20; Senja Untuk Semesta

581 42 2
                                    

"Akhirnya balik juga anjir! Sepet mantengin materi di monitor!" Mega menggerutu sambil memasukkan pensilnya ke dalam tas.

Sedangkan Senja diam sambil memasukkan buku-bukunya dengan muka tertekuk. Sumpah, Senja sudah eneg dengan rentetan materi yang nggak tahu kapan habisnya. Senja jadi badmood gara-gara hal itu. Ditambah lagi ada punya pr meringkas bab 5 sampai bab 7.

Sudah tidak waras memang Pak Firman sebagai guru sejarah yang kalau memberi tugas tidak kira-kira. Dikiranya tangan murid itu mesin printer yang tinggal nyetak doang apa ya? Pegel kali meringkas tiga bab dalam 3 hari. Dan lagi Senja tidak mungkin bisa mencontek jika perihal meringkas.

"Senja, lo balik sama gue 'kan?" tanya Mega sambil menggendong tas ranselnya.

"Gue balik sa—"

"Senja balik sama gue." potong Semesta yang sedang berdiri di ambang pintu kelas Senja.

Penampilan Semesta saat itu acak-acakan. Seragam keluar, dasi tidak ada, dan parahnya bau rokok menyengat dari tubuh Semesta.

"Sssttt," Senja menoleh ke Mega yang berbisik, "Semesta beneran anak IPA 'kan ya? Kok bobroknya kayak cowok-cowok kelas kita sih?"

"Brisik lo bambang. Dikiranya kalo pinter harus alim?" bisik Senja balik.

"Oh iya, kalo di wattpad 'kan badboy pada pinter-pinter. Mana yang punya sekolah lagi." tutur Mega sambil perlahan berjalan bersama Senja mendekati Semesta yang tengah menatap tajam keduanya.

"Lama lo." ucap Semesta dingin lalu menggeret tangan Senja untuk mengikuti langkahnya.

Sebenarnya Senja bingung kenapa Semesta tumben sekali mengajaknya pulang bersama. Biasanya juga kalau nggak disuruh Mama juga nggak bakal nawarin.

Sambil melangkah Senja menyempatkan teriak kepada Mega, "MEGA GUE DULUAN YA! LO ATI-ATI DI JALAN!"

"IYA!"

Semesta menyeret Senja sampai ke parkiran dengan wajah kacau lalu Semesta melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Senja. Tangan Semesta kini mengacak-acak rambutnya sendiri dengan gusar.

Dielus pelan lengan Semesta oleh Senja, "Lo kenapa, Ta?"

"Laras kabur dari rumahnya. Bundanya tadi nelfon gue."

Tenggorokan Senja tercekat mendengar ucapan Semesta. Sekacau ini seorang Semesta karena seorang perempuan. Jujur, Senja iri dengan Laras yang selalu menjadi bagian penting dalam pikiran Semesta. Tapi Senja tahu posisi, kini bukan saatnya untuk iri ataupun dengki dengan Laras. Senja harus membantu Semesta karena sebenarnya kegelisahan Semesta juga menjadi kegelisahan Senja.

"Ayo kita ke rumahnya." saran Senja.

"Gue nggak kuat bawa motor. Tangan gue gemetaran." kata Semesta sambil mengangkat tangannya yang bergetar.

Senja menghela nafas, "Biar gue yang bawa motor lo."

Langsung saja Senja berjalan ke rak-rakan tempat helm para siswa berjajar rapi. Di raihnya kunci motor matic milik Semesta yang di genggam oleh Semesta.

"Ayo naik, Ta. Jangan khawatir, gue udah bisa ngejumping juga." Semesta melotot mendengar penuturan Senja yang tidak waras.

"Kalo mau mati jangan ngajak-ngajak. Gue belum kawin!" balas Semesta sambil naik ke motor. Tentunya Semesta di belakang.

Sekilas Senja melirik Semesta, "Kawin aja sama kucingnya Mega. Kasian, di tinggal selingkuh mulu kucingnya si Mega."

Mendengar dengusan Semesta membuat Senja terkekeh lalu memutar gas motor Semesta pelan. Belum sampai setengah perjalanan ke rumah Laras, pundak kanan Senja terasa berat.

Mata Senja melirik spion ketika sudah sampai di depan warung nasi padang milik Ibunya Laras. Ternyata Semesta tidur di pundak Senja. Biasanya kalau di novel-novel yang senderan itu cewek, lah ini malah cowok. Tapi nggak apa-apa, toh Senja juga kasihan dengan Semesta yang sepertinya kurang tidur.

Selama 15 menit Semesta pada posisi sama dengan sebelumnya. Bedanya di menit ke 6 sampai sekarang Semesta melingkarkan tangannya di pinggang Senja.

Jangan ditanya bagaimana perasaan Senja yang pasti udah ambyar, sangat ambyar. Belum lagi jantungnya yang sudah berdetak layaknya orang maraton. Padahal Senja hanya duduk diatas motor dengan kaki yang menyangga beban motor dan Semesta.

Sebenarnya Senja pegal. Pundaknya terasa sakit dan ingin segera rebahan di kasur. Tapi apa daya, untuk membangunkan Semesta yang tidurnya pulas rasanya Senja tidak tega.

Sepertinya suara bising kendaraan yang lewat juga tidak mengusik ketentraman tidur Semesta yang tidak bisa diganggu gugat. Senja tersenyum tipis, lalu mengelus pelan tangan Semesta yang melingkar di pinggangnya.

"Gue bakal bantuin lo, Ta. Jangan sedih lagi."

Senja Untuk SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang