dua belas.

244 51 3
                                    

Setelah di bawa ke hari dimana kematian Seongwu terjadi, ia dibawa mundur ke saat dimana Seongwu dan ayahnya menjalani kehidupan sehari – hari. Namun kali ini, memori – memori itu berkelebat cepat seperti angin. Skenario di matanya melompat – lompat dari satu moment ke moment lain.

Seongwu dan ayahnya berkenalan.

Seongwu dan ayahnya mendengarkan musik bersama.

Seongwu dan ayahnya berargumen, lalu Seongwu pergi menemui seorang wanita.

Ayahnya menyenderkan kepalanya di pundak Seongwu saat menonton film.

Seongwu menenangkan ayahnya yang menangis sesenggukan.

Mereka yang berbincang – bincang dari malam hingga pagi sambil membungkus diri mereka dalam selimut yang sama.

Hal itu menjadi memori terakhir dari Seongwu yang merasuki raga Jinyoung. Cahaya putih polos menyeruak mengikuti.

Jinyoung membuka kedua matanya dengan perlahan. Sakit kepala hebat menghampirinya. Rasanya seperti mau tumbang, namun ia berhasil meraih gagang pintu kamarnya hingga ia tetap berdiri.

Indra penglihatannya menangkap sosok Seongwu yang berbeda.

Ong Seongwu yang ada di hadapannya ialah Ong Seongwu yang berlumur cairan merah kotor dan memiliki tatapan mengintimidasi. Di dalamnya terdapat kesedihan mendalam sekaligus amarah yang menggebu – gebu.

Selama 13 tahun mengenal Seongwu, untuk pertama kalinya, Jinyoung merasakan kengerian saat melihat sang hantu.

Jinyoung ingin berlari. Ia lebih ingin menghindar saat melihat Seongwu yang seperti ini ketimbang saat ia melihat Joohyun untuk pertama kalinya.

Ia ingin pergi. Namun niatannya tak sempat ia lakukan seiring dengan transformasi Seongwu menjadi dirinya yang semula.

Pakaian dan tubuhnya kembali menjadi bersih.

Wajahnya kembali menjadi tampan.

Dari sebrang ruangan, ia tersenyum pada Jinyoung.

Lututnya tak kuat menahan beban tubuhnya sendiri, memaksa sang hantu untuk cepat ambruk ke lantai.

Jinyoung berlari ke arahnya, memeluknya erat.


===============


"Soal appamu yang memiliki mantan itu, aku tidak bohong. Nama mantannya Jung Taekwoon. Namun appamu yang bodoh itu sepertinya memang tidak mau berhubungan dengan siapa – siapa lagi semenjak dicampakkan. Padahal dia bisa dapat kebahagiaan baru. Contohnya saja, denganku." Seongwu melipat tangannya sambil tersenyum bangga, seperti sedang mengingat – ingat kebahagiaan yang telah ia beri pada ayah Jinyoung di waktu – waktu silam. "Ya, aku belum bisa memberinya kebahagiaan itu. Aku pergi terlebih dahulu. Kalau saja aku masih hidup, mungkin aku bisa memberitahunya bahwa dia sangat berharga. Dia pantas mendapat seseorang yang lebih baik." Air muka Seongwu berubah menjadi agak masam. Rasa sesal terdengar jelas pada suaranya. "Aku tidak percaya dia masih bersikeras untuk menutup hatinya. Karena sebenarnya sama sepertimu, aku tidak ingin dia kesepian." Seongwu mendekati Jinyoung yang sedang duduk di kasur, lalu menggenggam tangannya hangat. "Namun aku sangat bersyukur ada dirimu dalam kehidupan Hwang Minhyun. Setidaknya, kau akan menjadi harapannya di hari tuanya kelak."

Jinyoung merasakan hangat tangan Seongwu menjalar ke dalam hatinya. Ia bisa merasakan ketulusan Seongwu yang memancar dari senyumnya.

Seongwu hanya ingin ayah Jinyoung, Hwang Minhyun, merasakan bahagia dalam hidupnya.

Ayahnya dan Seongwu telah dipisahkan oleh tembok besar bernama dimensi. Namun dengan keadaan seperti itu, Seongwu yang tulus masih terus berusaha untuk membantu Hwang Minhyun dengan cara apapun.

Sekarang Jinyoung mengerti.

Karena itu, Seongwu selalu berada di sisinya. Dengan keadaan Jinyoung yang memiliki kemampuan spesial bisa melihatnya, ia bisa menjaga dan menemani Jinyoung.

Menjaga dan menemani anak dari seseorang yang ia cintai.

Sekarang ia sangat mengerti.

Dan ini adalah saat yang tepat untuk membalas kebaikan Ong Seongwu.

Jinyoung menguatkan genggamannya pada tangan sang arwah. "Ahjussi. Ku rasa ini waktu yang tepat bagiku untuk membalas budi padamu."

"Balas budi? Kau mau mentraktirku? Aku sudah tidak bisa makan."

"Aish, tentu saja bukan. Biarkan aku memberitahu perasaanmu pada appa."

Seongwu terlihat kaget, bahkan sedikit terlompat hingga genggam mereka terputus. "Ka- kau bercanda kan?"

"Tidak, kenapa aku harus bercanda?"

"Dengar, Jinyoung. Appamu tidak akan mempercayainya begitu saja."

"Kalau begitu biarkan saja bukti lain berbicara."

"Maksudmu?"

Jinyoung menelusuri jarinya pada buku – buku di rak. Ia mengeluarkan buku bersampul merah miliknya, yang juga merupakan buku kumpulan puisi kesukaan Seongwu. "Biarkan puisi – puisi Ahjussi yang menceritakan semua."

"Aku masih tidak mengerti."

"Dari semua puisi yang Ahjussi tulis, tidak mungkin tidak ada yang menceritakan appaku bukan?" Jinyoung menaikkan satu alisnya.

"Ah, sebenarnya, aku punya diari. Di dalamnya, ada beberapa puisi dan ungkapan cinta untuk ayahmu. Namun aku menaruhnya di bawah lantai kayu asrama. Kalau sekarang, mungkin sudah dimakan rayap."

"Bagus." Dengan terburu – buru, Jinyoung mengganti kausnya dengan kemeja, kemudian meraih kunci mobilnya yang tergeletak di atas kabinet. "Ayo kita ke asrama Yonsei."

"Jinyoung! Sudah gila ya? Kau pikir buku diariku akan ketemu?"

"Lebih baik dicoba dulu kan?"

"Bagaimana kalau Ahjussi memang tidak ingin mencoba?"

Jinyoung menghentikan langkahnya dan melirik ke arah Soengwu. "Memang kenapa? Bukankah itu yang Ahjussi inginkan?"

"Kau tidak mengerti Jinyoung," Seongwu mendekatinya, memberinya pelukan. "Karena itu adalah tujuanku, maka setelah hal itu tercapai, aku akan menghilang. Aku akan benar – benar meninggalkan dunia dan pergi ke langit. Aku tidak mau, aku mau tetap di sini menjagamu." Beberapa bulir air mata menetes di pipinya yang pucat.

Melihatnya, Jinyoung merasa hatinya tersayat. Bahkan hingga saat ini, Seongwu tak pernah memikirkan kepentingannya sendiri. "Aku sudah besar, Ahjussi. Bukankah jika Ahjussi pergi ke atas langit, Ahjussi akan bertemu dengan Appa dan Eommamu? Apa kau tidak merindukan mereka?"

Seongwu mengusap pipinya sendiri. Berusaha menyingkirkan air matanya yang terus berjatuhan. "Tentu aku rindu, tapi bagaimana dengan—"

"Ahjussi, ku mohon untuk sekali saja, pikirkan dirimu sendiri. Aku akan baik – baik saja, Appaku akan baik – baik saja." Jinyoung tersenyum pada sang hantu, memberinya sinyal untuk tidak merasa khawatir. "Ayo kita ke Yonsei."

Kali ini, Seongwu mengangkat wajahnya yang tadinya menunduk untuk bertemu dengan mata Jinyoung. Terpancar binar pada wajahnya dan teguh pada keputusannya. "Ayo."


===============


*hah? aku siapa? aku dimana?* selost itu diri aku sama kehidupanku sendiri huehuehue.

[OngHwang] Our Feelings (Remain Unspoken)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang