1. Notice her

73 11 2
                                    

“Oke. Terimakasih, ya, semuanya sudah mau datang dan bergabung dengan kami. Semoga langkah kita kedepannya bisa memberi sedikit kebaikan untuk kita sendiri juga orang lain,” ujar Rara, selaku ketua komunitas Lingkar Teduh.

Lingkar Teduh merupakan sebuah 'tongkrongan mahasiswa' yang dibentuk beberapa mahasiswa psikologi. Semua kegiatannya memiliki tujuan utama yang sama, yaitu menciptakan tongkrongan yang bermanfaat, membangun mental yang sehat dan hati yang tenang. Mereka sama-sama membuat kegiatan positif untuk dirinya juga sekitarnya. Memang hanya komunitas kecil, anggotanya juga tidak lebih dari 30 orang yang berasal dari berbagai jurusan di fakultas yang berbeda.

Rara selaku ketua memilih beberapa orang untuk dijadikan pengurus inti. Janu salah satu yang terpilih. Karena orang itu mudah sekali menyedot perhatian orang-orang dengan keterampilan bercakapnya juga pembawaannya yang menyenangkan. Istilahnya Janu bisa diandalkan untuk membangun suasana tetap hidup.

Sementara Arin, memilih tidak terlihat. Ia cukup senang hanya dengan menjadi bagian dari satu lingkup kecil seperti ini. Ia yakin, bergabungnya dia di komunitas ini setidaknya bisa menolong dari berbagai tekanan yang dihadapinya. Dan mungkin, di sini ia menemukan teman yang bersedia menerima ia apa adanya.

“Oke, hari ini cukup sampai sini dulu perkenalannya. Buat kegiatan selanjutnya, nanti kita infokan dan diskusikan lagi di grup, ya. Pastiin nomornya nomor kalian, bukan punya tetangga atau pacar kalian,” tutur Janu dengan nada penuh canda . Senyum yang diapit dua lesung pipi yang dalam itu menular pada banyak orang. Kecuali pada Arin.

Semua orang membubarkan diri. Arin berjalan menuju gedung fakultasnya. Kerja paruh waktunya libur hari ini.

“Rin! Arin!”

Merasa terpanggil, Arin menoleh. Perempuan yang tidak dikenalinya itu memberikan senyum sumringah. Namun pandangan Arin jatuh pada lelaki yang berjalan santai di belakang si perempuan tadi.

“Ya?”

“Arin sekelas sama Janu, kan? Cuma mau bilang, titip Janu ya. Kalau dia godain cewek-cewek di kelas, bilang ke aku. Btw aku Stella, pacarnya Janu. Salam kenal,” ucap perempuan itu.
Arin menerima uluran tangan Stella dengan ragu. Setelah itu ia berpamitan untuk pergi duluan. Mengabaikan permintaan Stella tentang Janu.

Mereka memang satu jurusan, bahkan satu kelas. Namun bukan berarti Arin bisa melakukan itu. Masalahnya, dia tidak punya hak. Janu saja mungkin tidak kenal dia.

“Ih kenapa emang? Wajar dong. Kan dia temen sekelas kamu,” Samar-samar Arin mendengar suara Stella yang nyaring.

“Temen sekelas? Oh, iya kayanya. Aku lupa,” balas Janu, yang cukup terdengar oleh Arin yang mulai menjauh.

Janu adalah tipikal orang yang akan dengan otomatis Arin hindari. Populer, menyenangkan, pacarnya banyak, gebetannya apalagi. Dia cuma bergaul dengan orang-orang yang satu dunia dengannya lagi. Mana mau Janu kenal dengan Arin, yang kegiatannya hanya kuliah-kerja-pulang. Jangankan nongkrong, punya teman tongkrongan saja tidak.

•••


Semenjak Janu tergabung di komunitas yang sama dengan Arin, ia mulai mengenal gadis itu. Lebih tepatnya, sih, tahu. Ia hampir dekat dengan semua teman sekelasnya, apalagi perempuan. Namun baru kali ini ia benar-benar menyadari kehadiran Arin.

Selama ini dia kurang akrab dengan gadis itu. Arin tidak pernah sekelompok dengannya, tempat duduknya juga berjauhan, dan jarang ikut nongkrong bareng. Tapi Janu baru menyadari, si antisosial yang kawan-kawannya sering sebut ternyata adalah Arin yang itu.

“Mau kapan nih adain trip kelas? Kelas lain tuh udah pada jalan-jalan, tau,” tanya Hanna. Perempuan berambut coklat itu menunggu reaksi kelima kawannya.

Janu yang duduk di sebelahnya, memandang Hanna yang senyum-senyum padanya. “Secepatnya. Atur aja deh, sama kalian,”

“Pokoknya semua harus ikut,” seru Fahrul.

“Termasuk si ansos? Dia mah pasti gak bakal ikutlah,” cibir Hanna.

“Bener juga. Ya udah sih biarin. Ikut gak ikut juga gak ngaruh ke kita,”

“Eh, Jan. Lo ikut komunitas apaan sih sama anak fakultas lain? Sok sibuk amat,”

Janu menyesap kopinya yang mahal itu. Ia mulai agak terganggu kala teman-temannya membahas Arin yang begini dan begitu. Entah kenapa. Padahal sebelumnya juga mereka sering ngomongin keburukan orang. Tapi rasanya, Arin yang beberapa hari lalu mengabaikan Stella tidak terlihat seburuk itu. Setahu dia selama melihat Arin di setiap pertemuan Lingkar Teduh, sih, begitu. Mungkin perempuan itu hanya seorang introvert atau pemalu tingkat dewa.

“Biar bisa deket sama Rara aja gue mah,” jawab Janu singkat yang dibalas dengan reaksi heboh kawan-kawannya.

“Anjir lah! Sekarang Rara? Stella lo kemanain, men?”

“Bisa aja ngardusnya lu!”

“Halah paling udah nyobain melonnya juga lo tinggalin,”

“Eh kampret gue gak ngincer gituannya ya! Enak aja lu!”

“Terus apaan? Ngincer barbie kampus, mau lo apain kalo udah dapet?”

“Ya ajak jalan. Ngapain lagi?”

“Ke hotel?”

“Ke kuburan! Lagian gue suka aja sama cewek yang keliatan tangguh dan peduli sesama kaya dia.”

"Ashiyaaap! Sa ae lah alesannya,"

Janu tersenyum miring. Lama-lama ia jengah. Setiap hal yang dilakukannya, setiap pilihan yang dijalaninya, selalu ada saja yang berkomentar. Selalu saja ada yang menilai bahwa hal itu begini dan begitu. Baik di dunia nyata maupun maya, tak ada yang berbeda.

Tetapi Janu malas memberi penjelasan apapun. Ia hanya mengikuti bagaimana orang lain berprasangka. Terkadang, kita sengaja membuat orang lain salah paham. Karena tidak semua orang berhak tahu diri kita yang sebenarnya.

•••

Arin bekerja di sebuah rumah makan seafood. Di sana, ia hanya kerja di hari Jumat-Minggu karena setiap akhir pekan biasanya rumah makan itu selalu lebih ramai.

Arin sibuk melayani pelanggan kesana kemari. Ia selalu melayani orang lain dengan ramah. Di tempat di mana orang-orang tidak mengenalnya, ia merasa nyaman. Karena orang asing, tidak menilainya sebagaimana ia selalu dinilai teman-teman di kampusnya.

Di penghujung jam kerjanya, Arin dikejutkan dengan seseorang yang memesan dua lobster sekaligus. Janu tiba-tiba menunjuknya, “Lo kerja di sini?”

Arin hanya mengangguk pelan. Seketika ia merasa kikuk selagi menghidangkan pesanan Janu di atas meja. Agak tidak menyangka Janu mau repot-repot basa-basi.

“Ntar jam 4 kumpul di taman kota, lo inget kan?” tanya Janu lagi, sebelum Arin pergi.

Arin mengangguk lagi. Kemudian berlalu pergi setelah mengatakan kalimat yang selalu diucapkannya pada pelanggan. “Selamat menikmati,”

Janu mendadak kehilangan nafsu makan. Dua lobster di depannya dilahap secuil demi secuil. Hatinya merasa tidak enak. Ia merasa diabaikan. Dan perasaan semacam itu sungguh mengganggu.

Seantisosial itukah, Arin? Mereka satu kelas lebih dari setahun. Janu yang selalu ingin berteman dengan semua orang, Janu yang terbiasa menjadi pusat perhatian, Janu yang terbiasa diberi senyum oleh para perempuan, baru saja dihadiahi dua anggukan singkat atas pertanyaan sok akrabnya. Oh, itu agak merusak harga dirinya kalau boleh jujur.

•••

Kenalan dulu sama dua anakku yang baru lahir ini ya...

Kalau ga bersedia ninggalin jejak, buang sampah di sini juga boleh ☺

JANUARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang