enam.

240 53 0
                                    

Semburat jingga mewarnai langit di sore hari. Musim gugur membawa angin yang cukup kencang hingga rambut Jinyoung tertiup kesana kemari. Ia terduduk di ayunan taman dekat rumah. Orang – orang yang kebetulan lewat hanya akan melihat anak yang sedang bermain sendirian, namun sesekali ayunan di sebelahnya akan bergerak. Ya, ada Joohyun di sana.

"Kau kenapa sih, anak kecil? dari kemarin melamun saja kerjaannya."

"Aku sudah besar."

"Iya, iya. Ada apa sih?"

"Appaku. Dan Seongwu Ahjussi."

"Ada apa dengan mereka? Apa si Seongwu sialan itu menakuti ayahmu di malam hari?"

"Ah, tidak. Hanya saja, mereka sama – sama seperti puzzle."

"Puzzle?"

"Mereka puzzle yang bagiannya banyak hilang. Kenapa mereka terus – terusan menyembunyikan sesuatu dariku? Aku tidak mau bermain puzzle. Mereka sama saja, kalau cerita suka setengah – setengah."

"Kalau begitu jangan bermain puzzle. Ganti saja permainannya, anak kecil," Joohyun hendak melanjutkan pembicaraannya namun terhenti saat melihat wajah Jinyoung yang terlihat marah. "Maksudku, begini Jinyoung, apa kau akan menceritakan semua hal yang terjadi dalam hidupmu pada orang lain? Tidak kan? Bagian puzzle yang hilang itu kita sebut dengan 'Rahasia'. Memang kau tidak punya rahasia?"

Kata – kata Joohyun yang mengalir masuk ke otaknya membuatnya berpikir. Memang tak semua hal yang terjadi dalam hidup dapat ditumpahkan pada orang lain begitu saja. Seperti Jinyoung yang selalu bercerita pada ayahnya mengenai teman – temannya di sekolah, namun tetap menyembunyikan kenangan patah hatinya saat ia tahu, Kyulkyung, tetangganya, sudah memiliki kekasih. Atau saat Jinyoung berterus terang pada orang terdekatnya mengenai kemampuan istimewanya, namun tidak memberitahu mereka sama sekali tentang sosok Ong Seongwu.

"Tentu— tentu aku punya rahasia." Ia menelan ludah. Ada sesuatu yang membuatnya terhenti. Jinyoung tak dapat mendeteksi apa hal itu selain rasa bersalah. Rasa bersalah yang amat besar. "Tapi saat aku merasa khawatir, aku akan menceritakan kekhawatiranku pada Appa dan Seongwu Ahjussi. Aku ingin mereka dapat berbagi kekhawatirannya juga denganku. Aku ingin membalas kebaikan mereka" Ucap Jinyoung dengan penuh penyesalan.

Ia menghadapkan wajahnya lurus ke arah langit. Namun ia bisa merasakan Joohyun menatapnya dari samping. "Aih, kau ini. Mengapa pemikiranmu bisa sangat dewasa?" Tangan Joohyun mengusap rambut hitam legamnya dengan halus. "Kau tidak perlu merasa bersalah begitu. Itu pilihan mereka untuk tidak menceritakan apapun. Lagipula kenapa harus kau pusingkan? Lebih baik kau rajin belajar saja."

Jinyoung hanya mengangguk kecil. Joohyun selain marah – marah, ternyata juga bisa membuatnya lebih baik.

"Oh iya, satu lagi. Terkadang, ada memori yang jika diingat – ingat, hanya akan mengingatkanmu pada kejadian yang luar biasa menyakitkan. Seperti diriku yang dibunuh oleh sahabatku sendiri. Ya, tapi sekarang aku sudah biasa saja. Seongwu, mungkin kalau dia cerita, dia akan mengingat memori pahit yang terjadi di kehidupannya dulu. Jadi dia memutuskan untuk tidak menceritakannya sama sekali."

Jinyoung tertegun. Rasa bersalah kembali menghampiri benaknya. Jika memori Joohyun saja sudah sangat pahit, bagaimana dengan memori Seongwu yang sudah ia rahasiakan selama bertahun – tahun? Jika memori Joohyun adalah memori yang pahit, apakah memori Seongwu akan terasa pahit, pedas, dan menusuk secara sekaligus?

"Haduh, kau melamun lagi." Joohyun mengeraskan suaranya. Sepertinya ia sudah kembali ke sosoknya yang semula. "Bagaimana pun, ayahmu dan Seongwu, mereka berdua menyayangimu. Akan ada saat dimana mereka menceritakan semua padamu. Mungkin saat kau sudah siap." Ia bangkit dari ayunan yang sejak tadi ia duduki. "Ayo, kau pulang saja. Sudah sore, nanti appamu mencarimu."

Sore itu, Jinyoung membiarkan Joohyun menemaninya pulang. Menyusuri jalanan perumahan yang sepi. Bukan hal yang biasa, namun Jinyoung suka. Setelah bertahun – tahun mengenal Joohyun, Jinyoung menyadari bahwa Joohyun bukan hanya sekedar hantu wanita yang menyebalkan, namun secara tak sadar dalam hatinya, ia telah menganggap Joohyun sebagai kakaknya sendiri.

Mereka berpisah di halaman rumah. Saat itu Jinyoung memanggil Joohyun dengan sebutan 'Noona' untuk pertama kali. Jinyoung menyangka bahwa si roh wanita akan tertawa terpingkal – pingkal, namun ia hanya tersenyum kecil.


===============


Uh...this might be directing us to the end. Hhhhh it's so short ikr. But everything is gonna be revealed very soon coz I CAN'T WRITE FOR F*** SAKE so I'm gonna end this with a rushy plot cause I'm that UNPROFESSIONAL sorry anak yang suka bikin makalah ini malah memutuskan buat bikin fenfik  :')

[OngHwang] Our Feelings (Remain Unspoken)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang