Book 2

1.4K 190 24
                                    

JUNGKOOK MENDONGAK, MATANYA menyipit memandangi tubuh ramping Hoseok dan tangan femininnya yang lentur. Hoseok hampir bisa membaca pikiran Jungkook. Sekurus apa pun pria itu sekarang, bobotnya masih lebih berat daripada Hoseok, sedikitnya sampai dua puluh kilogram—bahkan mungkin 25 kilogram. Jungkook tahu, meski pria dan wanita memiliki berat tubuh yang sama, dalam keadaan normal pria lebih kuat daripada wanita apalagi pria submissive. Hoseok tidak membiarkan senyum singgah di bibirnya, tapi ia tahu ini bukan keadaan normal. Jungkook tidak banyak bergerak selama dua tahun, sementara fisik Hoseok sangat bugar. Pria itu terapis; ia harus kuat untuk melakukan pekerjaannya. Ia bertubuh ramping, benar, tapi setiap jengkal tubuhnya terdiri atas otot yang kuat dan bertenaga. Hoseok berlari, berenang, melakukan latihan peregangan secara teratur, tapi yang terpenting, ia berlatih angkat beban. Ia wajib memiliki tangan yang kuat supaya bisa mengangkat pasien yang tidak bisa bergerak sendiri. Ia menatap tangan Jungkook yang pucat dan kurus, dan tahu ia pasti menang.

“Jangan lakukan!” kata Seokjin dengan suara tajam sambil menautkan jemari kuat-kuat.

Jungkook menoleh dan menatap adiknya dengan tidak percaya. “Kaupikir dia bisa mengalahkanku, bukan?” gumam Jungkook, tapi kata-katanya lebih berupa pernyataan daripada pertanyaan.

Seokjin tegang, dia menatap Hoseok dengan tatapan ganjil seperti memohon. Hoseok mengerti, Seokjin tak ingin adiknya dipermalukan. Hoseok juga tidak bermaksud begitu. Tetapi, ia ingin Jungkook menyetujui terapi ini, dan ia bersedia melakukan apa pun yang diperlukan untuk membuat pria itu melihat apa yang dia lakukan pada diri sendiri. Hoseok mencoba memberitahukan hal itu melalui tatapan, karena tidak bisa menyuarakannya.

“Jawab aku!” Jungkook tiba-tiba meraung. Semua garis tubuhnya menegang.

Seokjin menggigit bibir bawahnya. “Ya,” sahut Seokjin akhirnya. “Kurasa dia bisa mengalahkanmu.”

Kesunyian melingkupi kamar itu, dan Jungkook terduduk kaku. Karena memperhatikan pria itu dengan saksama, Hoseok melihat saat Jungkook membuat keputusan. “Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya, bukan?” tantang Jungkook, lalu memutar kursi roda dengan menekan singkat satu tombol. Hoseok mengekor ketika Jungkook berjalan lebih dulu ke meja dan menghentikan kursi roda di sampingnya.

“Kau seharusnya tidak memakai kursi roda bermesin.” Hoseok mengamati sambil melamun. “Kursi roda manual akan menjaga kekuatan tubuh atasmu. Kursi ini mahal, tapi tidak memberikan manfaat apa pun untukmu.”

Jungkook melemparkan tatapan murung ke arah Hoseok, tapi tidak menanggapi komentarnya. “Duduk,” kata Jungkook sambil memberi isyarat ke meja.

Hoseok menuruti permintaan Jungkook dengan santai. Ia tidak merasakan sukacita ataupun kebanggaan saat tahu dirinya pasti menang. Ini sesuatu yang harus ia lakukan. Ia berada dalam situasi di mana ia harus memaksa Jungkook.

Namjoon dan Seokjin berdiri di kiri-kanan mereka saat mereka mengambil posisi. Jungkook memutar posisi tubuh hingga nyaman, Hoseok melakukan hal yang sama. Ia menumpukan tangan kanan di meja dan mencengkeram bisepsnya dengan tangan kiri. “Aku siap jika kau siap.”

Jungkook memiliki keuntungan karena tangannya lebih panjang, Hoseok sadar ia harus mengerahkan segenap kekuatan tangan dan pergelangannya untuk menandingi keuntungan yang Jungkook miliki. Pria itu menempelkan lengannya ke lengan Hoseok dan jemarinya menggenggam erat jemari Hoseok yang jauh lebih kecil. Sesaat Jungkook mengamati jemari ramping Hoseok yang indah, kukunya yang dimanikur merah muda lembut, dan bibirnya membentuk senyum tipis. Jungkook mungkin berpikir kompetisi itu mudah. Tetapi, Hoseok merasakan tangan pria itu dingin, mengindikasikan sirkulasi darah Jungkook buruk, dan tahu seperti apa hasil pertandingan kecil-kecilan yang akan mereka lakukan ini.

Come Lie To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang