3. Befriend Her

35 9 2
                                    

“Jan, bantuin dong, berat banget ini,” seru Rara dengan nada yang dibuat semanis mungkin.

Janu yang hendak menghampiri Arin, langsung berbalik dan membantu Rara. Laki-laki itu melirik Arin yang bekerja sendiri mengangkut kardus-kardus berisi buku, alat tulis dan seragam dari mobil ke dalam area sekolah.

Setelah berjalan beberapa minggu, komunitas ini banyak mendapat dukungan. Ide untuk menjadi relawan ke sekolah-sekolah pelosok desa datang dari Janu. Mereka pun mulai mengumpulkan dana dari seluruh penghuni kampus.

Mereka dibagi menjadi tiga sampai empat kelompok dan mendatangi sekolah yang berbeda. Dan yang Janu sadari, Arin selalu kebagian satu kelompok dengannya. Meski begitu, mereka sangat jarang mengobrol, hanya sesekali berinteraksi seperlunya.

Kadang Janu mengajak Arin berbasa-basi seperti bertanya tugas atau hal remeh temeh, Arin hanya menjawab sekenanya. Ia terlihat menghindari Janu, itulah yang lelaki itu rasakan. Namun semakin ke sini, Janu justru menunjukkan dengan terang-terangan bahwa ia menyadari keberadaan gadis itu. Seperti pada Agil atau Arya, Janu juga ingin diperlakukan sebagai teman oleh Arin.

“Sini biar gue yang angkat,”

Arin terlonjak dan hampir menjatuhkan kardus yang dipegangnya. Janu yang tadi masih dengan Rara tahu-tahu ada di sampingnya, menggeser tubuh Arin dan mengambil kardus untuk dibawa ke dalam.

Dua kardus terakhir yang kecil-kecil, Arin hendak membawanya sendiri. Tapi Janu menghampirinya lagi. Tadinya ia mau sekalian mengakrabkan diri dengan Arin, tapi Rara dan tiga sahabatnya mencegat langkah Janu.

“Kak Janu mau ke mana? Ayo masuk, Rara sama yang lain udah di dalem,” ucap salah satu gadis yang rambutnya dikepang ala gadis Korea.

“Iya, bentar,” jawab Janu sekenanya.

Janu hendak melenggang pergi, tapi lagi-lagi ia ditahan. Ketiga gadis itu membawanya ke dalam dengan mengapit lengannya. Entah sejak kapan diperlakukan seperti ini membuatnya risih. Biasanya ia senang-senang saja diberi perhatian cewek-cewek cantik.

Arin memandang punggung Janu dan tiga perempuan yang belum dikenalnya itu dari belakang. Ia sempat bersyukur Janu mau membantunya. Karena Agil dan yang lain juga sibuk mengangkut barang-barang lain. Tapi Janu tetaplah Janu. Membantunya mungkin hanya formalitas, sedangkan perhatian dari pengagumnya adalah prioritas.

Siapa yang tidak tahu Janu di kampus? Temannya banyak. Ia disukai banyak perempuan karena tampangnya yang lumayan. Kemampuan bersosialisasinya tinggi. Followers di sosial medianya puluhan ribu.

Janu terbiasa berjalan di atas sorot lampu. Itu yang membuat Arin enggan berinteraksi lebih banyak dengannya. Ia merasa sangat kecil. Melihat Janu, membuatnya selalu sadar akan kenyataan bahwa di sini ia sama sekali bukan siapa-siapa.

Perbedaan bagaimana ia memperlakukan perempuan cantik dan yang biasa-biasa saja pun terlihat kentara sekali di mata Arin.
Arin sudah menerima fakta bahwa di dunia ini memang ada orang yang bisa mendapat banyak sekali perhatian dan orang biasa yang hanya berperan sebagai figuran. Namun melihat Janu yang melenggang tanpa memedulikannya lagi setelah dihampiri perempuan-perempuan itu, tanpa sadar membuatnya menelan pahit. Ia menyesal sempat berpikir Janu akan menghampirnya tadi.

•••

“Terimakasih, ya untuk hari ini. Buat sementara kita break dulu bulan ini. Pertemuan selanjutnya akan di lanjut setelah UAS,” Agnia berseru di hadapan teman-temannya.

Pertemuan terakhir  sebelum break diadakan di coffee shop milik keluarga salah satu anggota komunitas. Mereka menyewa tempat dengan murah. Kopi saja yang harganya tidak berubah.

Arin menegak habis milkshake yang dipesannya. Minuman paling murah di sini namun minuman cukup mahal yang pernah dibelinya. Lagipula ia tidak bisa minum minuman yang mengandung kopi. Perutnya akan langsung bereaksi untuk mengeluarkan cairan dari lambungnya.

Sebelum pulang ia berdalih ke toilet, sekalian menunggu yang lain pulang lebih dulu.

Setelah beberapa menit, meja yang tadi ramai sudah kosong. Hanya tersisa pegawai yang sedang membersihkan dan membereskan meja serta kursinya. Si pegawai menyapanya dengan senyum, Arin pun membalasnya sambil berjalan keluar.

Pukul 10 malam, mana mungkin ada angkot. Mau naik ojek online tapi pasti harganya lebih mahal. Jarak café ini ke rumahnya cukup jauh. Uangnya sudah terkuras oleh segelas minuman. Mau numpang pun tidak ada yang menawarkan diri mobil atau motor mahal mereka ditumpangi. Dan Arin terlalu malu untuk meminta. Ia merasa tidak pantas.

“Mau nebeng, gak?”

Arin terlonjak saat sebuah motor vespa berhenti di sampingnya. Suaranya yang berisik terdengar nyaring di tengah jalanan yang sudah cukup sepi.

“Ayo!” Janu mengisyaratkan Arin untuk naik ke motornya. Senyumnya mengembang. Akhirnya ia punya kesempatan yang terlihat masuk akal.

“Hm- rumahku deket, kok, dari sini,” tolak Arin. Ia berusaha setenang mungkin untuk mengenyahkan kegugupannya.

Janu menaikan sebelah alisnya, “Deket, ya? Yaudah syukur kalo deket. Ayo!”

“Gak perlu. Gak apa-apa. Gak-“

“Gue gak suka ditolak.” tukas Janu.

Arin menatap jok belakang motor vespa Janu. Merasa heran, kemana mobil hitam mengkilap yang biasa dia pakai. Atau motor CBR birunya yang biasa dipakai cewek-cewek cantik duduk hanya untuk menempelkan tubuh mereka ke punggung laki-laki itu?

“Kenapa? Malu naek motor beginian?”

Arin menggeleng cepat. “Enggak. Cuma… aku bisa pulang sendiri, kok. Makasih,”

Janu melongo melihat Arin yang melenggang begitu saja dan langsung dengan lebih cepat. Mau tak mau ia pun mengikuti gadis itu dengan motornya.

“Kenapa sih susah banget disuruh nebeng doang?”

Arin bersikeras menolak. Sambil jalan dia sibuk dengan ponselnya untuk memesan ojek online.

“Arindhi!”

Arin berhenti. Ia pikir Janu tidak mengingat namanya.

“Gak usah repot-repot beramah tamah. Kamu pulang aja,” ucap Arin. Ia tidak mau lebih dekat atau terlihat dekat dengan Janu. Mereka memang satu komunitas, tapi bukan berarti Arin nyaman dengan orang seperti Janu.

“Gue gak beramah tamah. Gue sebagai laki-laki, mana tega ngebiarin cewek jalan sendirian malem-malem gini!” jawab Janu yang mulai tersinggung dengan segala ketidakacuhan Arin.

“Aku gak perlu bantuan kamu,”
Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Arin. Menohok Janu sampai ia tak bisa berkata-kata lagi.

Arin berjalan meninggalkan Janu yang terdiam. Laki-laki itu terlihat terkejut. Namun Arin lebih terkejut dengan ucapan lantang Janu.

“Pantes ya anak-anak pada gak suka sama lo. Lo terlalu berprasangka jelek sama orang yang mau bantu lo. Pantes lo gak punya temen. Mereka juga males temenan sama orang yang gak mau ditemenin kaya gitu!”

Tak lama deru motor vespa Janu yang berisik membelah jalanan lengang. Laki-laki itu melewati Arin tanpa menoleh sedikitpun. Namun Arin justru terpaku di tempatnya. Merasa dadanya seketika dihantam benda keras.

Janu benar. Sekeras apa pun ia berusaha diterima, penerimaan itu tidak akan pernah datang untuknya. Ia terlalu sulit percaya dengan kebaikan orang lain.

Namun biarkan Arin memiliki pembelaan atas dirinya. Ia tidak mungkin seperti ini jika orang-orang tidak memperlakukannya sebagaimana ia ingin diperlakukan. Mereka akan sadar keganjilan atas sikap seseorang, namun mereka tidak akan sadar bahwa merekalah yang membuat seseorang itu bersikap demikian.

•••

Lama gak update ya. Terimakasih buat yang udah mampir. Tinggalin jejak ya kalo sempat :)

JANUARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang