalam pikiran Nadia malam ini. Seperti ada sesuatu hal yang mengganjal dalam kepalanya, tetapi, anehnya ia tidak tahu apa itu. Selama perjalanan, Nadia menyadari keanehan itu. Namun, Tama tetap mengantarnya pulang tanpa menyadari keanehan yang terjadi pada diri Nadia. Malam ini, Nadia menemukan sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan; khawatir. Khawatir adalah perasaan takut manusia terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Demikianlah Nadia malam ini, perasaan takut itu hinggap di dalam tubuhnya. Anehnya, ia tidak tahu rasa takut terhadap apa. Sebab, sampai saat ini, perasaan takut itu masih menjadi teka-teki.

Tama telah sampai di depan rumah Nadia Sekar Anggraini. Setelah mereka berpamitan, Nadia terkejut setelah membalikkan badan menghadap ke pintu rumah. Seseorang telah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu, seseorang yang datang untuk meminta pertolongan. Sebab, seseorang itu berharap bahwa Nadia adalah seseorang yang bisa ia harapkan menjadi telinga yang baik untuk cerita patah hati yang seorang lelaki.

"Arki?" Jantung Nadia berdegup cepat saat melihat Arki berdiri di depan pintu rumahnya.

Arki tersenyum, "Nadia, kamu dari mana?"

"Dari beli buku, Kak Arki," jawab Nadia. Ia pun berjalan mendekati Arki yang telah menunggunya di depan pintu.

"Sama Tama, kan? Sejak kapan kalian jalan sama-sama?"

"Baru pertama kali, Kak Arki. Kenapa Kak Arki tidak masuk? Ada Ibu di dalam kok," Nadia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.

Arki langsung menjawab, "saya hanya mau bertemu denganmu, Nadia."

Nadia tersenyum, "kenapa Kak Arki baru datang? Saya sudah menunggu lama, Kak. Dari mana saja?" Nadia menarik tangan Arki untuk masuk ke dalam rumah.

Di ruang tamu, Arki duduk di samping Nadia.

"Ada yang bisa saya bantu, Kak?" Nadia memulai pembicaraan.

Bukan jawaban yang diucapkan Arki, tetapi pertanyaan-pertanyaan yang baru ada semenjak ia melihat Nadia dan Tama menghabiskan malam bersama, "kamu dari mana saja, Nadia? Sejak kapan kamu jalan sama Tama?" Arki duduk tanpa sekalipun memandang wajah Nadia—wajah yang diharapkannya selalu ada saat ia merasa lelah oleh cinta yang kehilangan arah.

Nadia memalingkan wajahnya menatap Arki, "maaf, Kak Arki. Saya diajak Tama sebentar. Maaf karena tidak memberitahu Kak Arki dulu sebelumnya."

"Untuk apa, Nadia? Untuk apa kau memberitahuku tujuan dan rekan seperjalananmu?"

Hati Nadia seperti retak untuk sekian kali setelah mendengar ucapan Arki barusan, padahal Nadia berharap bahwa kedatangan Arki ke rumahnya malam ini adalah tanda bahwa bintang terang akan segera datang dari titik gelap di langit malam yang gelap dan sunyi. Demikianlah hati seorang perempuan yang berharap terlalu tinggi kepada seorang lelaki yang kehilangan arah mencari cinta dan terlalu dalam menyayangi seseorang yang tak tahu cara melupakan kekasih yang tidak mencintainya.

Nadia tunduk, "tapi kenapa Kak Arki datang ke sini? Datang malam-malam begini?"

Arki segera menjawab, "saya mencarimu, Nadia. Saya sulit menemui beberapa hari terakhir. Saya mencarinya bahkan saya sempat ke rumahnya. Namun, saya belum bertemu dengan Ratih. Saya ingin meminta bantuanmu, Nadia. Bantu saya untuk mencari tahu keberadaan Ratih, bantu saya untuk menemukannya. Bahkan hanya jika bertemu dengannya barang beberapa detik saja, sudah lebih dari cukup untuk saya, Nadia," barulah Arki memalingkan wajahnya menatap Nadia.

Kini keadaan berbalik. Nadialah yang sekarang menundukkan kepala. Ia tidak tahu akan menjawab apa untuk pertanyaan yang sama sekali tidak diharapkannya pada malam ini. Namun, Nadia harus mampu menguatkan dirinya sendiri, meskin jawaban dan pertanyaan itu ada tanpa diminta, "pertanyaanku yang sebelumnya belum terjawab, Kak Arki. Saya tidak tahu akan menjawab apa jika pertanyaanku sebelumnya saja belum direspons," jawabnya menunduk. Nadia berusaha tegar meski hatinya kini pelan-pelan hancur.

ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang