Doraemon

129 126 32
                                    

    Suara mobil Sifa di luar sana seketika mengejutkan aku yang sedang melamun. Dari dalam mobil keluar lah Sifa dan Melani. Ya, sepertinya baru saja selesai berbelanja. Aku mencibir kepada mereka.

       "Eh nona kenapa itu bibirnya. Syirik ya." Jawab Melani yang menenteng tas belanjaannya.
Diikuti dengan Sifa yang juga membawa beberapa tas belanjaan. Mungkin dua tas saja. Ia pun duduk di sampingku.

  "Kalian dari mana aja sih. Kok tega betul ninggalin aku sendirian," protes ku.
"Maaf-maaf. Abisnya tadi kamu lama kali keluar kelas. Jadi, kami pulang duluan."

  "Iya, Yu. Niat kami sih abis pulang ganti baju mau jemput kau ke sekolahan lagi. Eh, Wahyu bilang sedang ada rapat OSIS. Kemungkinan rapatnya lama. Itu katanya," ucap Melani sambil menyodorkan jus alpokat padaku.

  "Terus dia juga bilang, kalau dia yang bakal nganterin kamu pulang. Tanpa pikir panjang kami pun percaya."

  "Langsung shopping deh. Haha," Melani tampak senang sekali.  Ya seperti biasanya, aku hanya menghela napas lalu tersenyum.

   "Apa-apaan sih Wahyu. Udah jelas tadi aku pulang sendirian. Ditinggalkan pulak aku tugas yang buanyak tau nggak." Aku menceritakan kejadian yang aku alami hari ini.

   "Keterlaluan betul sih dia. Awas aja kalau ketemu besok. Aku hajar dia." Sifa mengepalkan tangan kirinya. Merasa tak terima jika aku  dipermainkan.

  "Aku besok mau hajar dia dengan kata-kata ah. Kau Sifa, tonjok aja muka dia yang ngeselin itu. Kalau perlu sampe bonyok." ucap Melani antusias. 

    "Haha, sekalian kita kasih aja dia rok sama jilbab. Biar dia jadi cantik. Terus ditaksir sama cowok-cowok deh. Haha." Aku pun tak mau kalah.

  "Jeruk makan jerukkk." teriak kami bertiga untuk menghilangkan rasa jenuh di kepala.

                       ***
  "Eh, siapa sih nama kamu."
"Saya."ucapku.  Dia pu. mengangguk.
"Ada apa? Bukankah semua tugas yang kemarin sudah saya kirimkan."

   "Kamu kirimkan ke mana?"
"Pak Bagas. Kenapa rupanya," tanyaku balik.

   "Yang ketua OSIS itu aku. Bukan Pakkk, hehe. Pagi Pak."
"Pak, tadi Bapak diejek sama dia loh, Pak. Dibilangnya Bapak itu botak. Terus kumis Bapak mau dicukur pakek kuku kucing kata dia."
 
    Pak Bagas dengan tatapan yang tajam menatap Wahyu yang tengah malu-malu. Kumisnya pun bergerak-gerak menandakan ketidaksukaan.

  "Sini kamu!" Pak Bagas menarik telinga nya.
"Katanya lagi, Pak ya. Bapak itu gak pinter. Pintaran dia lagi. Haha." Aku tertawa melihat Wahyu yang dihukum oleh Pak Bagas. Lagian siapa suruh sih cari masalah sama aku. Wek, aku mengejek nya dari kejauhan.
 
   Suara sepatuku mengeluarkan bunyi yang keras. Aku sudah tak sabar untuk membaca buku-buku terbaru dari penulis kesukaanku. Seperti, Boy Candra, Tere Liye, Habiburrahman, serta Ahmad Fuadi. Sungguh penulis idamanku.

   Jemariku pun asik menari-nari di atas rak buku yang tersusun rapi. Satu per satu telah aku pegang. Namun, tak ada yang memikat hati. Hingga tanganku berhenti pada sebuah buku yang bergambar Doraemon berwarna biru. Dengan cepat aku menarik buku itu keluar dari rak buku.

   Tiba-tiba seperti ada yang mengganjal tanganku. "Kok susah ditarik." Aku terus mencoba menariknya. Terus, terus dan terus.

   Kali ini aku menarik napas kasar. Lalu membuangnya perlahan. "Hey, kamu. Sini dong." Aku memanggil seseorang yang berada di meja.
Dengan sedikit berlari kecil ia pun sampai dihadapanku.

  "Aku boleh minta tolong," ucapku sambil tersenyum.
"Boleh. Apa itu," balasnya pun tersenyum.
"Aku mau ambil buku ini. Tapi aku gak bisa nariknya. Tolong tarikin dong."
   
     Dia pun segera menarik buku itu. Awalnya memang biasa-biasa saja. Dia pun tampak santai. Namun, kemudian menyerah. "Kak, coba deh Kakak ke samping sini."

    "Oke. Terima kasih atas bantuannya."
Kemudian ia pun berlalu.
Aneh, kenapa aku harus berpindah tempat. Memang bukunya ditempelkan lem apa.

    Ya sudahlah, aku ikuti saja. Lagian jika dia macam-macam. Aku langsung saja berteriak, kan lagi rame di sini.
   
   "Yes. Akhirnya dapat juga. Ih, gemes kali." Aku tertawa memandangi buku yang bergambar Doraemon itu.

   "Ehem." Suaranya reflek membuatku segera membalikkan badan. "Kamu," teriakku.

  "Kenapa. Kok kaget begitu. Terpesona ya sama ketampanan aku," ucapnya dengan memainkan tangan kanannya yang sibuk menyisir rambutnya.

   "Haha, kamu punya kaca nggak di rumah?"
"Punya. Banyak malahan."
"Dalam sehari kamu ngaca berapa kali," tanyaku lagi.

   "Hm, sebentar ya. Dipikirkan dahulu." Aku mengangkat alisku.
"Sering."
"Pantasan khayalan kamu terlampau batas. Misi, saya mau lewat." Aku meninggalkannya yang sedang bengong.

   "Dasar Doraemon."
Aku membalikkan badan dengan tatapan tak suka. "Biarin. Doraemon kan lucu, jadi aku itu lucu. Wek." Aku berlalu keluar dari perpustakaan.
  

Fifteen Seconds (On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang