Suara Alam

90 96 27
                                    

"Kau tau itu suara apa?"
"Tidak," jawabku datar.
"Itu adalah suara penunggu gunung ini. Mereka sedang menyambut kedatangan kita."
"Iya. Dari awal aku memang sudah mengetahuinya. Kau pikir aku ini baru pertama kali menaiki gunung?" Aku melemparkan tatapan tajam pada Wahyu. Namun ia hanya cuek dan seperti biasa kaku.

  "Hm. Aku akan kasih tau yang lainnya. Agar mereka menjaga sikapnya." Wahyu berjalan mendekati Melani dan Sifa yang sedang bercanda.

   "Kalian dengar suara itu." Wahyu menunjuk ke dalam perut hutan.
"Gilak kau ya. Udah tau itu suara burung, jangkrik atau apalah. Terus suara apalagi? Hantu," jawab Melani ketus.

  "Mel, kau jaga ucapan. Jangan sembarangan. Kita ada di alam lain. Ingat!" Ucap Sifa mendelikan matanya.

"Astaufirulohhaalazim. Aku lupa. Aduh, gimana ini." Melani mulai panik.

  "Udah-udah. Kau kan gak sengaja. Lagian mereka hanya ingin memberi sambutan ke kita."

  Melani mendekatkan diri pada Muda. Dengan raut wajah yang ketakutan. "Kamu tenang aja. Aku akan selalu sama kamu kok." Muda menggenggam tangan Melani. Senyuman manis pun terukir di bibirnya.

  "Da, ingat. Kau jangan sampai lepas dari Melani. Kau Sifa, dekat sama aku terus." Sifa mengangguk paham.

  "Kita telah selesai sarapan. Tujuh puluh menit lagi kita sampai di puncak. Yuk lanjutkan perjalanan," ucapku memimpin jalanan kali ini.

  Di tengah perjalanan tadi, kami berpisah dengan Maiscy. Karena ia.memutuskan untuk ikut bersama rombongan Mapala. Kami beranggotakan lima orang. Aku, Melani, Sifa, Muda dan Wahyu. Setidaknya tak merepotkan sama sekali. Apalagi bersama dengan dua orang pemula. Biasanya sangat merepotkan.

   Ada yang takut kotorlah, takut sama tikus, monyet dan masih banyak lagi.

"Yu, aku haus," ucap Sifa.
"Ini." Aku memberikan botol air minum.
"Persediaan air kita hampir habis. Bagaimana ini?" Ucap Muda.

  Aku menarik napas dalam berusaha mencari solusinya. "Di pertigaan sana ada sumber mata air. Kita akan ke sana dulu untuk beristirahat lalu mengambil persedian air." Wahyu berjalan mendahuluiku.  Aku mempersilakan Sifa untuk mengikutinya. Disusul Muda, Melani dan terakhir aku.

  "Wahyu, aku titip Sifa ya. Tolong jaga dia." Wahyu tak mendengarkan ucapanku dan terus berjalan ke depan.

   "Kita hampir sampai."
"Alhamdulilah." ucap kami serentak.
"Sifa, Melani. Kalian capek?"
"Capek sih, Yu. Tapi asik."
"Menyenangkan betul, haha." Kami bertiga pun tertawa.

   "Aku mau nanya deh sama kalian. Apa yang menjadi hal terpenting dalam sebuah pendakian?"
"Hm." Melani dan Sifa sedikit bingung mau menjawab apa. Aku memperhatikan mereka dengan menyenderkan badan di sebuah pohon besar.

  "Puncak." jawab mereka serentak.
"Setelah itu?" Aku kembali bertanya.
"Pemandangan yang indah spot foto keren."

   "Kalian salah. Puncak itu hanyalah bonus," ujarku tersenyum kecil.
"Jadi?"
"Yang terpenting adalah p..."

"Yang terpenting adalah seberapa banyak teman yang kau dapatkan di setiap Perjalananmu."

   "Nah, itu benar. Jika kau ingin mengetahui sifat seseorang. Ajaklah dia untuk menaiki gunung. Apakah dia seorang pengeluh, pemalas, setia kawan atau orang yang berusaha. Jadi, kalian sendiri bisa mengetahuinya sekarang bukan?" Muda menambahkan.

   "Aku orangnya suka ngeluh. Maaf." ucap Melani tertunduk.
"Santai aja lagi. Kita ini sahabat. Kita harus tau sifat kita satu sama lain. Ya gak, Yu." Sifa merangkul Melani.

  "Betul. Sejauh apapun dan setinggi apapun gunung. Perjalanan akan terasa ringan jika kita selalu bersama." Kami pun berpelukan.

  "Tinggal sedikit lagi kita ke puncak."
Kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Suara kicauan burung mengiringi setiap langkah kaki.

Hembusan angin seakan merestui niat kami. Dan alam pun menampilkan keindahannya yang mungkin tak dapat kau temukan di perkotaan.

 

Fifteen Seconds (On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang