lima.

236 55 0
                                    

Jinyoung mengerjap- ngerjapkan matanya. Matahari sudah begitu tinggi. Cahaya yang masuk lewat celah jendela kaca membuatnya tidak bisa menutup matanya lagi.

Hidungnya dapat mencium aroma yang lezat. Pasti ayahnya memasak sesuatu.

Jinyoung menghampiri meja makan, dan melihat jokbal dari Paman Dongho yang sudah tersaji di piring. Ternyata ayahnya tidak memasak, hanya menghangatkan jokbal saja.

Ayah Jinyoung yang sedang mencuci peralatan dapur melemparkan senyum manis pada anak laki – laki tercintanya. "Jinyoungie, kau sudah bangun rupanya. Appa akan ambilkan kau nasi ya."

"Itu jokbal dari Dongho ahjussi?"

"Iya, benar."

"Appa sudah bilang terimakasih?"

Ayahnya cekikikan. Jinyoung tidak mengerti apa yang lucu dari ucapannya yang tadi. Bukankah mengucapkan terimakasih setelah diberi sesuatu merupakan sebuah aturan paling dasar dalam hidup?

"Kau kenapa sih sebenarnya? Baru sekali bertemu langsung merasa dia appamu."

"Ih, Appa. Bukan begitu. Kau kan yang mengajarkanku untuk selalu berterimakasih. Masa sekarang Appa tidak mau melakukan apa yang Appa ajarkan?"

Si ayah mendenguskan nafas dan memutar bola matanya. "Baiklah Pangeran Hwang Jinyoung, akan ku laksanakan segera."

"Appa! Berhenti memanggilku yang aneh – aneh. Aku sudah besar" Jinyoung merengek dan merajuk. Ia tak percaya ayahnya tidak bisa menghilangkan kebiasaan untuk memanggilnya pangeran.

"Sudah besar? Tapi tadi malam masih ingin tidur dengan Appa dan memeluk Appa seperti tidak ada hari esok, hm?"

"Ayo kita makan saja." Ia langsung saja memakan nasi dan jokbal di hadapannya dengan lahap. Jinyoung sudah sangat kesal. Dia bahkan sudah malas menatap wajah ayahnya yang usil itu. Harus Jinyoung akui, kesan orang – orang terhadap ayahnya sangatlah berbeda dengan keadaan sebenarnya. Dari luar, ayahnya mungkin memang terlihat serius dan pendiam. Namun sebenarnya ia adalah orang yang tidak bisa berhenti bicara dan jenaka. Kadang sang ayah juga agak menyebalkan.

Ya, tapi Jinyoung tidak bisa berhenti menyayangi pria itu. Pria yang sudah mau bekerja dan mencari uang untuk memberi kehidupan yang nyaman bagi Jinyoung. Pria yang selama ini selalu mencurahkan kasih sayang padanya tanpa mengenal lelah.

"Jinyoung,"

"Kenapa?"

"Nanti Appa akan membalas chat dari Dongho Ahjussi dan berterimakasih padanya. Kau tenang saja."

"Iya, aku tahu kok."

"Ada hal lain yang menganggu pikiranmu ya?"

Jinyoung langsung tersedak. Ayahnya yang sigap segera mengambilkannya segelas air. "Ada yang ingin Jinyoungie bilang pada Appa?"

Ia kagum. Ayahnya sangat sensitif terhadap sikap dan gerak geriknya. Karena itu, kala Jinyoung memiliki suatu kekhawatiran, bahkan kekhawatiran yang amat kecil, ayahnya akan mengetahuinya dan mengajaknya berbicara.

"Aku tidak ingin Appa kesepian."

Si ayah mengangkat alisnya, seakan kebingungan. "Maksudmu?"

"Aku sayang Appa. Aku tidak ingin Appa kesepian. Kalau Halmeoni kan tidak akan kesepian karena ada Harabeoji."

"Tapi Jinyoungie ada di sisi Appa. Appa tidak akan kesepian."

"Bagaimana kalau nanti aku sudah jadi mahasiswa? Aku kan harus tinggal di dorm. Bagaimana kalau aku diterima di Cambridge? Siapa yang akan menemani Appa?"

"Jinyoung, habiskan saja makananmu. Nanti makanannya dingin."

"Siapa sih yang menyakiti Appa sampai tidak mau berurusan dengan cinta seperti ini?"

Ayahnya tertegun. Melakukan hal yang sama seperti yang Jinyoung lakukan sedari tadi, yaitu menaruh sendoknya di meja dan berhenti memakan sarapannya. Entah mengapa, wajah sang ayah terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Tatapannya tetap lurus menusuk, namun mati. Selama sepersekian detik, Jinyoung dapat melihat mata ayahnya berkaca – kaca. "Tidak Jinyoung, tidak ada yang menyakiti Appa. Tapi Appa melihat banyak cinta yang berakhir menyedihkan. Kalau begitu, tidak perlu dimulai dari awal saja bukan?"

Keheningan menyelimuti sesi sarapan keduanya setelah itu. Suara yang terdengar hanyalah kelontang – kelonteng dari pertemuan sendok, garpu, dan piring.

Kalau bisa, sebenarnya Jinyoung ingin sekali berteriak.

Aku tidak percaya Appa. Appa pembohong.


===============


fr, it's so harddddd to write cerita panjang - panjang these days but I wanna finish this so bad (jdjdjdjd even tho I kinda write this for myself, not for anyone) but I really wanna finish this fic before my uni choir's annual concert. So, aku selalu ngerush gitu dan ga bisa nulis yang seabrek abrek. Makanya cerita awal - awalnya ku akuin memang sangat boring (tapi sepertinya kalau sudah klimaks ceritapun akan tetap boring karena yang nulis aku HUHUUU how you guys still keep up with this?? I don't even know how to write?? hhhh y'all da real mvp ;)

[OngHwang] Our Feelings (Remain Unspoken)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang