Balas Dendam

46 27 1
                                    

    Empat hari sudah berlalu, tapi aku masih belum bisa ke sekolah.
Bukan karena luka di pipi atau pun di tangan, melainkan trauma. Ya, aku masih trauma dengan insiden yang lalu.
    Lukaku sudah mulai kering kalau sering diolesi obat tetes.
Untuk saat ini aku memilih sendirian di rumah. Mengurung diri? Tentu tidak. Karena aku sedang berusaha untuk memaafkan kesalahan Dara. Walau dia takkan pernah meminta maaf padaku.

    Kupandangi bintang-bintang yang bergelantungan di langit biru. Diiringi lagu favoritku Juicy Jangan tergesa-gesa

Kupasang headest dengan volume sedang serta menikmati setiap alunan lagunya. Lagu ini mungkin menceritakan tentang seseorang yang sedang mencari cinta. Tapi jangan sampai tergesa-gesa atau salah memilih.      

***

     Aku memutuskan untuk kembali bersekolah. Dengan mengenakan pakaian pramuka serta sepatu biru tua. Aku melangkah ke kelas dengan hati yang sedikit khawatir. Deg deg deg bunyi jantungku.

   Aku menarik napas pelan dengan memicingkan mata.  "Bismillah," ucapku. 
Kupandangi sudut demi sudut kelas.  Tak ada yang berbeda sama sekali.  Semuanya masih sama. 

  "Hm,  kelas ini sama saja seperti sebelum-sebelumnya. Tapi,  pada kemana sih anak-anak ini."
"Awas aja pada bolos kalian," gumamku sambil mengepalkan tangan.
 
   Aku terkejut,  ketika lengan kananku tak sengaja menyentuh sesuatu. Dan aku lebih terkejut lagi, kini ia berdiri tepat dihadapanku.  Dengan gayanya yang sok ganteng itu,  tanpa sapaan dan tanpa senyuman sedikit pun.

    Wajahnya beku seperti es batu.  Tinggi bagaikan seekor jerapah begitu pula  dengan tatapannya yang tajam. Matanya terus saja mengamati setiap gerak gerikku. 

   Aku mulai risih dengan sikapnya itu.  Dan aku akan membalasnya. 

    Sebelumnya memang aku memilih untuk tidak membalas tatapannya.  Berbeda dengan sekarang.  Aku membalas tatapan itu dengan penuh enegi.


   "Kau pikir aku takut gitu dengan tatapanmu yang gak seberapa itu.  Aku juga bisa kali. Yok buktiin siapa yang menang," batinku menjerit. 

  Lima detik berjalan.  Tatapan kami makin menjadi.  Tak ada yang mau mengalah satu sama lain.  Yang ada hanyalah kata "Menang." 

  Detik ke lima belas ia pun menyerah.  "Yes,"  teriakku sambil meloncat-loncat. 

  Matanya yang tadi menantapku seakan-akan aku adalah makanannya kini memicing diikuti dengan bibirnya terangkat memunculkan sebuah senyuman. Senyuman yang begitu manis dan langka.

  Oh Tuhan,  senyumannya itu membuat jantungku berdegub lebih kencang lagi.  Lebih cepat dari rasa takut ketika Dara melukaiku. 

                          ***
  Tiga panggilan tak terjawab dari Whatsapp.  Lima bait pesan yang belum terbaca.  Tapi,  aku tak mengenal siapa pengirim pesan itu.  Dan aku mengabaikannya begitu saja. 

    Satu jam kemudian.  Ia mengirimkan pesan lagi. Yang mana isinya menyuruhku untuk pergi ke lapangan bola basket sendirian.  "Kenapa harus sendirian?" batinku bertanya. 
 
    Tanpa pikir panjang aku pergi ke lapangan basket. "Yu,  mau ke mana kamu? " tanya Sifa. 

"Ke lapangan basket. Mau cari udara segar, " balasku. 
"Aku ikut ya? " pintanya dan langsung mengambil tas. 
 
  "Aduh,  bukannya aku gak mau ajak kamu.  Tapi,  aku lagi pengen sendirian nih. Gak apa-apakan?" bujukku. 

Fifteen Seconds (On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang