Delapan

3 0 0
                                    

Sesampainya aku dirumah, ternyata dia sedang mengobrol dengan ibukku. Dan apa boleh buat mereka pasti ngobrolin nilai matematikaku yang tidak pernah mendapatkan nilai diatas 70. Apa boleh buat, nilai matematikaku selalu jatuh, kecual nilai saat aku SD haha. Hari ini materinya persamaan garis linear. Semua materi matematika itu susah, sama sekali gak ada yang mudah menurutku, namun Mas Aji malah bilang ini materi paling mudah dek. Iyalah percaya dia udah mahasiswa semester 6 yang bentar lagi mau KKN. Pembelajaran matematika dengan guru les privat mas Aji diajarkan secara lugas dengan gaya bicaranya mahasiswa yang mudah untuk dimengerti anak SMA kelas XI seuisaku saat itu. Dia mengajarkan bersama rumus cepat untuk menyelesaikan soal dengan sangat mudah. Memang matematika contoh selalu lebih mudah daripada soal yang diberikan. Entah aku yang tidak bisa atau aku yang malas memahami materi.
"Nah sekarang kamu kerjakan soal ini. Nanti kalo ada yang kesulitan mas bantu" dia menyodorkan soal matematika
"Hmm oke" jawabku malas
Aku melihat sepuluh soal yang sangat menyebalkan. Dari semua soal itu, aku tidak bsa mengerjakan. Lebih tepatnya aku salah 10 dengan jumlah soal sepuluh tadi. Setelah pembahasan, mas Aji mereview aku. Katanya jangan pernah malas untuk belajar matematika karena matematika tu penting yang lantas ku jawab jangan pernah menyuruh ikan untuk memanjat pohon yang dia sendiri juga sdah tahu apa maknanya. Kemampuanku akademik tidak di bidang matematika jadi jagan suruh au untuk terus memaksakan mapel wajib yang diniai sngat sangat vital itu. Kurikulum seharusnya disempurnakan dengan penyesuaian kebutuhan peserta didik, bukan memasukkan apapun yang tidak terlalu menjadi kebutuhan peserta didik. Les malam hari itu berujung debat antara aku dan mas Aji. Dia mengalah karena sejatinya cowo memang haus selalu kalah, hahahha. Aku mengakhir les dengan menutup buku tanpa mengantar mas Aji kedepan rumah. Badanku sudah lelah dan aku memilih untuk tidur saja.

***

Pagi tanpa mentari, begitu hari ini rasanya. Aku merasa ada yang hilang dalam diriku. Bukan Yovan bukan pula Farhan teman osisku dan bukan pula mas Dito yang selalu menanyakanku pada teman-temanku. Aku hanya merasa ada yang hilang setelah aku diwisuda 14 Juni lalu. Pagi ini di sebuah kampus ternama di Yogyakarta aku membenamkan diriku bersama laptop yang masih ada didepanku. Aku tidak mengerjakan tugas, tidak pula memanfaatkan wifi kampus, aku hanya membuka album di drive yang sudah ku kunci. Membuka kenangan demi kenangan yang ada didalamnya. Yang ku buka memang foto, tapi selah-olah foto itu bisa membuatku kembali pada masanya. Ya, mengembalikan saat-saat dimana tugas bukanlah menjadi beban, main adalah hal yang utama, belajar adalah hal yang dilakukan bersama tentor lesku mas Aji dan tidak ada deadline untuk semua tugas-tugasku. Aku seperti megalami guncangan yang dimana dulu aku berada di zona yang sangat nyaman dan kini aku berusaha keluar darinya, karena zona nyama itu tidak ada tantangan. Semester ini aku sudah berjanji pada diriku untuk menaikkan IPK dan meraih prestasi sesuai kemampuan akademik yang aku geluti. Aku berjanji kehidupanku tidak boleh seperti masa putih abu-abu yang disana hanya ada kesenangan dan kesenangan. Tap tidak ada saahnya kan, aku mengenang kisah llau untuk pengalaman dan pembelajaran di saat ini.

Kerinduan akan masamasa indah akan selalu membayangi siapapun orang yang  terhanyut didalamnya, termasuk aku. Yang kurindu bukan orangnya tapi suasananya.  Rindu itu lebih tepatnya mengenang dan terus mengenang tanpa aku harus mengulanginya. Menjadkan  pembelajaran dan pengalaman pastilah dilakukan. Dan kali ini aku akan memulai ceritanya kembali.

***

Persiapan film kelas sudah di tahap 50% yang itu berarti baru setengahnya. Pak Mono terus menanykan progres kesiapan nasah dan terus mendesak kami untuk segera mengkonsepkan filmnya. Guru Seni Budaya yang sersan itu terus memicu kami untuk sellau berkrya walaupun aku tidak pernah mendapatkan nilai di atas 70 untuk pelajaran Seni Budaya, karena pada dasarnya aku tidak bisa menggambar, aku tidak bisa bermusik apalagi disuruh menari. Dan untunglah seni di kelas XI saat itu ialah seni teater yang diterapkan dalam pembuatan film kelas bertema bebas. Kmai memilih tema cinta kali itu, baisa anak ABG kelas XI yang baru mengnal cinta pasti semnagat kalo disuruh membuat film bernuansa cinta. Kami hanya melibatkan satu isi kelas saja untuk menjadi sutradara, pemain, make up dan crew lain yang dibutuhkan. Hanya karena satu kelas tidka ada yang mampu melakukan edting video terpaksa kami memberikan softfile mentahan kepada editor video pengantin yang pada malam itu kudesak habis-habisan untuk mengedit film kelas.
"Lah iki pie dek. La aku ki tukang video manten e kon ngedit film kelas temane cinta" dia protes malam har itu
"Wes mas pokokmen aku njaluk tulung. Mengko regone manutlah, tapi yo ojo larang-larang. Adewe wes iuran okeh iki mas sekelas."
"Haduh-haduh bocah SMA tugase aneh-aneh"
Malam itu juga katanya dia lembur mengedit video mentahan yang kuberikan sehabis Isya. Mas Janu, editor yang biasa digunakan dalam acara pernikahan tersebut mengedit video mentaha hasil syuting kami hanya denga bekal naskah teks yang sudah dibuat. Akhirnya film tersbeut selesai keesokan harinya yang pagi itu aku menerima notif  BBM  dari mas Janu.
"Videone wes dadi Ren. Arep dijikuk kapan"
"Mengko jam 10" jawabku

Banyak cerita dari syuting saat film kelas tersebut. Mulai dari persiapan yang kurang maksimal, pakaian yang sangat minimalis dan latar tempat menggunakan kelas kami sendiri. Karena syuting sampai jam 5 lebih kami pun tidak izin satpam dan siapa lagi kalau bukan ketua kelas yang disalahkan. Memang yang memilihku menadi ketua kelas saat aku menjadi mitra pendamping di MOS sangatlah tidak demokratis. Aku tidak bilang ke satpam jika syuting filmnya sampai jam 5. Alhasil temanku lah yang beradu argumen dari lantai 2 berteriak ke pak satpam yang berada di lantai 1. Kami pun merekam kemarahan pak Satpam yang kami jadikan di salah satu scene di dalam film. Biarpun ini tidak termuat dalam cerita, tetapi Bapak akan selalu ada dalam cerita-cerita SMA saya.

Indah Pada MasanyaWhere stories live. Discover now