17 Agustus 2017

75 89 7
                                    

"Mel, kau udah siapin puisi buat 17 Agustan nanti belom?" tanya Sifa.
"Udah dong," jawab Melani bangga.
"Cie, tumben-tumbenan. Biasanya juga paling anti bikin Puisi." Aku mendekati Sifa yang sedang mengunyah buah apel. "Bagi dong." Sifa memberikan sepotong padaku.

"Kalian mau dengar gak?" tawar Melani. Kami pun mengiyakan.

"Judulnya itu 'Darah'. Kalian tau kenapa aku memilih darah? Karena waktu memperjuangkan kemerdekaan itu pahlawan kita menghabiskan banyak darah untuk melawan para penjajah bangsat itu." Melani meremas kerupuk yang dipegangnya dengan tatapan benci.

"Oh gitu. Terus-terus."
"Pahlawan kita juga mempertaruhkan nyawa, mengorbankan anak istrinya di rumah." Kini wajah Melani berubah menjadi sedih. Seakan mendalami peristiwa yang saat itu terjadi.

"Jeritan demi jeritan bersaung-saung saling membentuk irama kesedihan. Aku pernah baca di zaman pemerintahan Jepang. Itu adalah zaman yang paling menderita bagi bangsa Indonesia. Mereka diperlakukan seperti binatang. Benar atau pun salah, mereka akan tetap dihukum. Benar-benar bangsat itu Jepang."

"Kata nenek aku. Waktu Jepang itu datang ke desanya. Mereka para gadis bersama ibu-ibu lainnya harus masuk ke dalam hutan belantara untuk menyelamatkan diri. Di dalam hutan itulah mereka bertahan hidup. Waktu itu umur nenekku kalau nggak salah sekitar tiga atau empat tahunan lah. Dia digendong ibunya. Kakek aku berusaha untuk melindungi kami. Hasilnya, kakek merelakan nyawanya demi anak dan cucunya." Sifa terisak menceritakan kejadian yang pernah merenggut nyawa kakek buyutnya itu.

"Sejak saat itulah. Aku tak pernah absen untuk mengikuti upacara bendera. Dengan berbaris di antara kalian, aku merasakan kehadiran kakek. Serasa ia menyemangati aku ketika aku hendak mengeluhkan panas atau kram waktu berdiri."

"Oh, jadi itu alasannya kenapa kau selalu marah kalau aku bicara waktu upacara ya." Aku tertawa kecil sambil menyeruput susu coklat vanila panas yang ada digenggaman.

"Hm. Belum lagi, Ayah juga pergi meninggalkan kami. Aku, Ibu dan Fauzan. Ayah harus merelakan nyawanya demi negara ini." Sifa terdiam, lalu menarik napas perlahan dan melanjutkan ceritanya.

"Memperjuangkan hak serta martabak bangsa. Lagi-lagi aku kehilangan sosok penyemangat sekaligus kasih sayang yang seharusnya aku rasakan."

"Dua orang lelaki gagah dan tangguh. Mereka adalah Kakek dan Ayah. Mereka pahlawan bagiku dan bangsa Indonesia. Aku sangat bangga pada mereka. Benar-benar bangga." Sifa terisak. Hingga membuat ia sulit bernapas atau susah untuk berbicara.

Aku dan Melani pun memeluknya. "Udah-udah, kau jangan sedih dong. Kan masih ada kami di sini. Kami keluarga kau juga kan?" Melani mengecup kepala Sifa.

"Betul, Sifa. Kami akan selalu ada buat kau kok. Kami bangga punya sahabat macam kau. Anak pahlawan bangsa. Dua orang malahan. Kalau Ayah kau masih ada, pasti aku bakalan suka deh sama dia. Hehe."

"Mimpi." Sifa menoyol kepalaku, serta membentangkan tangannya lalu memelukku dengan erat. Begitu juga dengan Melani.

***
Hari ini adalah 17 Agustus 2017. Artinya hari kemerdekaan Indonesia. Kami pun bangun lebih awal. Meskipun udara dingin menusuk tulang. Di sekitaran kami sudah ada beberapa orang yang melakukan aktivitas.

"Yu, Fa. Itu apa? Kok keren kali nampaknya." Melani menunjuk ke arah matahari terbit.

"Itu Sunrise namanya bodoh."
"Jadi Sunset itu matahari terbenam ya." Melani pun mengeluarkan ponselnya lalu mengabadikan moment tersebut.

"Keren kaaaliii." Melani takjub akan keindahan alam ciptaan Tuhan. Tak henti-henti ia memandanginya.

"Mel, Fa sini deh!"
Mereka pun mengikuti langkahku. Sekarang kami sudah berada lumayan jauh dari tenda kami. Mungkin saat ini ada di sekitaran tenda orang lain.

Fifteen Seconds (On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang