Itu

74 84 12
                                    

       "Si Wahyu ke mana lah anak itu. Capek aku gantikan dia sebagai panitia ini. Iih." Aku menggerutu kesal dan menendang batu kecil di dekatku.

    "Kau pergi sana. Bebas mau ngapain kau."
"Oke." Aku berlari dari tempat itu dan menjauh ke sebuah tempat yang mungkin aku akan mendapatkan suasana atau pemandangan alam yang luar biasa.

     Ya, kini aku berlalu dari kerumunan orang-orang tersebut. Sesekali aku bertegur sapa dengan pendaki lainnya. Berbincang-bincang, bertukar pendapat dan mungkin berkenalan.

    Di sini, aku bertemu pendaki berbagai daerah. Padang, Jawa, Lampung, Bengkulu, atau sekitaran wilayah Medan. "Pak, nanti kalau ke Semeru jangan lupa buatkan salam-salam ya. Hehe."

   "Oke, Buk. Siap. Nanti saya kabari."
Kami pun berbincang hangat dan bertukaran Instagram. Oh iya, sekedar informasi. Biasanya panggilan di gunung kalau bertemu dan tegur sapa yaitu "Bapak dan Ibuk", bukan berarti semua yang dipanggil Bapak atau Ibuk itu tua ya? Hehe, 80% rata-rata masih muda.

    "Terima kasih atas waktunya, Pak. Kalau begitu saya ingin berkeliling sebentar," ucapku dan berpamintan dengan mereka.
   "Iya, Buk. Hati-hati. Jangan terlalu main di dekat jurang. Ingat itu."
"Oke." 

   

     Aku sekarang sendirian. Berdiri di atas bebatuan dan sangat dekat awan-awan. Ya, aku merasa sangat luar biasa bisa berada di atas sini. "Mungkin nanti sore ketika Sunset tiba aku akan mengajak Sifa dan Melani untuk duduk di sini menikmati matahari tenggelam." Aku duduk di bibir jurang.

      Dari sini, aku bisa melihat Gunung Sinabung dan indahnya Kota Berastagi. Sungguh indahnya ciptaan Tuhan. Pengalaman yang luar biasa. 

    "Ehem. Sendiri aja nih."
Aku yang kaget, dan hampir saja terjun ke dalam jurang. Jika saja tanganku tak dipegang oleh sumber suara ini.

      "Astaufirulohhaalazim. Hiks hiks hiks." Aku tenggelam dalam pelukannya. Mencurahkan rasa takut yang masih bersemayam dalam tubuhku.

      "Cup cup cup. Jangan sedih lagi dong." Ia mengelus lembut ujung kepalaku.

      Aku tersadar dan langsung mendorong tubuhnya menjauh dariku. "Maaf, saya tidak sengaja," ucapku sambil tertunduk. Lalu menyeka air mata yang ada di sudut mata.

   "Fine." Aku menegakkan kepala. Dan "Bang Nando. Hehe." Aku lagi dan lagi sangat memalukan dihadapan Abang ini.

    "Oh Tuhan. Maafkan aku." Aku menepuk-nepuk kedua pipiku.
"Kamu ngapain sendirian di sini?"
"Hah? Aku. Aku hanya penasaran dengan lokasi ini. Jadi, aku ke sini deh."

   "Siapa yang ngasih tau jalannya?"
"Tadi aku bertemu dengan pendaki lainnya. Kebetulan mereka juga anak daerah sini dan aku dikasih tau tempat ini. Aku menatap awan-awan yang tengah berbaris rapi di atas langit. Begitu indah.

     "Gitu ya. Hm, masih banyak tempat indah lainnya di sekitar sini. Kamu mau lihat?" Ia menawarkan.

    "Boleh. Asalkan Abang jangan macam-macam ya." Aku menatapnya tajam.

    "Haha, gak akan. Janji." Ia tersenyum dan kami pun berjalan berdampingan. Bukan berarti bergandengan ya, hehe.

    Beberapa menit kemudian sampailah kami di sebuah tempat yang jalannya didominasi oleh bebatuan serta bau belerang yang menyengat hidung. Untuk sampai ke sini, aku harus terjatuh berkali-kali dan merepotkan Nando. Huh, benar-benar bikin malu.

    "Ini bukannya kawah aktif ya?"
"Betul. Gunung Sibayak merupakan salah satu gunung berapi aktif dengan kawah belerang berbatu cadas." ucapnya sambil menunjuk lurus ke depan.

     "Kawah seluas 40.000 meter ini memiliki kandungan solfatara yang tinggi, sehingga uap belerang pun mampu menyemburkan hawa panas terus-menerus. Kawah ini juga dikelilingi batuan lava andesit yang membuat pesonanya semakin unik dan eksotis." Aku tersenyum.

    "Wah, kamu pintar sekali." Ia pun bertepuk tangan.
"Makasih, Bang. Hehe."
"Gak usah panggil Abang. Panggil aja Nando. Oke." Nando mengacak rambutku.

    "Oke, Nando. Hehe."
Jarak kami dari kawah tersebut lebih kurang 30 meter. Dan aku pun sudah tak kuat dengan bau belerang yang makin lama membuatku pusing. Kami pun memutuskan untuk kembali ke tenda. Karena hari sudah mulai gelap.

   "Aku boleh minta foto nggak?" ucapnya pelan sambil memandang lurus ke depan.
"Boleh. Tapi harus berlatar belakang Gunung Sinabung."
"Ayuk."

    Setelah selesai, aku pun berpamitan untuk kembali ke tenda. Kurasa kawan-kawan yang lain sedang menungguku untuk makan sore.

  "Nando, kalau begitu aku pergi dulu ya."
"Kamu turun tanggal berapa?"
"Hm,sepertinya dua hari lagi."
"Biar aku antar kamu Ya?"
"Boleh."

    Ketika sedang asik bercanda tiba-tiba Nando terpental satu meter dariku. Aku pun mencoba untuk membantunya berdiri. "Loh, kamu kenapa? Kok bisa terpental gitu," tanyaku sambil mengobati lukanya dengan tisu basah.

   "Itu." Nando menunjuk ke arah samping.
"Apa? Aku mau lihat deh."
Aku memutar kepala dan, "Aaah. Itu apaan sih. Aku takut. Usir dia pergi, Nando." Aku kedua mataku dengan tangan.

    "Udah kok. Kamu jangan takut lagi. Dia udah pergi."
"Alhamdulilah. Itu apa. Kok bisa ada dia di sini? Kan aku kita gak ada berbuat jahat."

   "Asal kamu tau. Daritadi dia ikutin kamu. Makanya aku samperin kamu. Kalau nggak, kamu bakalan celaka. Lain kali, jangan jalan sendirian. Apalagi kamu gak ada bawa Al-Qur'an kan?"  Tanyanya padaku.
Aku menggeleng.

    "Oh. Jadi begini kelakuan seorang sekretaris ya." Wahyu kini berada dihadapan kami.

   "Maksud kamu apa sih. Jangan nuduh sembarangan," balasku.
"Buktinya apa?" teriakku kesal.
"Kalian pegangan tangan," jawab Wahyu dengan nada tinggi.

   Aku membelalakkan mata. Terkejut mendengar teriakan dia. "Itu tadi, aku. Aku, hm." Aku pun gagap untuk menjawab pertanyaannya. Bingung, takut dan rasa bersalah. Ya, bersalah pada Nando.

     "Sekarang kau ikut!" bentak Wahyu. Secara refleks aku mengikuti langkah kakinya.
"Bang, jangan kasar gitu dong sama cewek. Kasian kan dia jadi takut." Tiba-tiba Wahyu memutar badan dan brukkk...

    Sebuah pukulan mendarat di sudut bibir Nando. Langsung menetas darah merah segar. "Kau masih mau komen lagi, hah?" Wahyu mendorong Nando menjauh dariku.

   "Nando." teriakku. Dia hanya tersenyum mengisyaratkan kalau dia baik-baik saja.

   "Emang kau siapa dia?" Nando menendang kaki kiri Wahyu dan Wahyu tersungkur di tanah.

    "Sial." Wahyu berdiri dan hendak membalas. Namun, aku menghentikan kesalahpahaman itu.

    "Wahyu, udah dong. Jangan berantem lagi. Kamu salah paham." Aku menahan tangannya yang sedikit lagi akan mengenai wajah Nando.

   "Oke. Kali ini kau lolos. Aku maafin." Wahyu menarikku untuk menjauh dari tempat tersebut.

   Setelah sampai di tenda, aku pun langsung masuk dan merebahkan badan.

                

Fifteen Seconds (On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang