10: Kamu Kira Saya...

3.1K 598 142
                                    

To Artha,
Boy I've Loved Before

💌🍦🌈

________

ARTHA bimbang apakah dia ini Si Anak Gendut atau Sang Es Krim. Tapi sepertinya Irene akan marah kalau dipanggil anak gendut. Jadi biar Artha saja yang menamai dirinya Si Anak Gendut yang hobi makan bakmi kantin.

Jadi siang itu, ketika ia tengah nikmat-nikmatnya menyeruput kuah hangat dan potongan daging ayam kecap, rungunya menangkap bisikan tak mengenakkan yang membuatnya hampir tersedak.

"Artha sih baik banget, ya. Nolaknya di belakang."

Yang merasa terpanggil mengusap tengkuk dengan gusar. Aktivitas mengunyah bakmi berhenti, pipi Artha penuh dan ada tetesan kuah di sudut bibir. Duh, masih saja dibahas.

"Jangan dilihatin," kata Raymond mengingatkan.

Raymond memutar kepala sahabatnya agar tidak lagi melihat pemandangan tersebut, tapi kepala Artha bebal. Kepalanya tetap menoleh serta netranya terpaku di sanaㅡke Irene seorang.

Raymond harus merepotkan diri menangkup pipi Artha dengan dua tangan lalu mengancam dengan gemas.

"Gue patahin leher lo nih ya. Jangan dilihatin mulu. Kecuali kalau lo emang demen. Hobi banget bantuin orang."

Lah aing di-gas. Huft.

Raymond mengerti kalau sahabat kecilnya ini memang punya hati lunak dan baik hati. Tapi menurut pemilik otak berfondasi logika ini, ia tidak setuju jika 'bantuan' tersebut didasari rasa kasihan. Artha harus bisa membedakan mana masalah yang perlu dibantu, mana yang tak perlu.

Helaan napas lagi-lagi lolos baik dari lubang hidung Artha maupun Raymond. Kenapa Irene tidak mau menerima bantuan Artha dan berbohong saja, sih? Kalau begitu kan masalah akan selesai dan Artha tidak perlu repot-repot mencemaskan gadis tersebut.

Raymond sibuk mengomelㅡdan diabaikan. Sedangkan netra Artha masih terpaku takjub pada Irene yang melawan kerumunan gadis bak serdadu bebek, "Kalian semua bisa minggir, nggak? Kalian bau ketek. Saya jijik. Thanks," ketus Irene di seberang sana.

"Tuh, Tim. Bisa dia. Dia bisa kok ngurus sendiri," Raymond hampir frustrasi mengingatkan Artha.

Raymond tidak punya perasaan buruk pada Irene, pemuda itu netral dan hanya bertindak sebagai teman Artha. Sebab ia tahu bahwa dalam beberapa menit Artha pasti beranjak jika lehernya sudah terpaku ke arah tersebut.

"Bisa pergi nggak, sih?" Suara si gadis mulai meninggi.

Semua yang di kantin juga tahu kalau Irene berusaha menerobos dan mulai meninggikan suara. Apalagi Artha. Hati Artha benar-benar tidak tega melihat gadisnya harus dihadang seperti itu. Dan benar saja, ia berlari kecil dan sampai di antara kerumunan dalam sekon singkat. Tangannya terjulur dan kerumusan cewek-cewek terbagi menjadi dua baris saat suara beratnya terdengar, "Yuk."

Mata Irene membulat syok.

"Ayo, Beb," ulang Artha mendalami peran sebagai pacar pajangan.

Tautan jemari bertemu. Dibawanya Irene menjauh dari keramaian dengan lembut. Ia tak punya intensi apapun saat tersebut merangkul Irene. Sembari ia hanya berbisik tulus. "Maaf, ya, aku rangkul-rangkul. Nanti kulepas saat sudah sepi orang."

Mendadak saja batin Artha ingin berteriak. Ingin menampar diri sendiri juga. Kenapa dia lancang sekali, ya?!

Dia berani bersumpah, sebaik-baiknya dia pada gadis lain, belum pernah ia melakukan hal gila seperti ini.

✔ To Artha, Boy I've Loved Before | salicelee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang